Share

Bab 3

 

"Berhenti!" teriakku.

 

Bapak dan Feri langsung masuk ke ruang tengah, mereka menatap kami keheranan.

 

"Ada apa ini?" tanya bapak.

 

"Dia!" Aku menunjuk wajah ibu.

 

"Dia ngambil uang maharku, Pak," lanjutku dengan derai air mata 

 

Sakit rasanya diperlakukan zalim oleh ibu dan Dara, sejak kecil mereka tak pernah membiarkanku bahagia.

 

"Ya ampun, Bu! Balikin, malu sama mantu kita," sergah bapak.

 

"Aku ga ngambil, Pak, cuma nyimpen, takut aja Naura boros," sanggah ibu seperti tak berdosa.

 

"Itu uangnya Naura, mau dia boros kek ya terserah dia lah, cepat balikin!" bentak bapak emosi 

 

"Sudah sudah. Sayang, ayo kita masuk kamar ya, biarkan kotak itu Ibu yang pegang." Feri menghampiri sambil merengkuh pundakku.

 

"Tapi, Mas, itu uangku."

 

Feri mendekatkan bibir ke telingaku, lalu berbisik. "Rekeningmu ga ada di kotak itu."

 

Seketika aku diam.

 

"Yuk masuk kamar," ajak Feri sambil menggandeng bahuku, kamar kukunci dengan rapat, sementara di luar bapak masih terdengar berdebat dengan ibu.

 

"Mas, maaf ya kalau ibuku bukan mertua idaman."

 

Feri terkekeh.

 

"Ga masalah, yang penting kamu istri idamanku." Ia mencubit hidung.

 

"Rekeningmu ada di tas, jangan ditaruh sembarangan ya."

 

Aku mengangguk, beruntung sekali punya suami perhatian.

 

Kami berpelukan, semoga lelaki ini bisa mengobatiku dari jutaan luka yang mendera, bayangan masa kecil saat ayah merantau ke Jakarta kembali teringat.

 

Saat itu aku kerap menangis sendirian kala Dara membeli banyak baju dan mainan sementara aku gigit jari, jika Dara membeli jajanan aku hanya diberi sedikit itu pun diberikan dengan cara dilemparkan.

 

Jika ayah baru gajian maka ibu dan Dara jalan-jalan ke pasar dan makan di luar, sedangkan aku di rumah hanya disediakan nasi kemarin dan ikan asin.

 

Dara anak berprestasi sejak kecil berbeda denganku yang kata ibu bod*h, naik kelas pun sudah untung, wajar saja aku seperti itu karena sering dibentak dan tak pernah diperhatikan.

 

"Kok nangis" tanya Feri sambil menatap mesra wajahku

 

"Nangis haru." Aku tersenyum, lalu ia kembali memelukku, entahlah lelaki ini seolah paham akan deritaku.

 

Usai makan malam ibu terus menatap dengan sinis, ia akan seperti itu jika aku tak menuruti keinginannya, itu sudah terbiasa sejak dulu.

 

"Aku ke kamar dulu ya." Feri beranjak pergi setelah menghabiskan makanan 

 

Aku mengangguk sambil tersenyum.

 

"Dasar anak ga tahu diuntung, punya duit dimakan sendiri, serakah!" Piring kotor diletakkan dengan keras ke westafel.

 

"Kamu sembunyikan di mana rekening itu, Naura?!" Ibu membentak, bagaimana tak kesal kotak merah yang mati-matian ia rebut tadi ternyata tak ada isinya, hihi.

 

"Apaan sih kamu, Bu? mulai lagi, malu sama mantu kita," timpal bapak.

 

Aku hanya menghela napas melihat kebobrokan keluarga ini, dari dulu tak terbiasa melawan.

 

"Halaah mantu kere, ga pantes dihargai, palingan ngasih duit semilyar itu dapat ngutang." Ibu tersenyum sinis 

 

Tak ingin merusak suasana hati, aku memilih masuk kamar meniggalkan mereka tanpa kata, ingin rasanya cepat pergi dari sini.

 

"Maen nyelonong, cuci dulu tuh piring," sahut Dara, ia sudah terbiasa menyuruhku seperti nyonya.

 

Aku balik badan.

 

"Ga mau, sekarang giliran kamu yang jadi babu di rumah ini." Aku tersenyum sinis.

 

"Lihat tuh, Pak, anakmu belagu mentang-mentang punya duit banyak, palingan sebentar lagi juga bakal banyak yang nagih hutang."

 

Aku tak ingin meladeni ibu, takut kualat dan tambah sakit hati, lalu memutuskan untuk masuk ke kamar.

 

"Yang, jangan lupa ibadah sebelum tidur," ucap Feri sambil senyum-senyum.

 

Entah kenapa rasanya senyum itu terasa menyeramkan malam ini, jujur aku takut sekali dengan momen malam pertama.

 

"Gitu ya." Aku garuk-garuk kepala.

 

Bingung harus apa dulu.

 

"Aku ... sebenarnya belum siap, Mas," ucapku lagi dengan ragu.

 

"Kenapa belum siap? ibadah itu 'kan kewajiban, Sayang." Mas Feri mendekat, sedangkan aku beringsut mundur.

 

Duh gimana ini?

 

"Emm ... bisa besok aja ya, Mas?" wajahku mulai terasa dingin.

 

"Kok besok, ya sekarang dong." Mas Feri maksa, membuatku semakin menciut.

 

"Tapi aku takut." Kalimat itu lantang kuucapkan.

 

"Masa salat isya aja takut." Mas Feri keheranan.

 

Mataku langsung membeliak. "Jadi maksud Mas, ibadah itu salat isya?" aku bengong kaya orang be*o.

 

"Ya iya, 'kan kamu belum salat. Hayoo pasti kamu mikirnya begituan ya." Mas Feri menunjuk wajahku mengejek.

 

Sialan, kenapa otakku jadi ngeres.

 

Aku terkekeh terpaksa. "Iya deh, aku ke kamar mandi dulu ya."

 

Cepat-cepat aku kabur keluar.

 

Malam ini Feri belum menjalankan tugasnya sebagai suami karena aku kerap ketakutan, ia hanya memberiku pelukan dan kecu*an, tak lebih dari itu, semalaman aku juga nyenyak tidur dalam dekapannya.

 

Esok hari dua buah mobil terparkir di halaman, dari bentuknya mobil itu seperti kepunyaan orang kaya, karena aku sudah hafal mana mobil kalangan biasa dan kalangan orang kaya.

 

"Mobilnya udah dateng, Yang."

 

Aku tak banyak bicara, gegas masuk ke dalam memberitahu bapak, hari ini semua keluargaku ikut mengantar pindahan ke rumah mertua.

 

"Ibu mau ikut lihat rumah mertuamu, pasti terletak di kampung pedalaman, rumahnya dari bambu dan reyot." Ibu dan Dara cekikikan.

 

"Eh, Dara, ngapain pakai sendal tinggi begitu, pakai sepatu biasa aja, Ibu yakin di sana pasti jalanan becek," tegur ibu yang sebenarnya hinaan untukku.

 

Lagi aku hanya bisa diam, karena sebenarnya aku belum tahu rumah Feri, mengenal orang tuanya pun pada saat lamaran.

 

"Terus ya, Bu, di rumahnya itu pasti ga ada kamar mandi, orang pedalaman 'kan gitu suka mandi di kali." Dara bergidik jijik.

 

Lalu mereka tertawa lagi, setelah itu keluar bersama bapak dan Bi Ratih, kakaknya ibu itu ingin ikut karena sudah pasti ingin ikutan mengejekku.

 

"Gaya aja digedein, mahar semilyar, pakai mobil bagus, miskin aja banyak gaya," bisik ibu pada Bik Ratih 

 

Mereka cekikikan di belakang.

 

Mobil membawa kami melaju menuju kota Sukabumi, ternyata perkiraan ibu salah, rumah mertuaku sama sekali tak melewati perkampungan.

 

Malahan sekarang masuk ke sebuah komplek di tengah kota, rumah-rumah bagus berjejer rapi terlewati.

 

"Bu, kok masuk ke sini ya," bisik Dara di belakang.

 

"Ga tahu, mungkin jalan pintas kali," jawab ibu.

 

Setelah menempuh perjalanan satu jam akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah minimalis yang dipagar tinggi, bentuknya dua lantai dan kekinian, bercat warna putih tulang.

 

 Di depan sana kulihat papa mertua membukakan gerbang hingga mobil kami bisa masuk ke dalam.

 

"Feri, ini ... rumah siapa?" tanya ibu dengan mata membeliak.

 

"Rumahku, Bu, ayo turun," ajak Feri sambil melirik ke jok belakang.

 

"Hah, rumah kamu ...."

 

Ibu pingsan lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status