Share

Bab 4 Ternyata Mas Pram?

Tak seperti pagi sebelumnya, Linggar merasa asing di tempat baru tersebut. Beranjak dari tempat tidurnya, lantas bersih-bersih dan menuju tempat terbaik untuknya menyalurkan kreativitas, dapur. Tidak banyak bahan makanan yang dipersiapkan Pramudita, namun masih bisa Linggar siasati.

"Apa yang kamu lakukan?" Semerbak wangi maskulin dengan campuran bau woody dan musky menyeruak ke dalam hidung. Linggar otomatis menoleh, menatap pria yang datang dengan rambut setengah basah itu.

"Selamat pagi, Mas. Aku hari ini buat sarapan," ucap Linggar, kembali berkutat dengan penggorengan.

Pramudita mengangguk, kemudian menarik kursi meja makan. Menatap punggung wanita itu seperti menari, memainkan alat masak. 

"Mas Pram, ingin kopi panas?"

"Tentu saja. Gulanya sedikit saja," jawab Pramudita.

Wanita dua puluh lima tahun itu memasukan kapsul kopi ke dalam mesin, menantikan rintikan air hitam itu memenuhi cangkirnya. Kemudian membawa dua piring nasi goreng ke hadapan Pramudita.

"Maaf, Mas, aku hanya masak seperti ini saja. Tidak ada bahan makanan di sini," ucap Linggar.

"Tidak masalah. Nanti beli bahan makanan yang kamu inginkan." Pramudita menatap lapar masakan Linggar, tercium wangi.

Disusul dua cangkir kopi sebagai temannya. Mereka kemudian sarapan dengan hikmat, tak ada pembicaraan setelahnya. Hingga sarapan tersisa setengah, baik Linggar atau Pramudita tidak ada yang membuka suara. 

Linggar berdehem, kemudian menyeruput kopinya. "Mas, kamu sepertinya tidak suka dengan Mas Dipta, Mas. Memangnya kalian punya masalah ya?"

 

Pramudita mengangguk. "Banyak masalah."

Linggar memperbaiki duduknya, menghadap Pramudita lebih lekat. Tatapannya mengisyaratkan penjelasan lebih. Wanita itu terlampau penasaran di balik cerita tentang adik dan kakak tersebut. Selama ini Pradipta tak pernah cerita apa pun tentang Pramudita.

"Tentang apa, Mas?"

"Aku tidak ingin bercerita," jawab Pramudita singkat. Ia mengangkat cangkirnya, kemudian menyesap kopi perlahan.

"Mas Pram, aku ingin mendengarnya. Lagi pula di rumah ini hanya ada aku dan kamu, tidak ada orang lain. Paling juga setan, nggak mungkin akan bocor." Linggar memberikan tatapan memohon ke hadapan Pramudita. 

Tak sengaja tangan Linggar menyentuh lengan Pramudita, membuat pria itu menggeram tak suka. Tatapannya berubah dingin nan menusuk. 

"Lepaskan!"

"Iya, maaf. Cerita dong, Mas."

Mungkin sekitar lima belas jam yang lalu Pramudita resmi memboyong Linggar ke rumah barunya. Rumah tersebut adalah investasi lama yang telah dipersiapkan matang oleh Pramudita bila telah menikah. Akhirnya kini ia telah membuang status lajangnya. 

Seluruh perlengkapan telah dicicil beberapa tahun lalu oleh Pramudita dengan harapan setelah menikah hanya tinggal menempati. Akhirnya Linggar menikmati hal itu semua. Ia merasa pemikiran Pramudita lebih dewasa dan tertata ketimbang adiknya, Pradipta.

Pramudita menghela napas panjang. "Pradipta pernah merebut pacarku."

"Dia bilang kamu gagal nikah, Mas. Memangnya benar?"

Pramudita menggeleng. "Tidak. Aku belum hanya memiliki rencana untuk serius, lalu menabung dan kredit rumah ini. Entah dengan siapa aku menikah, nanti rumah ini akan aku tempati dengan istriku."

"Sayangnya saat itu pacarku malah menyukai adikku sendiri. Mereka sempat pacaran setelah kami putus. Aku tidak tahu masalahnya apa, mereka putus beberapa bulan kemudian. Setelah itu, dia pacaran denganmu."

Linggar mengerutkan dahinya, kembali mengingat pertama kali dirinya mengenal Pradipta. Pria yang tak sengaja menabraknya di mal kala itu. Sebagai permintaan maaf, Pradipta mengajak Linggar makan bersama. Sejak itu komunikasi di antara mereka berjalan lancar, hingga menghasilkan bibit cinta.

"Seingatku dulu, dia pernah cerita tak pernah pacaran sebelum pacaran denganku."

Pria itu berdecak. "Kamu percaya?"

Linggar mengangguk. "Aku selalu apa yang dia katakan, Mas."

"Dasar bodoh! Kamu tahu tidak, Enggar, adik iparmu itu rajanya menipu dan merayu. Pantas saja kamu terlena olehnya," ejek Pramudita.

"Jadi, kamu menikahi aku karena ingin balas dendam?" Mata Linggar menyipit.

Tanpa jawaban, Pramudita beranjak dari duduknya. "Aku telah selesai sarapan."

Kemudian ia berjalan ke arah kamarnya berada di lantai atas. Pria itu mengantongi tangan kirinya sedangkan tangan kanan membawa cangkir sisa kopinya, tak ada kata perpisahan untuk sang istri. 

Linggar menghela napas setelah punggung pria itu tak terlihat. "Baru akrab sebentar, malah pergi lagi. Aku harus tambah giat untuk mengejar Mas Pramudita. Penasaran sekali dengan dia."

"Aku yakin lambat laun Mas Pram bisa menerima aku di sini sebagai istrinya," lanjut Linggar dengan nada penuh keyakinan.

Tatapannya tertuju pada piring Pramudita yang telah bersih, tidak ada satu pun bulir nasi yang tersisa. Pria itu makan dengan cepat. Membuat senyuman timbul di bibir Linggar.

"Ternyata Mas Pram menyukai masakanku." 

Ponsel Linggar bergetar. Ia melihat satu nama yang masih membuat hatinya panas, Pradipta, sang adik ipar. Entah hal apa lagi yang ingin dibahas oleh pria tersebut, hingga berani mengirimkan pesan untuk dirinya.

"Kenapa kamu masih mengganggu hidupku, Mas? Bagaimana bila Mbak Gendhis tahu hal ini? Pasti aku yang akan disalahkan olehnya. Aku yang akan dianggap berusaha merebut suami orang lain," keluh Linggar.

Bagaimana, Dik Enggar? Apa Mas Pram mau menyentuhmu? Hahaha, kamu harus tau fakta bila kakakku itu tidak suka perempuan. 

Linggar tak menghiraukan. Ia buru-buru keluar dari room chat Pradipta. Kepikiran dengan dirinya yang tak sengaja menyentuh lengan Pramudita berakhir membuat pria itu marah.

"Masa iya Mas Pram tidak suka perempuan?"

Kembali pesan masuk ke dalam ponselnya. Linggar merasa penasaran dengan isi pesan tersebut.

Kalau kamu tidak percaya, goda saja dirinya. Aku yakin dia tidak punya gairah dengan seorang perempuan. Mas Pram hanya menyukai sesama jenis. Menikah denganmu hanya menutupi ketidaknormalan itu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status