Flashback Setahun Lalu
Ucapan Mas Hendra bagai sebuah tamparan keras di pipi. Sempat terhenyak beberapa saat, aku lalu menyadari suatu hal, bahwa aku haruslah meminta maaf sebab telah menyinggung Nadia. Bergegas diriku keluar kamar, berjalan ke arah tangga menuju lantai dua yang berada di belakang.
Napas ini sampai tersengal sebab terlalu cepat melangkah. Ketika aku tiba di depan kamar yang ditempati Nadia, betapa terbelalaknya mata ini. Janda muda itu telah mengemasi semua isi lemarinya. Memindahkan pakaian-pakaian ke dalam koper besar yang dia bawa.
Terdengar isak tangis dari bibir Nadia. Perempuan yang mengikat rambut lurusnya ke atas tersebut tampak begitu hancur. Sebagai seorang sahabat karibnya, aku merasa telah gagal.
“Nad, maafkan aku,” kataku lirih. Kudekati perempuan itu dengan derap langkah yang perlahan. Sesungguhnya, aku sangat malu sebab telah menuduh suami dan sahabatku melakukan hal yang tidak-tidak.
“Kamu tega, Ri! Tega!” Nadia berteriak. Perempuan berkulit putih bersih itu menatapku dengan mata sembabnya.
“Kalau kamu tidak ikhlas membawaku ke sini, kenapa tidak bilang dari awal saja?!” Dengan telunjuk lentiknya, Nadia menuding ke arah wajahku. Dia terlihat begitu hancur dan kecewa.
“M-maaf … a-aku ….”
“Stop! Jangan lagi memberikan pembelaan, Ri! Aku akan pulang hari ini juga!”
Sedih langsung merundung jiwa. Nestapa telah melandaku. Betapa tidak, hadirnya Nadia selama sepekan belakangan ini begitu memberi warna tersendiri. Suasana rumah jadi kian hidup. Carissa makin ceria, begitu juga dengan Mas Hendra yang sudah jarang sekali cuek apalagi bersikap dingin kepada kami. Jika Nadia pergi … maka semua kebahagiaan di sini juga akan sirna.
“Nad, tolong dengarkan dulu penjelasanku,” kataku sambil meraih tangannya.
Nadia menepis kasar. Perempuan itu mencebik, lalu melengos. Bagaikan sedang jijik melihatku.
“Tidak usah repot-repot!” bentaknya. Perempuan itu berdiri sambil melipat tangan di depan dada. Sementara itu, mukanya masih berpaling dariku.
“Maaf, Nad. Tolong jangan pulang. Tetaplah di sini,” bujukku lagi.
Perempuan 29 tahun itu mendecih. “Untuk apa? Kamu sendiri takut kalau aku merebut suamimu!”
“Tidak begitu, Nad. M-maaf. I-itu … adalah kekhilafan terbodohku. Aku percaya kamu.”
Nadia mendadak bungkam. Tak menjawab dan tak juga memandangku. Dia membeku dengan wajah ditekuk. Gesturnya masih menunjukkan kekecewaan yang mendalam.
“Katakan, Nad. Apa yang bisa membuatmu memaafkanku,” mohonku sambil meraih kedua tangannya.
“Tidak perlu, Ri. Dari dulu, aku berteman denganmu tulus. Tidak pernah kuharapkan apa pun! Apalagi berniat buat merebut suamimu. Aku tidak serendah pikiran cetekmu itu!” Nadia akhirnya memandangku. Sengit sekali. Kedua mata belonya menatapku begitu tajam.
Air mata pun tak terelakkan lagi. Menetes sudah. Membanjiri wajahku. Aku menangis pilu sampai tersedu-sedu. Aku benar-benar sangat menyesal.
“Simpan air mata itu, Ri! Semuanya sudah terlambat!” Nadia menepis genggaman tanganku. Perempuan itu kembali mengemasi semua barang-barangnya. Sedang aku sudah lemas, saking tak bisa berkata-kata lagi.
“Nadia, tolong maafkan Riri.”
Sebuah suara membuat aku dan Nadia sontak menoleh ke arah pintu. Suamiku telah berdiri di ambang dengan wajah yang muram. Ketampanan Mas Hendra terlihat sedikit memudar akibat warna pucat yang menghias. Aku jadi semakin merasa bersalah. Bisa-bisanya, lelaki tengah sakit begini, aku malah menuduhnya yang bukan-bukan. Semuanya gara-gara hasutan Eva!
Mas Hendra berjalan masuk. Matanya tampak tak lepas dari menatap sosok Nadia. Ketika kulihat ke arah sahabatku, ternyata Nadia pun tengah memandang ke arah suamiku. Tatapan Nadia terlihat sedih. Ah, aku benar-benar sangat jahat kepada mereka berdua.
“Maafkan istriku, Nad. Bertahanlah di sini,” ucap Mas Hendra dengan suara yang serak.
Perempuan yang berdiri di sebelahku itu menangis lagi. Semakin seru tangisannya. Ditutupnya dengan kedua belah telapak tangan wajah cantik itu. Karena tak tahan melihatnya begitu, aku pun langsung merangkul dan memeluk erat tubuh Nadia.
“Nad, maafkan aku, ya?”
“B-baiklah ….”
Aku benar-benar merasa sangat lega. Beban yang menimpa kini perlahan hilang. Ya Tuhan, ampuni segala salahku kepada perempuan baik ini. Dia tak pantas kutuduh begitu. Aku kenal baik dengan Nadia dan tidak mungkin dia mau main serong, apalagi di tengah kondisi berduka.
“Aku melakukan ini karena menghargai Mas Hendra. Ingat itu, Ri,” tambahnya lagi.
Nadia melepas pelukannya. Memandangku lekat-lekat dengan bibir yang mencebik. Dari sorot mata itu, terlihat jelas bahwa dia belum sepenuhnya memaafkanku.
“Luka ini akan selalu menganga, Ri. Kamu harus tahu itu,” tuturnya sinis.
Aku hanya bisa menunduk lesu. Mengusap air mata di pelupuk yang tak henti-hentinya terjatuh mengaliri wajah. Iya, Nad, aku memang bersalah. Andai bisa waktu kuputar, memang lebih baik aku tak pulang saja ke rumah saat jam-jam kantor begini.
“Sudah, Nad. Ikhlaskan kesalah pahaman ini. Aku mohon.” Mas Hendra yang berdiri di depan kami, menyentuh pundak Nadia. Lelaki itu menatapnya dalam. Kulihat, Mas Hendra begitu sungguh-sungguh dalam memohon kepada Nadia.
Dalam kondisi begini, seharusnya aku mampu untuk menundukkan ego. Namun, nyatanya muncul kembali kecemburuan tak beralaskan tersebut. Ada perasaan terusik ketika suamiku malah segitunya membujuk Nadia. Bahkan … dia hingga menyentuh tubuh Nadia segala.
“Mas, mungkin ini agak berlebihan,” kataku sambil menyambar tangan Mas Hendra. Kuturunkan tangan itu dari pundak ramping milik Nadia.
“Kurasa kamu terlalu pencemburu, Ri. Sikapmu sangat berlebihan.” Nadia ketus melontarkan kalimat barusan kepadaku. Dia pun menyunggingkan senyuman yang sinis. Padahal, aku tak bermaksud apa-apa. Hanya tak ingin suamiku asal sentuh kepada perempuan lain.
Ingin marah, tapi kutahan sebab tahu posisiku sudah salah di awal. Akhirnya, semua perasaan itu kutahan saja.
“Aku tetap pergi. Alexa akan kujemput dari daycare. Kamu tidak perlu lagi untuk cemas, Ri. Tidak akan ada lagi perempuan yang bisa kamu curigai untuk berbuat serong dengan suamimu.”
Perempuan berdaster dengan kaki jenjang dan kuku-kuku yang lentik nan panjang itu mengunci ritsleting kopernya. Hendak dia turunkan koper itu ke bawah, tetapi buru-buru Mas Hendra yang mengangkatkannya.
“Nad, pikir-pikir lagi. Jangan gegabah. Kamu masih terguncang karena kematian suamimu.” Mas Hendra terdengar sangat keberatan dengan kepergian Nadia. Sedikit banyak, entah mengapa muncul sebuah sedikit kekesalan. Kenapa suamiku sampai sebegininya? Apakah … ah, tidak. Aku tidak mau semakin memperkeruh pikiran sendiri.
“Tidak usah, Mas. Ini yang terbaik.” Nadia terdengar sangat mantap. Aku pun cuma bisa diam saja. Muncul sebuah rasa ikhlas yang sekonyong-konyong datang. Awalnya, aku memang ingin menahan Nadia tinggal di sini. Akan tetapi, setelah kurenungkan sesaat, mungkin dia sebaiknya pergi saja. Apalagi sikap Mas Hendra yang sudah agak berlebihan.
“Baiklah, Nad. Semoga hubungan kekeluargaan kita tidak pernah putus. Sekali lagi, maafkan istriku,” kata Mas Hendra sambil mengangguk pelan.
“Ri, minta maaf lagi kepada Nadia. Dosa besar kamu telah menuduhnya tanpa sebuah bukti.” Mas Hendra meraih lenganku. Diremasnya pelan dan disorongkannya ke arah Nadia.
“Nad, aku minta maaf, ya.” Aku menyodorkan tangan kananku. Nadia masih bungkam. Dia membuang wajah untuk beberapa saat dan akhirnya mau menjabat tanganku.
“Ri, jangan pernah menyesal jika mungkin sikapku tak seperti dulu kala. Kadang, ucapan itu lebih tajam daripada sebilah pedang.”
Nadia menatapku tajam. Tatapan itu, bagaikan menusuk hingga ke relung dada. Awalnya, aku ingin memohon lagi agar dia tulus memberikan maaf. Namun, tiba-tiba ada yang aneh dengan hati ini. Seperti ada pergulatan batin. Instingku mengatakan … ah, sepertinya Eva sudah terlalu banyak memberikanku pengaruh buruk.
Sadar, Ri. Ini bukan dirimu. Hatimu tak pernah sepicik ini. Sebaiknya, aku harus menjaga jarak di kantor dengan Eva, sebab lama kelamaan dia akan menjadi benalu yang mempengaruhi jalan pikiranku.
(Bersambung)
##BAGIAN 7POV NADIA “Kamu harus segera bertindak.” Ucapan setajam silet itu telah membuat sekujur tubuh ini gemetar. Meskipun hanya via telepon, tetapi aku bisa merasakan betul betapa menyeramkannya perintah tersebut. Hati nuraniku belum sepenuhnya mati. Otak ini masih bisa berpikir jernih, walaupun hanya 20% saja. Dan celakanya, 20% tersebut adalah rasa keberatan akan perintah yang benar-benar di luar batas wajar barusan. “T-tapi—” “Oh, kamu menolak? Ya, sudah. Sebaiknya kita akhiri saja semua ini.” Napasku ter
POV NADIA “Eh, Papah,” kataku gelagapan. Obat tetes mata itu buru-buru kumasukan ke dalam saku daster. Secepat kilat tanganku bergerak. Kuharap, Mas Wahyu tak menyadarinya. “Mana kopinya? Papah udah haus, nih,” ujarnya sambil merangkul tubuhku. Pria yang aroma tubuhnya agak masam tersebut membuatku agak risih. “Ini kopinya. Mau minum di sini atau bawa ke kamar?” tanyaku sembari melepaskan rangkulannya. Jujur saja, aku sudah sangat ilfeel kepada Mas Wahyu. Pikiranku saat ini hanya tertuju kepada pria kesayanganku seorang. “Minum di meja makan sini aja. Kamu temenin aku tapi ya, Mah. Jangan ngurung diri di
HAPUS AIR MATACuplikan sebelumnya:Setibanya di ruang tamu, aku mengendap-endap sebab mendengar suara Mas Hendra tengah berbicara di teras. Untungnya, pintu depan tertutup setengah, sehingga keberadaanku tak langsung bisa disadari, kecuali pintu itu kubuka seluruhnya.“Kamu, sih! Cerobohnya bukan main! Dasar bodoh!”Terperanjat aku ketika mendengarkan kata-kata Mas Hendra dari balik pintu. Mas, benarkah firasatku?*** “Jangan sampai, perjuangan kita selama ini sia-sia karena ketololanmu!” Di balik pintu, aku berdiri dengan kedua tungkai yang gemetar. Dua telapak tanganku pun sontak basah akibat keringat dingin yang mendera. Perjuang kita selama ini? Ya Allah … apa yang tengah dibicarakan suamiku? Betulkah lawan bicaranya tersebut adal
RACUN UNTUK GUNDIK “Ah, Bunda lebay banget, Ca. Kita ke kamar yuk, Ca. Bundamu lagi drama.” Mas Hendra meraup beberapa kukis dari dalam toples, kemudian membiarkan tutupnya tergeletak begitu saja. Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab! Karena diajak sang ayah ke kamar, anak semata wayangku langsung beringsut dan mengejar Mas Hendra. Syukurlah mereka menyingkir dari dapur. Dengan begitu, aku bisa leluasa memasak tanpa harus mendengar celotehan Mas Hendra yang tiba-tiba saja membuatku sangat muak. Sayuran berupa terong ungu, bunga kol putih, buncis, dan wortel yang sempat terabaikan di bak wastafel, kini kucuci kembali di bawah air mengalir. Sambil menggosok pelan terong panjang nan gemuk tersebut, kubay
KAMU HARUS MENDERITA “Ih, Riri. Ngomongnya berat banget, sih? Alexa itu masih kecil. Masa udah diomongin kaya gitu?” Nadia protes. Suaranya manja. Wanita bertubuh langsing dengan dada yang menyembul bulat itu langsung melendot di lenganku. Sementara itu, Mas Hendra berhasil menggendong Alexa keluar. Mungkin mereka akan jalan-jalan naik mobil. Terserah saja, aku ogah peduli. “Nggak usah nempel-nempel! Aku bau bawang. Masih kucel, masih dasteran. Nggak kaya kamu. Udah necis dan kinclong kaya ubin masjid.” Kutepis Nadia. Perempuan itu terlihat bingung menatap. Dia pun tampak mau tak mau melepaskan gamitannya. “Kamu kenapa, sih, Ri? Hari ini tumben galak banget?” tanyanya dengan suara
KUREKAM BARANG BUKTI “Mas, santai! Kamu tidak perlu memburu-buruku!” Aku membentak sambil membeliakkan mata. Merasa jengkel sebab dia dengan seenaknya memerintahku. Enak saja! Kalau perlu, si gundik tak perlu diantar ke rumah sakit agar mati saja sekalian. “Riri! Apa yang ada di otakmu!” Mas Hendra yang mukanya merah dan bersimbah keringat langsut bangkit sambil menggendong tubuh Nadia. Tampak perempuan dengan wajah yang membengkak dan kemerahan tersebut mengeluarkan liur dari mulutnya. Semoga kau mati, Nad! Agar puas hatiku. “Dasar tak punya hati!” Mas Hendra marah. Dia tergopoh-gopoh dan merampas kunci mobil dari genggamanku.&nbs
CCTV “Ri.” Panggilan dari Mas Hendra membuatku yang baru saja memasukan ponsel ke saku daster, sontak menoleh. Pria itu kelihatan lelah. Pelipisnya basah karena keringat. Napasnya juga tampak terengah. “Gimana keadaan Nadia?” tanya suamiku sambil mendekat. “Dia udah mulai sadar. Manggil-manggil mas. Aku nggak tahu mas siapa yang dia maksud,” jawabku tenang. Muka Mas Hendra seketika pucat pasi. Pandangannya langsung tertuju ke tubuh Nadia yang diselimuti hingga bagian atas dada tersebut. “Mungkin … d
PIN ATM “Permisi,” sapaku kepada seorang gadis pelayan toko. Perempuan muda dengan rambut panjang sebahu dan wajah cantik itu tersenyum ramah. “Silakan, Bu. Mau cari apa?” tanya gadis berkaus merah dengan ujung lengan berlis biru tersebut. Aku sibuk menatap ke sekeliling etalase di belakang perempuan tersebut berdiri. Ragam macam kamera CCTV dijajakan. Aku mendadak bingung, sebab ini adalah kali pertamaku berbelanja kamera pengintai. “Mbak, saya cari CCTV yang bisa dipasang setersembunyi mungkin. Yang tidak bikin orang curiga dan bisa diakses ke ponsel saya. Bisa, Mbak?”&n