WARNING 21+ AGAIN.”Boleh. Lakukan apapun yang kamu inginkan.” Angguk Raya.Perlahan Rizal membuka kedua paha Raya, kembali mengusap kewanitaan istrinya kemudian menggerakkan ketiga jarinya di dalam sana, Raya mulai merasakan kenikmatan yang sama sekali belum pernah ia rasakan dalam hidupnya.Setelah kewanitaan Raya basah, Rizal mulai memajukan wajahnya, ingin memainkan lidahnya dalam organ Raya yang paling berharga. Namun baru sempat Rizal menciumnya Raya sudah bersuara. “Stop!”Rizal mengangkat wajahnya. “Kenapa?”“Jorok,” ucap Raya pelan,“Tidak jorok, kamu pun pernah melakukannya padaku.””Tapi _””Tidak ada tapi, nikmati semua sentuhanku. Seluruh tubuhku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku tidak akan membiarkan secuil kulit pun dari tubuhmu yang belum pernah aku jamah,” ucap Rizal sambil sesekali mencium permukaan perut Raya. ”Hai, jagoan ayah, cepatlah hadir di perut bunda.”Mendengar apa yang Rizal ucapkan, Raya tersenyum bahagia sambil sesekali mengangkat punggungnya me
Raya anggukan kepala dengan kedua mata berkaca-kaca. Rizal memajukan wajah kemudian sejenak melumat bibir istrinya. “Mulai sekarang aku akan terus melihat wajahmu,” ucap Rizal melepas lumatan. Mengusap lembut permukaan bibir Raya dengan jarinya. ”Di sini bukan cuma loe berdua ya,” ucap Andika, membuat Rizal mengarahkan pandangan pada sahabatnya itu. ”Dik, gue bisa melihat lagi.” Tidak menghiraukan ejekan Andika, Rizal justru menatap sahabatnya itu dengan haru kebahagiaan. ”Gue bisa liat loe, gue bisa lihat semua orang.” Rizal mengedarkan padangan. Andika hanya mampu anggukan kepala, merasa terharu melihat sahabatnya saat ini. Setelah para dokter melakukan pemeriksaan total pada kedua mata Rizal dan hasilnya normal tidak ada masalah, mereka pun berpamitan. Rizal sama sekali tidak melepas genggamannya di tangan Raya, seolah jemari itu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya. ”Dika,” panggil Rizal terlihat mulai serius. ”Gue tau apa yang mau loe tanya.” Andika mendekat pada Rizal.
Kutatap jam dinding di atas televisi, jarum pendek itu mengarah ke angka sembilan, "Ardila, kamu mau kemana? Ini sudah malam," ucapku padanya yang kini sudah berdandan cantik menuju pintu keluar rumah. "Aku bosan sendiri terus di rumah." "Aku kerja, aku lagi berusaha untuk membahagiakanmu." "Kebahagiaan apa? Kalau pulang gak pernah bawa apa-apa, boro-boro makanan, barang yang aku suka aja kamu gak tau!" "Emang kamu mau apa? Nanti ketika sudah ada uang, pasti akan kubelikan." "Alah, kalaupun aku kasih tau sudah pasti kamu gak akan bisa belikan!" "Katakan padaku, barang apa yang kau mau? Jika harganya mahal, aku kumpulkan uangnya dulu," jawabku penuh keyakinan. "Oke, aku mau berlian. Berlian asli ya, bukan imitasi." Sinis dan meremehkan tampak di wajah cantiknya. "Berlian, ya? Berapa harga berlian? Aku belum pernah beli berlian
Jemari kami masih saling menggenggam, aku tak akan mau melepaskan karena hal ini sudah lama tak kami lakukan. Aku selalu senang jika bertemu banyak orang, dengan begitu kemesraan kami akan kembali, dan aku selalu berharap kemesraan itu terbawa sampai kami di rumah. "Tadi itu, Lina ngeliatin kamu terus. Ada hubungan apa kamu sama dia?" "Lina siapa?" tanyaku santai, sambil memesan kendaraan online dengan telepon di tangan kanan. "Anak psikologi, mantan Teguh. Dulu dia kan sempet gangguin hubungan kita." "Oh," "Oh doang! Kamu tuh kebiasaan sok kegantengan, itu yang membuat cewek-cewek kegeeran kalo di deket kamu! Gak perlulah tebar pesona, kamu tuh sudah nikah! Awas aja kalau sampai macem-macem, aku gak akan segan ngancurin hidup kamu!" ucapnya sambil melepas kasar jemariku. "Kamu jangan ngaco dan gak perlu juga ngancam-ngancam suami! Tebar pesona bagaimana, kamu gak li
Hari berlalu begitu cepat, dan sikap istriku Ardila semakin parah. Ia semakin seenaknya, bayangkan saja seluruh aktifitas melelahkan kini aku yang kerjakan. Ia hanya cukup bangun tidur sarapan, membuat kopi sendiri karena katanya kopi buatanku tidak enak, dan menaruh bekas makannya begitu saja. Siang hari menonton televisi sambil menghisap nikotinnya dalam, terkadang ditemani cemilan hasil dagangan penjual lewat depan rumah. Mungkin dengan begitu ia bahagia, dan aku berusaha merasakan kebahagiaan yang sama. Aku berharap ia paham, bahwa aku sedang berusaha membahagiakannya. Aku sedang berjuang untuk memenuhi seluruh kebutuhan, meski usahaku terkadang ia patahkan, termasuk kontrak kerjak yang terpaksa kubatalkan demi menghindari perceraian. Dan satu lagi, seharusnya ia tak pernah lupa, bahwa aku bukanlah orang kaya. Aku hanya anak yatim piatu miskin, dengan kecerdasan cukup baik, yang kedua orang tuanya meninggal dunia tak lama sebelum kam
Melihat penampilan Ardila seperti itu, membuat adrenalin kejantananku lagi-lagi meningkat berkali-kali lipat. Dengan rasa rindu mendalam dan hasrat menggebu, aku berjalan cepat dan langsung memeluknya dari belakang, erat. Kucumbu tengkuk lehernya, kuhirup tiap jengkal aroma tubuhnya, sejenak ia menikmati tiap sentuhan yang kuberi namun selang beberapa menit ketika hasratku semakin menggebu, ia melepas pelukanku dan kembali berjalan melanjutkan langkah. "Aku lelah, aku mau tidur. Tadi banyak kerjaan di kantor." Begitu ringan ucapannya dan aku terdiam membatu, sambil memperhatikan tubuh seksi itu beraktifitas. Tepat di sisi meja rias, tanpa rasa malu dan bersalah ia mulai melepas satu persatu pakaian di tubuhnya. Terlihat jelas di sana belasan tanda merah menempel indah dan aku hanya gelengkan kepala penuh kesedihan, 'tak mungkin Anggi, tak mungkin wanita yang melakukan itu semua.' Amarah dan cemburu tumbuh begit
Panggilku begitu keras dan nyaris membuat orang sekitar ketakutan, namun orang yang kupanggil, sama sekali tak mendengar. Aku tak mungkin salah, aku sangat tau dan sangat mengenali istriku, bahkan pakaian yang ia kenakan sama persis dengan apa yang ia pakai tadi pagi.Berniat mengejar, namun logikaku menolak. Meski lalu lintas padat merayap, kemungkinan kecil bisa mengejarnya dengan keadaan ban motorku yang bermasalah.Hatiku tak tenang, otakku panas, tanganku terkepal sempurna berharap pria berengsek itu ada di hadapanku. Jika itu sampai terjadi, sudah pasti ia akan babak belur bahkan mungkin kehilangan nyawa hasil sadis kedua tanganku.Kakiku masih mundar-mandir di area bengkel kecil, berusaha tenang namun fisik dan pikiran tak bisa kusingkronkan.Motor maticku selesai ditangani, setelah memberikan upah pada tukang tambal ban, aku langsung tancap gas menuju rumah. Fokusku hanya satu, mengetahui siapa seb
"Ya, aku menyerah. Aku sudah lelah dengan kebodohanku. Aku cape, dan sepertinya aku tidak mampu memberikan kebahagiaan yang kau inginkan." "Carilah yang sempurna, jika ingin kehilangan yang terbaik." "Tanda tanganilah, aku sudah lebih dulu menandatanganinya," ucapku sambil memberikan selembar kertas hasil unduhku di web pengadilan negeri. "Kamu menceraikanku?" "Hm," jawabku sesimpel itu. tetapi, entah apa yang terjadi setelah ini. Yang aku tahu dan yang selalu terbayang, hari-hari yang kulalui akan selalu bersamanya, entah seperti apa jadinya nanti, yang pasti setelah ini aku harus nikmati proses sakit ini. Karena bagiku luka paling sakit adalah, ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu. "Kau tidak menyesal menceraikanku?" Kujawab hanya gelengan kepala dan sepertinya ia tau, aku masih sangat mencintainny