Anggoro masih saja tidak percaya. Bagaimana mungkin, Satria akan meminta hal itu kepada wanita yang jelas-jelas sudah merusak masa depannya!
"Satria! Dia yang menyebabkanmu lumpuh," ucapnya pelan dengan pandangan tajam."Hahaha," tawa Satria mendadak kencang, semakin mengejutkan Anggoro. Tawa itu terhenti ketika Sera kembali menatap dan menggelengkan kepala.Sera mengusap wajah anak itu dan semakin tersenyum."Satria, kau anak yang sangat baik. Aku akan menemani ayahmu. Itu tanggung jawab seorang istri. Hmm, besok aku akan menemanimu seharian. Bagaimana?"Sera mencium kening Satria, seperti seorang Ibu pada anaknya.Dan … putranya itu tak memberontak?Melihat itu, Anggoro semakin tak percaya karena Sera berhasil “mengendalikan” Satria.Terlebih, kala melihat Satria kembali tertidur sembari tersenyum.Anggoro lantas meninggalkan kamar Satria begitu saja. Dia tak bisa berkata apa pun dengan drama mengejutkan barusan.Tentu saja, Sera mengikuti suaminya itu.Anehnya, Anggoro mendadak berhenti—membuat jantung Sera berdetak cepat. Langkahnya pun terhenti tidak jauh dari posisi suaminya.Terlebih, pria itu mendekat, hingga jarak keduanya hanya beberapa senti saja."Apakah kau memang memiliki rencana mendekati keluargaku?” ucapnya mendadak, “kau dan Bima juga saling mengenal, kan?"Napas Sera semakin sesak ketika nama Bima kembali disebut. Akan tetapi, dia tak tahu harus membalas apa. Hal ini jelas membuat Anggoro semakin salah paham. Hanya saja, pria itu menepis pikirannya yang terus saja tertuju pada wanita di hadapannya ini.Sesuatu yang selama bertahun-tahun tidak pernah dia rasakan entah mengapa kembali muncul, setiap melihat mata wanita ini.Bahkan, air mata Sera yang menuju leher putih yang sangat mulus–juga menarik perhatiannya. Tubuh lelaki itu seketika tergelitik cukup hebat. Bulu kuduknya merinding, semakin membuat dia tidak bisa berpikir jernih.Anggoro menghela napas. Dia sedikit menjauh untuk mengatur dirinya sendiri. "Besok acara pelantikan Bupati. Sedikit kesalahan saja yang kau lakukan, aku tidak akan pernah memaafkanmu," tegasnya.Tak lama, pria itu pun membalikkan tubuh dan segera menuju ranjangnya–menahan sesuatu yang menegang di kedua pangkal pahanya.****Sementara itu, Sera terkejut dengan tingkah Anggoro. Hanya saja, dia tak mau memikirkannya lebih lanjut dan memilih kembali merebahkan tubuhnya di lantai. Satu hal yang harus dia lakukan adalah, bertahan.‘Semoga semua berjalan lancar.' Dia sedikit melirik punggung kekar Anggoro, sebelum akhirnya terlelap.Tanpa disadari Sera, pagi kembali datang. Sinarnya matahari membuat dia perlahan membuka kedua matanya."Ah, aku kok berada ..."Namun, dia segera duduk ketika melihat suaminya sudah memakai seragam kebesaran pejabat berada tepat di hadapannya. Menatap tajam seolah-olah siap menghakiminya.Tak hanya itu, Sera pun menyadari dirinya berada di atas sofa ….Bukankah ...?Seolah tahu pertanyaan dalam diri Sera, Anggoro tiba-tiba berkata, "Jangan berpikiran apa pun. Waktumu hanya sebentar untuk menyiapkan diri."Perempuan itu jelas terpaku. Dia masih bingung. Tak mungkin, seorang Anggoro menyentuhnya, kan?"Nduk!"Teriakan Mbok dari luar kamar menyadarkan Sera dari lamunan."Ya, Mbok. Mohon bantu aku, ya. Kata Tuan Anggoro, waktuku sedikit," ucapnya sembari menarik Mbok.Mereka pun menuju ruangan yang biasanya dipakai untuk berdandan.Untungnya, Mbok sangat profesional dan Sera sudah cantik sejak awal.Tak butuh lama, perempuan itu pun selesai bersiap.Penampilannya sungguh sempurna dan seperti istri-istri pejabat. Sera pun berusaha terbiasa dengan busana mahal yang kini dia harus pakai. Apalagi batik Parang Kusumo kini menghiasi tubuhnya.Mbok mengangguk puas dan mengantarkan Sera ke mobil–tempat Anggoro menunggu."Maafkan Mbok terlambat membangunkan kamu, Sera,” ucap Mbok tiba-tiba, “aduh, kamu tidak sempat sarapan. Padahal pelayan sudah menyiapkan." Mbok menepuk jidatnya."Kalau kamu pingsan bagaimana?" cemasnya.Sera tersenyum. Dipegangnya kedua pundak Mbok. "Doakan saja aku bisa pulang dengan tersenyum," ucapnya pelan, “itu yang terpenting sekarang.”Mbok mengangguk dan keduanya saling tersenyum.Hanya saja, Sera terkejut kala tak sengaja melihat Satria yang berada di sebelah Simbah. Entah mengapa, perempuan itu merasa harus berjalan mendekati sang anak sambung. Diusapnya pipi kanan Satria dan tersenyum. "Aku akan menemanimu setelah ini.”Anak laki-laki di atas kursi roda itu pun terperanjat. “Hah? Aku–”“Iya, tunggu aku, ya. Tapi, kuharap kamu tersenyum saat aku pulang nanti," tambah Sera lalu melambaikan tangan ke arah Satria yang terkekeh pelan."Sepertinya, aku menemukan mainan baru di sini," gumam bocah tersebut seketika."Dia bukan mainan, Satria," potong Simbah menggerakkan tongkatnya dan berdiri di hadapan anak itu."Tapi, jika itu bisa membuatmu tertawa—""Hahaha … lucu sekali," potong Satria lalu tertawa sinis. "Sejak kapan kalian memperhatikan aku? Selama ini, memangnya di mana kalian?"Selang beberapa detik, tawa itu kembali hilang–digantikan ekspresi dingin."Aku lumpuh pun sebenarnya karena ulah kalian. Bukan wanita itu!" teriak Satria.Ditatapnya Simbah dengan tajam. "Sungguh, keluarga yang luar biasa,” lanjutnya kemudian memutar kursi rodanya–meninggalkan Simbah yang hanya bisa menghela napas."Simbah," bisik kepala pengawal tiba-tiba sambil menyodorkan ponselnya.“Ada apa?” tanya wanita tua itu cepat."Saya menemukan Ibu kandung Den Satria," imbuhnya sambil menunduk.Mendengar itu, Simbah segera menerima ponselnya.Kedua matanya melotot tajam mendengar informasi lanjutan dari sang penelpon.**Sementara itu, mobil dinas sedan hitam mewah berplat nomor pejabat yang ditumpangi Anggoro dan Sera telah berhenti di depan alun-alun.Warga tampak tumpah ruah di sana, seolah bersiap untuk menyambut kedatangan lelaki yang mereka pilih menjadi memimpin.Melihat itu, Sera meremas kesepuluh jemarinya. Itulah kebiasaannya ketika cemas.Belum lagi, perutnya berbunyi karena lapar.Tanpa kata, Anggoro tiba-tiba saja menyodorkan satu roti yang dibungkus tisu."Makanlah," titah singkat Anggoro."Tu–tuan?"Sera terkejut akan tindakan Anggoro. Bagaimana bisa, lelaki yang sangat membencinya itu melakukan suatu hal yang bisa dikatakan, peduli?Keduanya sempat bertatapan beberapa detik, sebelum tatapan Anggoro berubah tajam. "Cepat! Waktumu hanya satu menit," lanjutnya.Sera sontak mengangguk. Tanpa berpikir lagi, dimasukkannya roti bulat berisi selai kacang ke dalam mulutnya, lalu mengunyahnya cepat. Hanya saja, dia tiba-tiba tersedak. “Uhuk!”"Apa kau tidak bisa memakan roti?" sela Anggoro sembari mengernyitkan kedua alisnya. Spontan Sera menghentikan giginya. "Ma–maafkan, saya," balas Sera sambil menepuk-nepuk dadanya."Jangan membuatku menunggu." Tanpa kata, Anggoro membuka pintu mobil dan keluar.Hanya saja, yang membuat Sera tak percaya adalah Anggoro meletakkan satu botol minum di dekatnya. Dia kembali terpaku."Mungkin dia tidak mau aku pingsan saat di sana dan membuatnya malu," gumam Sera pelan lalu meneguk pelan minuman itu. Tok tok tok!Tak lama, seorang pengawal mengetuk jend
Tubuh Sera menegang. Jantungnya berdetak lebih hebat dari sebelumnya. Dia khawatir dengan apa yang akan dikatakan Maya barusan. Bisa-bisa, Anggoro dan Simbah menghabisinya hari ini.Namun, Maya justru tak menjawab sama sekali dan hanya tersenyum. “Selamat pagi, Pak Bupati.”Anggoro pun mengangguk. Tanpa banyak kata, dia pun menjemput Sera dari sana dan “mengenalkannya” pada para warga. Sera bisa menarik napas lega mengetahui sang suami tidak membahasnya. Dia mengikuti langkah Anggoro yang sangat cepat."Ada apa ini?" Hanya saja, Anggoro tiba-tiba merasakan jantungnya berdebar cepat. Dia rasanya ingin marah kala menyadari mata para lelaki memandang Sera tanpa berkedip. Tanpa sadar, dia menarik lengan Sera dengan sangat kasar–mendekat padanya.Maya yang masih memperhatikan keduanya pun terkekeh pelan. Sangat senang melihat Sera diperlakukan kasar. "Itulah yang pantas didapatkan oleh anak wanita panggilan," gumamnya masih tersenyum puas."Kenapa anak dari wanita panggilan bisa sangat can
Mendengar pembelaan Anggoro, Sera tercengang.Yang lain, juga sama. Maya bahkan sampai bergeming kaku. Bayangannya, Sera akan mendapat tamparan keras dari suaminya. Namun, ada apa ini? "Sialan!" umpatnya. Tak mungkin dia ke sana dan ikut campur lebih dalam. Bisa-bisa, Anggoro membalasnya berkali lipat. Kadi, Maya pun segera meninggalkan tempat. Di sisi lain, lelaki biang onar yang dibayar Maya itu tidak menyerah. Dia menunjuk Sera dengan tegas. Kedua matanya melotot. "Kamu tidak pantas! Bupati harus turun!""Bupati, kami memilih Bapak. Jadi, tolong jelaskan saja masalah ini," sela warga lainnya yang diikuti sorak semua warga. "Ya, kami ingin penjelasan!"Suasana memanas dan lelaki pembuat masalah itu tersenyum, sampai Willem tiba-tiba datang. Perawakannya yang berbeda dari warga kebanyakan, jelas membuat atensi warga tertuju padanya. "Istri Bupati tidak hanya cantik. Dia cerdas dan jago berbahasa asing," ucap Willem tiba-tiba sembari tersenyum menatap Anggoro. Dia kini men
Anggoro masih terpaku. Kedua alisnya mengernyit sangat dalam. Kejutan apalagi ini?"Apa yang kau lakukan?" Anggoro melangkah perlahan. Mendekati Sera yang kini menutup sebagian wajahnya dengan kain hitam. Hanya terlihat kedua matanya yang bewarna abu-abu."Untuk apa kau melakukan itu?" tanya Anggoro dengan nada pelan. Kedua mata hitam itu tidak terlepas dari wajah Sera."Wajah ini hanya untuk suamiku. Saya memang bersalah. Paling tidak, izinkan saya membalas dengan pengabdian."Balasan itu, semakin membuat jantung Anggoro berdebar. Tidak ada wanita yang akan tahan dengan siksaan. Tapi ... memang kali ini dia menghadapi wanita yang sangat berbeda. Hanya saja, apakah kedua mata itu bisa menutup kecantikannya?Anggoro masih saja terpaku dengan keindahan kedua mata itu. Bahkan, semakin terpaku saat bulu mata lentik itu bergerak ketika mengedip. Sontak dia kembali memalingkan wajahnya."Kau akan menemaniku bertemu Bapak Gubernur. Lakukan saja tugasmu dengan baik."Anggoro berjalan keluar
Ini tidak bisa terjadi. Sera tidak mau mendapatkan hal buruk. Sejenak dia memejam, mengingat perlakuan Broto saat itu. Lelaki itu dengan tega menginjak tubuh Sera yang sudah terkapar di lantai. Menghujam dengan hinaan luar biasa kepadanya, "kau tidak pantas untuk anakku. Wanita tidak tahu diri! Berani sekali kau mengaku anakku harus bertanggung jawab?!"Ketika itu, Sera menemui Bima setelah dirinya sadar berada sendirian di vila. Bima meninggalkan Sera setelah menjebak dirinya dengan memberikan obat di minuman hingga pingsan. Dengan bebas Bima bisa menikmati tubuhnya. Sera sangat frustasi. Dia bergegas menuju kediaman Bima dan meminta pertanggung jawaban. Tapi semua sia-sia. Sera gadis desa yang tidak memiliki kekuatan apa pun. Dia hanya bisa pergi dalam keadaan hina. Berjalan tanpa arah hingga takdir membawanya ke rumah Simbah."Tuan Bupati memanggil Anda, Nyonya," ucap sang asisten.Lamunan Sera seketika teralihkan."Ah, iya," balas Sera sembari menarik napas panjang. Entah apa ya
Saat senyuman masih terpampang jelas di wajah Maya, dia kembali terkejut ketika Anggoro mendadak keluar bersama Sera yang menutup sebagian wajahnya. "Apa-apa'an ini?" gumamnya lalu mendekati mereka dan menyapa, "pagi ini aku sangat terkejut. Hmm, jadi sekarang istri Bupati memang sangat berbeda?"Anggoro menghentikan langkah. Dia tak percaya melihat pamannya masih berada di sini. Anggoro semakin menatap tajam, "kenapa Paman masih di sini? Kerjakan saja pekerjaan Paman!" Kedua matanya melirik sang asisten yang segera mendekatinya."Jangan pernah membiarkan siapapun masuk atas izinku," ucapnya pelan dengan pandangan tajam. Sang asisten pun menganggukkan kepala.Masih di tempat, Broto semakin berdiri kaku ketika beberapa pengawal akan mendekatinya. Dia mengangkat tangan, membuat mereka menghentikan langkah. "Anggoro tenanglah."Kedua alisnya mengernyit dalam. Dia tak menghiraukan kemarahan sang keponakan. Ada hal lain yang membuatnya lebih menarik untuk diperhatikan.Kenapa keadaan mas
"Kau jangan mengambil kesempatan seperti ini," bisik Anggoro. Mendadak dia melepaskan pelukannya. Kemudian berdiri, lalu membenarkan jasnya."Seharusnya kau berhati-hati. Sudah tahu lampu itu akan jatuh malah diam saja. Sangat merepotkan!" lanjutnya masih membentak. "Kau selalu saja membuatku susah! Apakah ini tugas seorang istri? Selalu mempermalukan suaminya!""Tuan, maafkan saya." "Jangan lemah dan cepat berdiri! Apa kau lumpuh!""Sungguh saya tadi--"Sera menghentikan ucapannya saat Willem mengulurkan tangan untuk membantunya. Wanita itu menggelengkan kepala. Dia berusaha berdiri tanpa bantuan siapapun. Anggoro yang melihat pun tidak menyukainya, ketika Willem memaksa Sera menerima ulurannya."Aku akan membantumu, Nyonya."Anggoro dengan cepat melangkah dan melewati Willem. Spontan tangannya yang semula terulur, menekuk seketika. Willem pun semakin kesal melihat Anggoro sengaja melakukannya."Kenapa lampu itu!" teriak Anggoro sambil menatap semua pengawal yang spontan menundukkan
'Ada apa ini? Kenapa mereka bisa masuk dengan mudah? Dan pandangan itu ...'Kini situasi semakin sulit diterima. Anggoro terpaku sambil menahan amarah kala Bima hadir dan menampakkan pandangan sangat aneh. Pikirannya kembali ke beberapa hari lalu ketika dia memergoki Sera dan Bima. Apakah memang keduanya saling mengenal?Dia menggelengkan kepala, berusaha memusatkan pikirannya kembali. Ada hal penting yang harus dia lakukan hari ini. Dia juga tidak mau terlihat buruk di hadapan Gubernur."Maafkan saya. Banyak sekali gangguan di sini." Anggoro mendekati Gubernur yang masih menatap Sera. Dalam batinnya, 'kenapa lelaki penting ini berani melakukannya?' Dia berusaha bersikap normal, seakan tidak ada hal apa pun yang perlu dikhawatirkan."Bapak Gubernur? Jalan desa yang sudah kita kunjungi pekan lalu mulai diperbaiki. Saya berterima kasih Bapak sudah membantuku," sela Anggoro sembari menampakkan senyuman ramah yang sebenarnya dia paksakan. Perlahan dia mendekati Sera yang masih menundukka