"Bang Ramdan!?" Suaraku tercekat, jantungku seolah tertumbuk. Melihat sosok Bang Ramdan hadir kembali di hadapanku setelah sekian lama hilang membuat jiwaku yang semula tenang mulai terbakar amarah kembali karena lelaki itu sudah menghancurkanku sepenuhnya.Dia adalah penyebab trauma yang tidak berkesudahan di hidupku."Apa kabar, Mon? Mamah? Katanya Mamah sakit?" tanya Bang Ramdan basa-basi. Dia melirikku dan Mamah secara bergantian.Aku menggeram. Takkan kubiarkan si bedebah itu mengganggu ketentraman kami lagi. "Buruk! Kabar kami yang semula baik jadi buruk karenamu!" tegasku sambil melangkah maju hingga tepat berada di antara Mamah dan Bang Ramdan.Aku tidak akan membiarkan Bang Ramdan mendekati dan menyakiti Mamah. Mamah sedang mengalami pengobatan, dia tidak boleh tertekan."Ya, kondisiku menjadi gak baik kalau kamu datang, lebih baik kamu pergi!" usir Mamah.Bang Ramdan menyeringai sinis seraya memasuki ruang kamar rawat. "Wow, sungguh ramah sekali sambutannya. Mona, Mamah, te
Aku berdiri cukup lama dan canggung di ruangan Mas Satria seraya memainkan jari. Sudah setengah jam berlalu usai kelakuanku yang bar-bar, akhirnya aku bisa berada di ruangan Mas Satria. Tidak terbayang, jika tadi aku gak diminta Mas Satria ke sini, mungkin aku akan berada di bawah tatapan semua orang yang menatap aneh, seakan-akan aku adalah makhluk luar angkasa. Namun, sayangnya ketika sampai sini, aku merasa Mas Satria tengah mengabaikanku. Melihat sikap Mas Satria yang mendadak diam, tak terelakkan sisi batinku kian tersusupi rasa tak nyaman. Padahal aku tidak tahu pasti alasannya."Dok!" Aku memberanikan diri bersuara sebelum kakiku kesemutan karena berdiri di pojok terlalu lama.Mas Satria mengangkat pandangannya dari buku sejenak. "Hm?""Anu ... Dok say--""Jangan panggil saya Dok panggil Mas saja," potong Mas Satria penuh penekanan. Tatapan lelaki itu masih sibuk meneliti data pasien. Bener-bener dah ini dokter, dikira aku gak kasat mata kali. Aku menarik napas dalam. "Oh i
"Mona! Hey, tunggu! Kita perlu bicara!"Aku tidak lagi menoleh ke belakang dan hanya bisa berjalan secepat aku bisa. Perasaanku mengatakan untuk terus menghindari kejaran Bang Ramdan, aku harus pergi dari sini.Kupikir sudah saatnya aku mengambil tindakan. Sudah lelah bertengkar dengan Bang Ramdan dan sudah saatnya melarikan diri demi ketentraman hati. "Mona!" Panggilan keras Bang Satria kembali menyapa telinga tapi aku tidak perduli. Lelaki itu mengejarku tapi kakiku tak mau kalah langkah."Apa sih, Bang? Sudah ya, aku gak mau mengobrol lagi!""Tapi aku ingin bicara!""Gak! Saya gak mau!" tolakku sambil berteriak. "Diam di situ atau gak saya tendang lagi!" Aku semakin berlari menuju ke arah luar pagar rumah sakit, aku gegas menyetop taksi yang melintas di depan rumah sakit dan masuk ke dalamnya.Ya, kupikir ini adalah cara terbaik untuk menyelamatkan diri. Aku tidak ingin berurusan dengan keluarga Bang Ramdan. Tidak dengan anaknya apalagi ibunya.Stop! Aku lelah. Aku hanya ingin be
Kurang lebih empat jam perjalanan, akhirnya aku tiba juga di sebuah komplek perumahan yang lumayan asri tapi elit itu. Sepanjang mata memandang, aku hanya bisa melihat rumah-rumah besar yang berpagar. Rupanya rumah asli Mas Satria lebih besar dibanding yang kuduga, benar ternyata kata ibu-ibu Mas Satria itu diam-diam orang kaya. Namun, walau sekarang kehidupanku lebih baik tetap saja rasanya masih ada yang mengganjal. "Huuuuh!" Aku menghembuskan napas dalam ketika kakiku turun dari mobil dan menjejakkan kaki di halaman rumah Mas Satria. Tanganku terkepal untuk menguatkan diri, sebelum masuk aku mengambil jeda untuk menatap langit.Entah mengapa tiba-tiba sesak merambat ke dalam dada. Dulu, pas masih jadi istri Bang Ramdan aku tidak bisa memandang langit dengan begitu lega seperti ini. Masih teringat jelas di benakku bagaimana di masa lalu setiap harinya aku hanya bisa bekerja dan bekerja. Belum lagi, di rumah itu juga aku mendapat kabar kehamilan yang telah lama kutunggu tapi akhir
Aku hampir saja terjatuh tapi untungnya tanganku masih memegang sisian kursinya. Detik ini juga, entah mengapa aku merasa hatiku terasa sangat ngilu dan dadaku panas hingga darahku seakan berhenti mengalir.Sungguh! Aku masih gak menyangka kalau di hari pertamaku sebagai baby sitter berakhir dengan peristiwa yang amat mencengangkan. Sekuat apa pun aku berpikir tetap saja kebetulan ini terasa janggal. Benakku tak henti mempertanyakan.Mengapa Mas Satria bilang dia mau menikahiku dan menjadikanku ibu bagi Gaza? Kenapa? Dalam diam aku melirik Mas Satria dan Mbak Yuli yang kini berdiri bersamaku di depan rumah. Semenjak pernyataan Mas Satria, Mbak Yuli seolah tersengat listrik. Matanya tak henti melotot ke arahku dan Mas Satria. Honestly, aku juga ingin menanyakan yang sama pada Mas Satria tapi dia lebih dulu memberi kode padaku agar jangan dulu menyanggah. Sepertinya dia punya rencana. Alhasil, setelah Mbok Nah membawa Gaza ke dalam terjadilah pembicaraan tiga orang dewasa ini di tera
Mas Satria melamarku, katanya dia meminta ini karena demi Gaza dan lagi pula masa iddahku sudah selesai. Tiga minggu pasca kesepakatan akhirnya aku dan Mas Satria sepakat untuk melaksanakan akad nikah di rumah Mas Satria dengan hanya mengundang sahabat dan perwakilan keluarga.Dari pihak Mas Satria ternyata pria itu menghadirkan keluarga lengkapnya. Nenek dari Gaza yang merupakan ibu dari pihak Mas Satria pun datang untuk merestui kami. Sebelum akad, kami pernah bertemu, ibunya bilang kalau dia setuju aku menikahi putraya karena selama ini bagi mereka Yuli bukanlah menantu dan istri yang baik. Dan yang paling mengagetkan si ibu tahu kalau Yuli sudah berselingkuh sejak lama. Sangat miris. Aku yang semula menikah hanya karena Gaza menjadi kasian sama Mas Satria. Aku bisa melihat keputusasaan di binar matanya."Mon, alasan saya ingin menikahimu karena Gaza. Semenjak kecil perhatian Yuli kurang sekali, dia selalu sibuk dengan dunianya. Bahkan dia punya trauma karena melihat perselingkuha
Acara sakral pernikahanku telah lama selesai, kini saatnya aku beristirahat. Mungkin dikarenakan pernikahan ini termasuk rahasia jadi tidak banyak tamu yang datang dan tak banyak juga yang dijamu kecuali sahabat-sahabat Mas Satria dan sahabatku. Aku yang sudah lelah dan letih pun ijin langsung masuk kamar setelah menyerahkan Gaca pada Dina dan Mamah karena sejak tadi mereka berdua memintaku untuk bisa beristirahat. "Haaah."Aku menarik napas dalam sambil merebahkan diri ke atas tempat tidur. Dalam keheningan kamar pengantin yang ada di rumah Mas Satria aku merenung.Baru kusadari ternyata kini aku memiliki dua anak dan dua-duanya bukan berasal dari rahimku. Yang satu adalah bawaan suami dan yang satu peninggalan adikku.Sedihkah aku? Jawabannya tidak!Jujur, aku merasa ikatan batinku dengan Gaza bukan tanpa sebab. Ternyata jika diingat lagi kami punya satu kesamaan yaitu pernah merasa kehilangan kasih sayang. Gaza kehilangan kasih sayang ibunya sementara aku kehilangan kasih sayang
Beberapa minggu jadi istri, aku sama sekali tidak bisa beristirahat karena tugas rumah tanggaku menumpuk. Semenjak aku menikah, Mbok Nah ditugaskan untuk mengurus semua perlengkapan sementara aku hanya focus pada Gaza dan pekerjaan baruku sebagai perawat di klinik Mas Satria, biat aku ada kegiatan.Sementara untuk di rumah sini, sesuai kesepakatan pernikahan kami, mulai saat ini akulah yang mengatur semua urusan rumah Mas Satria dari mulai isi kulkas sampai ke kartu ATM, Mas Satria benar-benar mempercayakannya padaku.Karena itulah, pagi-pagi ini aku harus bangun untuk membuat sarapan, bersih-bersih rumah dan menyiapkan keperluan Gaza selama dititip di Mbok Nah nanti, setelah itu barulah setelah itu mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolahLelah. Ya, sangat melelahkan.Namun, untunglah di antara hectic-nya peran baru ada Mamah dan Dina yang setia membantu, jika aku sedang kerepotan Mamah bisa datang buat mengurus Gaza. Sebenarnya ide bahwa Mamah dan aku bergantian mengurus Gaza datan