Setelah sekian lama kami saling berpelukan, aku memutuskan untuk mandi dan salat Magrib. Mas Yazid duluan salat saat aku mandi. Jadi, dia langsung keluar ketika usai melaksanakan ibadah. Katanya ingin menemui Ummi dan Abi di ruang tengah.
Sepanjang salat, aku meminta pada Allah agar diberikan bahu yang kuat untuk menopang segala dera dan coba. Kuulang puluhan kali doa yang sama. Berharap Allah berkenan untuk mengabulkan. Tidak, sekarang bukan lagu kupinta agar kami memiliki keturunan. Aku hanya cukup berharap agar diri ini memiliki sebuah kekuatan untuk bertahan mengarungi badai kehidupan yang semakin kencang. Jika memang suatu hari nanti aku tak kuat lagi berada di sisi keluarga superior ini, semoga Allah rido membiarkan diriku untuk hidup sukses meski tak lagi bersama Mas Yazid. Doa yang aneh memang. Namun, biarlah. Mungkin ini adalah permintaan yang paling terbaik versiku.
&
Jangan lupa subscribe cerita ini ya, Beb.
Bagian 11 Lepas makan malam yang begitu sangat menegangkan, kami sekeluarga berniat untuk pergi mendatangi studio wedding organizer yang telah dikontak oleh Ummi. Mau fitting baju pengantin katanya. Jangan ditanya bagaimana perasaan hati ini. Tercabik? Sudah pasti. Namun, aku harus tegar dan menyembunyikan segala kesedihan. Untuk apa mempertontonkan kelemahan ini. Hanya akan membuat sosok Dinda semakin jemawa, merasa di atas angin, dan menertawai kesialan nasibku. “Dinda biar semobil sama Yazid berdua. Kita berlima sama Abi saja.” Ummi menarik tanganku kala akan naik ke mobil putih milik Mas Yazid. Aku yang tengah menggandeng tangan Sarfaraz, tertegun dengan ucapan perempuan berpakaian dan jilbab serba putih ini. Ummi ... apakah dia sedang tak salah bicara?  
Bagian 12 Suasana sempat hening sejenak di mobil. Sarfaraz telah berhenti menangis, begitupun Ummi dengan ocehan tak pentingnya. Hanya deru pendingin yang terdengar. Sesekali aku melirik ke arah Azka, begitupula pemuda itu. Mata kami beberapa kali banyaknya saling bertumbuk. Entah mengapa, jantungku selalu saja berdebar tak keruan ketika menangkap manik hitamnya yang memancarkan kehangatan. Berulang kali aku beristighfar. Memohon ampun pada Allah jika memang apa yang kulakukan ini salah. Namun, hati kecil kian tak dapat dibohongi. Bagai ada getaran aneh entah apa namanya. Merambat dan mengikat kuat. Makin lama membuatku bertanya, perasaan apakah ini namanya? Sungkan aku untuk mengakui. Sekuat tenaga menepis segala praduga. Berusaha untuk realistis dan sadar diri. Ingat Almira, statusmu adalah istri dari seorang Yazid Al Hussein. Meski di
Bagian 13 Mas Yazid lantas memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Membuatku seketika merasa ngeri dan tak terbiasa. Waktu dan keadaan telah mengubah segalanya. Mas Yazid yang kukenal dulu kini telah berbeda jauh. Dia yang bertutur manis, berlaku lembut, tetapi kelewat taat pada Ummi dan Abi, kini memperlihatkan sisi gelapnya padaku. Tempramen dan begitu keras. Aku hingga merasa takut luar biasa. “Mas, pelan-pelan,” kataku sembari mencengkeram lengan kirinya. Lelaki itu masih fokus menyetir dengan kecepatan tinggi, sementara itu kami mulai memasuki jalanan yang lalu lalang kendaraannya cukup padat. “Mas, kendalikan diri. Jangan membuat kita berada di dalam bahaya.” Aku sangat takut untuk sekadar melihat ke depan. Jalanan makin ramai dan di
Bagian 14 Kami tiba di rumah Abi dan Ummi tepat pukul 21.30 malam. Mobil hitam milik Abi telah teparkir rapi di dalam garasi saat Mas Yazid hendak ikut memarkir di sebelahnya. Kami saling berpandangan. Seolah ingin berkata bahwa sebentar lagi pasti akan terjadi prahara besar. Sebab, si tuan rumah ternyata telah berada di istananya duluan. Aku dan Mas Yazid saling berpegangan tangan. Kami takut-takut melangkah ke dalam. Untung Mas Yazid selalu membawa kunci serep rumah ini. Jadi, kami tak perlu memencet bel karena itu bakal semakin membuat mertuaku berang. Saat pintu berhasil kami buka, maka tampaklah di depan sana, duduk sambil menangis sosok Dinda yang tengah berada dalam pelukan Ummi. Ada pula Azka yang terdiam sembari menundukkan kepala, duduk lemas di samping sosok Abi yang sama resahnya. Tiba-tiba, Abi yang tengah duduk menopang kep
Bagian 15 Usai tragedi berdarah malam itu, Aku dan Mas Yazid serta merta diperintahkan untuk cepat angkat kaki dari rumah Ummi dan Abi. Sementara itu, Dinda bersama sang putra dan adik lelakinya disuruh mertua kejiku untuk menginap di istana besar mereka. Alasannya hari sudah semakin larut. Abi dengan sewenang-wenang memperingati Mas Yazid agar setelah salat Subuh, pagi-pagi dia harus kembali ke sini untuk mengantar pulang tiga orang tamu spesial tersebut. “Ingat akan janjimu pada Dinda, Yazid. Almira, kamu pun demikian. Pandai-pandailah membawa diri dalam keluarga ini kalau memang masih ingin berada di sisi Yazid.” Begitu pesan menohok dari bibir hitam Abi kala mengantar kami di depan gerbang tinggi rumahnya. Aku dan Mas Yazid hanya dapat mengangguk pa
Bagian 16 Aku sadar betul, orang-orang di sekeliling mulai memandang iba dan melas. Meski awalnya rasa hati begitu hancur terpuruk, kini kukuatkan diri untuk bangkit. Mengumpulkan sisa kekuatan dan bertekat bahwa ini adalah tangis terakhir yang bakal keluar. Di depan sana, Mas Yazid dan Dinda sibuk berpose sembari memamerkan cincin maupun buku nikah. Blitz kamera milik fotografer maupun ponsel milik hadirin berbalas-balasan bagai kilat petir yang menyambar-nyambar. Saat semua riuh dan bersorak atas kebahagiaan sang pengantin, perlahan aku menarik diri dan undur dari kerumunan. Beberapa orang yang sadar akan gerakanku bertanya hendak pergi kemanakah sang istri pertama ini. “Aku ingin mengambil sesuatu di rumah depan,” ujarku ada salah satu tamu yang tak
Bagian 17 Saat masuk, maka terlihatlah olehku ramainya orang-orang yang menyalami Mas Yazid dan Dinda di atas pelaminan. Penuh suka cita sekali mereka. Berpose di depan kamera dengan ragam senyum dan gaya. Ummi dan Abi pun terlihat begitu bangganya kala ikut berbincang dengan para tamu yang hadir. Entah apa yang mereka perbincangkan, aku tak mau peduli. Kuterobos lalu lalang para tamu yang keluar masuk rumah ini. Kakiku terus melangkah ke arah dapur yang ternyata sama ramainya oleh pembantu lepas yang disewa Ummi untuk menyiapkan makanan bagi para tamu dan mencuci segala perkakas bekas pakai. Aku mencari sosok Bi Tin. Setelah bertanya ke sana ke mari, ternyata wanita paruh baya itu sedang beristirahat di kamar. Tak enak badan kata mereka. “Bi,” kataku s
Bagian 18 Selesai aku membuatkan jus untuk para ‘tuan’ yang sedang menikmati santap siangnya di meja makan sana, segera kutata gelas-gelas tinggi berisi cairan warna merah kental dari potongan daging buah naga. Perlahan kuangkat nampan berisi tujuh gelas jus tersebut dan membawanya untuk dihidangkan sebagai minuman pelepas dahaga mereka. “Neng Mira, ingat urutannya,” bisik Bi Tin sebelum aku benar-benar meninggalkan dirinya di dapur. Aku mengangguk sambil tersenyum kala mendengar ucapan darinya. Tentu saja aku tak boleh lupa dengan mana yang paling spesial. Salah-salah, bisa jadi senjata makan tuan. Saat aku sampai di depan meja makan, ternyata orang-orang sudah memulai makannya. Mereka sibuk dengan sendok garpu yang sesekali beradu dengan p