Dengan guguan yang masih mengisak, bibir ini begitu terbata menjawab pertanyaan Abi. “S-si-lakan m-me-ni-kah lagi, Mas ....” Dada ini sesak luar biasa. Ada beban besar yang tak dapat kutanggung seorang diri.
Maka, air mata pun meluah bagai air bah kala memandang wajah Mas Yazid. Lelaki berwajah persegi dengan dua tulang pipi yang menonjol tersebut hanya dapat diam tanpa ekspresi keberatan. Seolah mau-mau saja dan memang menginginkan hal tersebut.
Wajah Abi langsung segar. Ada rona bahagia dari senyum semringahnya. Bagaikan pria paruh baya itu baru saja mendapatkan kado terspesial dalam hidup. Semakin sempurnalah rasa sakit yang berkemacuk dalam sanubari.
“Baguslah jika kamu memilih jalan tersebut, Mira. Lihat dirimu saat ini. Tanpa pekerjaan maupun penghasilan. Apa yang dapat kau harapkan jika berpisah dari pria mapaj seperti Yazid? Bersyukurlah bahwa kami tidak mendepak dan masih mempertahankan keberadaanmu di keluarga ini.” Kalimat demi kalimat yang meluncur dari bibir kelabu Abi membuat harga diri ini tercincang habis tiada bersisa.
Terhenyak aku diam seribu bahasa. Duduk terpaku dalam perasaan hina yang tiada tara. Tak ada makna yang bisa kubangga lagi dalam hidup berumah tangga ini. Semua tinggal puing serpihan yang hanya menyemak tak berguna.
“Abi akan beritahu Ummi. Dinda harus cepat ke sini besok. Kita tidak usah berangkat kerja besok, Zid. Almira, hapus air matamu itu dan persiapkan diri untuk menyambut sepupu sekaligus calon madu.” Abi dengan penuh binar di matanya berkata. Pria berperut buncit itu bangkit dari kursi tanpa sempat menyuap makanan di piring. Bergegas kakinya melangkah menuju kamar utama yang berada tak jauh dari ruang tamu.
“Mira, jangan menangis lagi. Ini adalah keputusanmu sendiri.” Beku betul kata-kata Mas Yazid. Tak ada empatinya sedikit pun. Apa dia pikir aku memiliki pilihan lain?
“Terima kasih, Mas. Kamu dan kedua orangtuamu benar-benar baik sekali memperlakukanku.” Dalam basahnya wajah akibat air mata, aku tersenyum sengit pada lelaki itu. Mas Yazid hanya menanggapinya dengan kecimusan sengak.
“Bahkan bayi tabung pun sudah kita coba, Mir. Apalagi?” Nadanya meninggi. Aku tahu Mas Yazid bukanlah orang yang kukenal dulu. Masa-masa mudanya yang penuh dengan kelembutan dan ucapan manis, ternyata kini tinggal kenangan masa lalu.
“Apakah anak adalah segala-galanya bagi kalian, Mas?”
“Jangan menanyakan hal bodoh yang sebenarnya kamu tahu jawabnya, Mira. Berhentilah untuk merasa terzalimi. Kita sama-sama berada di dalam posisi sulit. Jika Cuma ini jalan keluarnya, lantas apalagi yang membuatmu bersusah hati?” Tatapan Mas Yazid bagai mata panah yang siap menembus target. Tajam sekali. Betul-betul membuatku jadi ciut dan takut.
Mas Yazid lalu bangkit. Dia sama sekali tak menyentuh makanannya. Lelaki itu kasar sekali menggeser kursi, hingga bunyi deritnya mampu menyayat hati.
“Mari pulang ke rumah depan, Mir. Aku sedang lelah.” Mas Yazid berjalan. Terlihat olehku langkahnya gontai dan lemah.
Apakah lelaki itu sebenarnya keberatan dengan rencana perjodohan gila ini? Namun, mengapa dia tak menyanggah Abi sedikit pun? Ya Tuhan, mengapa Mas Yazid begitu lemah tanpa upaya.
*
Di dalam kamar, Mas Yazid berbaring di kasur dengan matanya menerawang ke plafon. Pria dengan dagu berbelah itu naik turun jakunnya. Terlihat olehku kedua rahangnya mengeras beberapa kali. Dia seakan tengah menahan sebuah emosi yang terpendam.
“Mas,” tegurku sembari menyentuh lengannya. Mas Yazid bergeming. Dia masih melamun, entah apa.
“Tentang Dinda, bisakah kelak kamu mencintainya?” Tak dapat aku menahan desakan rasa penasaran ini. Memastikan apakah Mas Yazid memang menginginkan rencana poligami ini.
“Entah.” Jawaban Mas Yazid sangat dingin dan acuh tak acuh.
“Mas, Dinda adalah sepupumu sendiri. Apa itu tidak membuatmu aneh atau bagaimana jika kalian memang menikah nantinya?” Aku merebahkan diri di samping Mas Yazid, mencoba untuk bisa mendekati pria itu. Berusaha membuka pikirannya agar Mas Yazid bisa berpikir jernih untuk membantah keinginan gila Ummi dan Abi.
“Itu permintaan Abi. Sudahlah. Mau bagaimana lagi? Mungkin mereka iba pada Dinda yang kini yatim piatu dan janda. Sementara dia harus menanggung satu anak dan satu adiknya yang sedang kuliah. Aku yakin, Abi dan Ummi juga punya pertimbangan lain.” Mas Yazid pada akhirnya mau juga menatap ke arahku. Meski tatapannya dingin dan menusuk.
Demi Allah patah jadi dua sekeping hati ini. Hancur dan tak akan bisa lagi kembali pada semula. Bagaimana mungkin Mas Yazid bisa mengasihani perempuan lain ketimbang memperhatikan perasaan istri sendiri? Seharusnya, dia peduli dengan bagaimana hancurnya hati ini. Perempuan mana yang sudi berbagi suami dengan alasan apa pun.
“Mas ... maksudku, bagaimana dengan nasib rumah tangga kita? Ah, perasaanku, Mas. Tidakkah Mas bakal memikirkanya?” Risau hati ini. Galau yang tak berkesudahan. Kuharap Mas Yazid mau mendengarkan.
“Bukankah kamu sudah menyetujuinya di hadapan Abi tadi? Mengapa harus dibahas lagi, Mir?” Mas Yazid bangkit. Pria itu terduduk menatapku dengan geram. Gurat cahaya di matanya sempurna menggambarkan ketidaksukaan.
Menyesal sekali aku mengatakan isi hati barusan. Kukira, Mas Yazid masih mau mempertimbangkannya ulang atas nama rasa kasihan pada istri yang telah lama dia nikahi. Namun, ternyata persepsiku benar-benar salah. Bukannya maklum atau iba, alih-alih malah tersulut emosinya.
“Maafkan Mira, Mas ....” Aku tertunduk dalam. Harusnya aku lagi-lagi bisa memposisikan diri. Apalah seonggok sampah macamku ini. Tak lagi dibutuhkan. Habis sari, tinggal ampas yang harus dibuang.
“Mira, tolong jangan membuatku semakin banyak pikiran. Bisnis kami tengah sulit. Persaingan makin ketat, sementara jumlah peminat stagnan. Turuti saja apa mau Abi dan Ummi. Kita ini sudah banyak menyusahkan dan membuang uang mereka. Masa hanya permintaan begitu saja kita tidak bis mengabulkannya?” Mas Yazid berkata dengan nada yang tinggi. Tak pernah dia seemosi ini. Seakan aku memiliki kesalahan luar biasa yang tak dapat termaafkan.
“Mas, apa hubungannya dengan bisnis? Kita sedang membicarakan masalah keutuhan rumah tangga—”
“Terus, maumu apa?” Mata Mas Yazid nyalang. Selama tujuh tahun biduk rumah tangga ini berlayar, inilah kali pertama suamiku memotong pembicaraan dengan pelototan yang menyeramkan.
Aku terhenyak. Menitikkan air mata dan lagi-lagi merasa jadi manusia paling dungu sedunia. Apalagi yang kuharapkan? Semua sudah jelas bukan? Tak ada yang bisa ditawar. Maka tak selamatlah sudah perasaan ini.
“Kalau memang kamu enggan dimadu, ya sudah. Pergi saja dari sini. Pulang ke kampungmu dan jangan harap bisa kembali menjadi istriku. Sudah syukur bisa ikut menikmati hidup enak. Apa tidak cukup juga?!” Mas Yazid menghardik dengan nada yang cukup keras. Benar-benar seperti tuan yang tengah mengamuk pada hamba sahayanya.
“Begini ya, Mas ternyata. Setelah kamu susah payah mendapatkan diriku, kini dengan mudah dicampakkan bagai bangkai tikusyang busuk baunya. Lupakah dengan hari di mana kamu menangis minta diterima? Rela aku berkorban melupakan cita-cita untuk berkarier dan menyimpan rapat ijazah dengan nilai sempurna itu. Ternyata, pengorbananku selama ini salah. Hanya membuat hidupku hancur tak berharga di injakan kaki kalian saja.” Susah payah aku menguatkan diri untuk meluahkan keluh kesah dari palung hati terdalam. Biar saja Mas Yazid naik pitamnya. Aku sudah tak peduli. Yang terpenting, dia tahu dengan apa yang kini kurasa.
\Mas Yazid melengos. Senyumnya kecut dengan cebik bibir yang melecehkan. Tak ada lagi harga diriku di matanya.
“Terserahmu saja, Mira. Itu salahmu sendiri hidup dalam kemandulan. Perempuan tidak berguna! Harusnya kamu malu mengatakan ucapan barusan. Bisa-bisanya kamu menyalahkan orang lain padahal dirimulah sumber masalah tersebut.” Mas Yazid bangkit. Tersenyum sengit dan melenggang dari kamar.
“Dasar wanita mandul! Cuma jadi benalu dan bikin susah.” Ternyata Mas Yazid masih tak puas untuk menghina dina. Masih saja mulutnya berucap pedas meski tubuhnya berlalu sembari mengempas pintu dengan kasar.
Allahu rabbi. Dosa apa aku selama ini hingga semua orang bersikap begitu culas. Tak ada rasa belas kasihan sedikit pun. Apa aku serendah dan sehina itu di mata mereka?
Aku menghapus air mata. Sekuat hati kutekatkan bahwa ini adalah tangis terakhir. Tak bakal ada sedu sedan setelahnya. Dengan segenap jiwa raga, kebahagiaan untuk diri haruslah kuusahakan meski jalanan terjal harus dilalui.
Baiklah, Mas Yazid. Cukup sampai di sini hinaanmu bisa merobek nurani. Mari kita jalani kehidupan besok sesuai apa yang kalian ingini. Namun, harap-harap untuk waspada. Ingatlah wahai Mas Yazid yang dipertuan agungkan. Bahwasanya manusia keji itu kebanyakan lahir dari golongan lemah yang tak kunjung henti disakiti. Dari sanalah awal mula dendam dapat tumbuh subur tanpa bisa dikendalikan bagai hamparan eceng gondok yang menyesaki sungai.
Kita lihat saja, Mas. Sampai di mana kesombongan dan kehebatan kalian bisa bertahan.
(Bersambung)
Hari ini betul-betul menjadi hari paling buruk dalam sejarah hidup. Tak ada kata yang lebih menyakitkan ketimbang ucapan demi ucapan yang keluar dari mulut tajam Abi maupun Ummi. Setelah tragedi siang tadi, kukira semua tak bakal kembali terulang pada malamnya. Ternyata, pada jam makan malam pun mereka masih saja sibuk membahas tentang rencana pernikahan Mas Yazid yang bakal digelar secepat mungkin. Di meja makan, aku sama sekali tak mereka acuhkan. Bagai tunggul yang tiada mulut dan telinga. Mereka sibuk membahas ABCD sementara tak dipikirkannya bagaimana kondisi kejiwaanku saat ini. Ingin aku berontak, tapi apa daya diri ini terlalu lemah. “Mira, Ummi bangga padamu. Sekarang sikapmu berbanding terbalik dengan tadi siang. Sudah lebih tenang dan menerima keputusan ini. Memang seperti itulah sikap yang seharusnya ditunjukkan seorang
“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”* Tubuh dan hati ini sama-sama letih kala harus terbangun pagi-pagi buta. Namun, apa mau dikata. Hari yang telah dinanti Abi dan Ummi pun akhirnya tiba. Mau tak mau sebagai menantu yang tak ingin dicoret namanya, aku harus mau ikut mempersiapkan segala penyambutan atas calon maduku tersebut. Segera aku bergegas mandi di bawah shower air hangat. Melumuri tubuh dengan sabun cair aroma bebungaan yang mewah. Sesaat aku memeja
Ketika kami saling menumpahkan tangis dalam dekap hangat masing-masing, suara pintu kamar diketuk dari luar. Lebih dari sekali. Maka, kami pun saling melepaskan diri dan mengusap air mata yang membasahi pipi. “Yazid, Mira, ayo keluar. Dinda sekeluarga sudah di depan.” Suara Ummi menggema dengan nada yang tak sabaran. Setelah meyakinkan diri bahwa kondisi kami tampak baik-baik saja, aku dan Mas Yazid segera bergegas melangkah ke luar. Jantung ini seketika berdebar kala telingaku mendengar suara riuh rendah dari arah ruang tamu yang tak jauh dari kamar kami ini. Mas Yazid menggandeng tanganku, kami berdua berjalan pelan menyusuri lorong dan tiba di ruang tamu. Di sana telah berkumpul Ummi, Abi yang tengah sibuk menggendong seorang balita lelaki yang mengg
“Kalau begitu, bulan depan kita langsung akad dan resepsi. Mulai hari ini kita cicil semua. Bagaimana?” Ummi begitu penuh semangat. Suaranya nyaring bagai tengah melantunkan semangat perjuangan. Lagi-lagi, aku hanya dapat terkejut untuk kesekian kali. Mendengar perkataan yang bagiku semakin tak punya nurani saja. “Baik, Ummi. Dinda setuju. Apa pun yang Ummi dan Abi katakan, kami siap bersedia.” Dinda yang berada di sampingku begitu tampil percaya diri. Tiap ucapannya bagai mengandung pecut beracun yang membuat ciut nyali. “Mbak Mira, kamu tidak apa-apakan?” Dinda tiba-tiba menoleh padaku. Matanya menatap tajam dengan sunggingan senyum penuh kemenangan. Berani-beraninya janda ini. Dia pikir, mentang-mentang mendapat dukungan, lantas bisa merasa tinggi di atas angin?
Setelah perjumpaan hari itu, Ummi dan Abi semakin sering mengundang Dinda untuk main ke rumah. Ini benar-benar menyiksaku. Melihat perempuan itu keluar masuk dengan bebas, mempersiapkan ini dan itu demi pesta pernikahan mereka yang semakin dekat, membuat hati ini sungguh teraduk-aduk tak keruan. Terkadang, aku hanya bisa menangis sembari meratapi mengapa nasib yang kutanggung ini begitu sial. Mengapa harus aku yang ditakdirkan menjadi wanita mandul? Dan mengapa pula aku dijodohkan dengan pria yang sama sekali tak berdaya untuk membelas istrinya sendiri di hadapan kedua orangtua yang begitu diktator lagi tiran. Sore ini, aku kembali merasa hancur saat Ummi mengatakan bahwa Dinda akan datang kembali bersama anaknya untuk makan malam bersama. Ummi memerintahkanku untuk memasak aneka ragam hidangan dari produk tambak yang dibawa oleh Mas Yaz
Aku kembali ke dapur, mendatangi Bi Tin untuk berkutat dengan segala macam bahan masakan. Tak kusangka, Azka ternyata betul-betul ikut. Pria tinggi itu tersenyum ke arahku saat kami sama-sama tiba di depan wastafel. “Mbak, aku bantu, ya?” Lembut benar suara Azka. Wajahnya pun kian sungguh-sungguh dengan hiasan lengkung senyum manis. “Aduh, Den, sebaiknya di depan saja. Nanti Ummi marah.” Bi Tin kaget melihat keberadaan Azka di dapur. “Nggak apa-apa, Bi. Aku mau bantuin Mbak Mira. Kasihan, repot soalnya.” Azka bersikukuh tak mau dilarang. Dia betul-betul ingin menolongku dan jujur itu telah membuat hati ini begitu tersentuh. “Ya sudah, Bi. Biarkan Azka
Setelah sekian lama kami saling berpelukan, aku memutuskan untuk mandi dan salat Magrib. Mas Yazid duluan salat saat aku mandi. Jadi, dia langsung keluar ketika usai melaksanakan ibadah. Katanya ingin menemui Ummi dan Abi di ruang tengah. Sepanjang salat, aku meminta pada Allah agar diberikan bahu yang kuat untuk menopang segala dera dan coba. Kuulang puluhan kali doa yang sama. Berharap Allah berkenan untuk mengabulkan. Tidak, sekarang bukan lagu kupinta agar kami memiliki keturunan. Aku hanya cukup berharap agar diri ini memiliki sebuah kekuatan untuk bertahan mengarungi badai kehidupan yang semakin kencang. Jika memang suatu hari nanti aku tak kuat lagi berada di sisi keluarga superior ini, semoga Allah rido membiarkan diriku untuk hidup sukses meski tak lagi bersama Mas Yazid. Doa yang aneh memang. Namun, biarlah. Mungkin ini adalah permintaan yang paling terbaik versiku. &
Bagian 11 Lepas makan malam yang begitu sangat menegangkan, kami sekeluarga berniat untuk pergi mendatangi studio wedding organizer yang telah dikontak oleh Ummi. Mau fitting baju pengantin katanya. Jangan ditanya bagaimana perasaan hati ini. Tercabik? Sudah pasti. Namun, aku harus tegar dan menyembunyikan segala kesedihan. Untuk apa mempertontonkan kelemahan ini. Hanya akan membuat sosok Dinda semakin jemawa, merasa di atas angin, dan menertawai kesialan nasibku. “Dinda biar semobil sama Yazid berdua. Kita berlima sama Abi saja.” Ummi menarik tanganku kala akan naik ke mobil putih milik Mas Yazid. Aku yang tengah menggandeng tangan Sarfaraz, tertegun dengan ucapan perempuan berpakaian dan jilbab serba putih ini. Ummi ... apakah dia sedang tak salah bicara?