“Pagi semua.” Ilana dengan penuh semangat menyapa keluarganya di ruang makan.
Arion menatap adiknya sampai-sampai berhenti mengunyah sarapan. “Pagi,” balasnya.
Ilana segera duduk, tidak lupa melirik Arion lalu tersenyum mengejek. “Buruan kunyah sarapannya, Kak.”
“Selamat pagi, Ilana,” ujar kedua orang tuanya.
Ibunya mengambil sarapan untuk Ilana lalu menaruh piring di yang sudah berisi telur orak-arik—di depan Ilana.
“Kamu semangat sekali pagi ini. Ada kabar gembira?” tanya ibunya.
Ilana hanya tersenyum. Setelah itu memasukkan sarapan ke dalam mulutnya. Barulah ia menjawab pertanyaan ibunya, “Cuma senang aja, Ma.” Lantas ia menoleh pada ayahnya. “Pa, gimana kalau malam ini kita undang Kak Danish makan malam?”
“Undang Danish?”
Ilana buru-buru mengangguk. Entah rencana apa lagi yang ia pikirkan dengan mengundang Danish makan malam. Ia begitu yakin kalau Danish sudah memberikannya harapan untuk mengejarnya.
“Oke, nanti Papa akan undang Danish.”
***
Serena membawakan kopi ke kantor Danish. Melihat pria itu hanya menatap dokumen tanpa membaca isinya. Serena menjadi penasaran dan bertanya, “Pak Direktur, Bapak melamun?”
Mendengar suara Serena, Danish mendongak. Secara bergantian ia menoleh pada Serena lalu pada dokumen di tangannya. Danish menghela napas lalu menaruh dokumen dan bolpoin tersebut di atas meja.
“Minum kopinya dulu, Pak,” ujar Serena karena Danish tidak menjawab pertanyaannya.
Danish melirik kopi hitam di atas meja. Diambilnya cangkir kopi sambil berkata pada Serena, “Kamu boleh keluar.”
“Baik, Pak.”
Namun, sebelum Serena membuka kenop pintu, Danish bersuara, “Serena kemari sebentar.”
Mendengar perintah atasnya yang sedikit plin-plan dan kurang fokus itu, Serena membalikkan badan lalu mendekat ke meja Danish.
“Ada yang Bapak butuhkan?”
“Saya mau bertanya,”
“Silakan Pak.”
Serena menajamkan pendengarannya. Menatap Danish dengan sungguh-sungguh lantaran intuisinya mengatakan kalau Danish akan menanyakan hal diluar pekerjaan. Meskipun Danish sangat jarang membahas hal di luar pekerjaan. Namun, setiap kali Danish terlihat uring-uringan dan kesulitan berbicara—pria itu pasti memiliki masalah pribadi.
“Saya mau tanya, apa gadis-gadis sekarang agresif?”
“Eh?” Serena merasa heran dengan pertanyaan Danish. Bukannya menjawab ia malah terheran-heran. Kiranya gadis mana yang tengah Danish bicarakan.
Sebelum Serena menjawab, Danish lebih dulu bersuara, “Tidak jadi. Kamu keluar saja.”
“Ah?” Serena tampak makin bingung. Belum selesai ia memikirkan jawabannya kalah diusir oleh Danish. Ia membalikkan badannya tanpa berbicara seolah-olah ada remot kontrol yang mengendalikan tubuhnya.
Namun, setelah membuka pintu Serena tersadar. Ia kembali membalikkan badannya. “Yang Pak Direktur maksudkan adalah Ilana?” tebak Serena.
Danish sedikit terkejut karena Serena menebak dengan benar. Namun, tampaknya Danish tidak mau mengakuinya. “Bukan siapa-siapa. Saya hanya bertanya. Kamu keluar saja.”
***
Sampai siang hari Danish masih tidak fokus. Pikirannya terganggu oleh apa yang Ilana katakan padanya semalam. Bukan hanya itu saja, Danish juga terganggu karena Ilana tiba-tiba mengecupnya. Mereka bukan pasangan kekasih dan lagi Ilana adalah seorang perempuan. Apa pantas baginya mencium seorang pria begitu saja?
“Mikirin apaan serius banget?”
Sorot mata Danish mengarah pada pria di depannya yang tidak lain adalah Farel—teman Danish. Helaan napas Danish terdengar lebih santai daripada sebelumnya. Agaknya ia harus menceritakan masalahnya pada Farel agar lebih tenang. Danish merasa terbebani oleh tindakan Ilana tadi malam.
“Rel, gue mau tanya, apa gadis-gadis sekarang semua agresif?” ia mengulangi pertanyaan yang diberikan pada Serena pagi tadi.
Tangan Farel terhenti di udara, makanannya hampir masuk ke dalam mulutnya, tapi pertanyaan sahabatnya itu membuatnya cukup tercengang. Sudut bibir Farel terangkat menampakkan seringai. Sahabatnya yang tidak pernah ia dengar membicarakan perempuan, kini bertanya mengenai perempuan padanya.
Farel mengangguk-anggukan kepala. Tampaknya tahu siapa yang Danish bicarakan. Siapa lagi jika bukan Ilana? Semua orang tahu kalau gadis itu selalu lengket pada Farel. Setelah menebak dalam pikirnya, Farel pura-pura tidak tahu dan membalas pertanyaan Danish. “Kalau gue lihat, gadis-gadis sekarang lebih aktif daripada cowok. Kemarin adik sepupu gue diajak jalan duluan. Mereka sekarang udah enggak nunggu cowok buat bergerak duluan, Dan. Kenapa? Ada yang menyatakan cintanya?”
“Enggak ada. Gue cuma nanya.”
Seringai Farel semakin tinggi. Ia menyesap minumannya. Menaruhnya kembali lalu bertanya pada Danish, “Kalau enggak ada, lo pasti enggak akan nanya. Ilana ngomong apa?”
Harusnya Danish tahu kalau Farel akan langsung bisa menebak dengan mudah. Perempuan di sisi Danish hanya Serena dan Ilana. Farel tidak akan menebak gadis itu adalah Serena. Serena tidak akan jatuh cinta pada atasannya karena ia bekerja dengan profesional. Lantas siapa lagi yang terlalu berani jika bukan Ilana?
Danish mulai bercerita meski ia sedikit enggan. Akan tetapi, beban berat seperti mendarat di hatinya. “Dia bilang mau ngejar gue.”
Seketika itu juga Farel menyemburkan air yang hampir masuk ke dalam tenggorokannya. Dalam keadaan tersedak air, Farel masih bisa tertawa. Tidak menyangka kalau Ilana akan seberani itu langsung menyatakan akan mengejar Danish.
“Gimana rasanya dikejar anak kecil?” ledek Farel. Ia kembali tertawa diiringi dengan batuknya.
Sementara itu, Danish menyeka mulutnya. Ia tahu akan berakhir dengan ejekan hari ini. Lantas beranjak dari duduknya. “Lo yang bayar,” ujarnya.
Buru-buru Danish meninggalkan restoran dan membiarkan Farel membayar semua makan siang mereka sebagai ganjaran karena telah meledeknya.
***
Danish menghentikan langkahnya lalu mundur lagi karena sadar ada yang aneh dengan senyum Serena. Seketika ia menoleh pada perempuan itu. Sorot matanya yang penasaran mengikuti arah pandangan Serena yang tertuju pada kantornya.
“Dia di dalam?”
Serena menganggukkan kepala, masih tersenyum dan kian melebar. Danish menepuk kepalanya. Baru saja ia membicarakan gadis itu dengan Farel dan sekarang Ilana sudah berada di kantornya. Sekarang Danish benar-benar pusing karena sudah yakin kalau Ilana akan mengejar dirinya. Ia merasa seperti memiliki hutang ratusan juta pada gadis itu. Entah sejak kapan gadis itu menjadi begitu agresif. Sepertinya Danish harus memberikan beberapa wejangan pada Ilana nanti.
Tidak ragu lagi, Danish masuk ke dalam kantornya. Ia melihat Ilana tengah asyik membaca majalah di sofa tanpa mengetahui kedatangannya. Danish berdehem agar Ilana menyadari kedatangan. Dua manik mata indah dan penuh energi ceria itu—mendongak. Melihat Danish sudah di depannya, Ilana melambaikan tangan lalu berdiri.
“Ada perlu?” tanya Danish seadanya.
“Papa ngundang Kak Danish makan malam.”
“Hem,” ia mengangguk. Setelahnya berjalan menuju mejanya. “Kalau sudah tidak ada urusan lagi, kamu boleh pergi.”
Sudut bibir Ilana melengkung ke bawah. Tampaknya tidak senang karena Danish langsung mengusirnya begitu saja. Danish melirik Ilana yang tidak bergerak dari tempatnya. Ia menghela napas lalu memberikan isyarat dengan tangannya—menyuruh Ilana untuk duduk.
“Ada yang mau saya bicarakan.”
Dengan senang hati, Ilana duduk di depan meja Danish. Namun, gadis itu tidak tahu apa yang akan Danish katakan padanya. Bisa saja senyum yang tergantung itu akan kembali melengkung ke bawah.
Hai, semuanya. Jika suka novel ini komen, ya.
“Ilana, saya mau bicara serius dengan kamu,” kata Danish. Menatap Ilana dengan mata gelapnya yang terlihat serius.Ilana menajamkan pendengarannya. Matanya terfokus hanya pada wajah Danish. Gadis itu menunggu dengan sabar.“Saya tidak mencintai kamu. Jadi, Ilana, tolong lupakan saja saya,” ujar Danish.Runtuh semua harapan dan penantian Ilana selama ini. Dengan beberapa kata yang Danish ucapkan padanya, berhasil membuat bibir Ilana melengkung ke bawah.Gadis itu masih termangu di depan Danish. Ia seolah tak tahu bagaimana harus menanggapi. Apakah Ilana baru saja mendapatkan penolakan cinta?“Ilana, kamu enggak apa-apa?” Danish masih bisa bertanya, sedangkan hati Ilana sangat hancur sampai tak bisa berkata-kata.Teganya Danish langsung menolak Ilana begitu saja. Pria itu sekarang merasa bersalah karena sudah terlalu jujur pada Ilana.“Ilana, saya—”Ilana tiba-tiba berdiri dan
Ketika Danish beranjak dari ranjang, pecahan momen tadi malam mengusik pikirannya. Ia terduduk di tepi ranjang sembari mengusap wajahnya. Ilana menyebabkan Danish tak bisa tenang, bahkan dalam tidur pun ada Ilana dalam mimpinya.“Ilana seharusnya enggak berkata begitu,” gumam Danish. Ia beranjak dari tepi ranjang menuju kamar mandi. Kalau bisa untuk sementara waktu Danish tidak ingin bertemu Ilana. Semoga saja harapan Danish itu tidak dikecewakan oleh takdir.Setelah ia selesai mandi, mengganti pakaiannya dengan pakaian kerja—Danish menerima telepon masuk. Ia menoleh pada ponselnya di atas nakas. Ekspresi Danish memperlihatkan keterkejutan yang luar biasa. Raihan—ayah Ilana meneleponnya—sepagi ini.Danish menelan ludah dalam-dalam dan banyak sekali pikiran aneh bermunculan. Tangan Danish menyambar ponsel tersebut menekan ikon hijau lalu menempelkan benda itu ke telinga dan setelahnya terdengar suara Raihan.Danish memohon dalam hatinya; semoga Raihan belum mengetahui percakapannya de
Satu bulan kemudian Danish mendapati hal tak terduga karena Ilana mengikuti wawancara kerja di perusahaannya, dan gadis itu berhasil menempati posisi pegawai magang. Ada tiga orang yang diterima sebagai pegawai magang, dua orang itu akan bekerja sama dengan Ilana.Danish memijat pelipisnya. Setelah sebulan tidak diganggu oleh Ilana, rupanya inilah rencana Ilana. Malam itu sebulan yang lalu Danish sempat merasa sedih, tapi kini rasanya percuma merasa sedih. Danish tahu Ilana sudah menyusun rencana untuk mendekatinya. Lagi.Bagaimanapun juga dia harus berterima kasih pada gadis itu karena memberinya ruang selama satu bulan. Dan rasa pusing menghadapi gadis itu telah hilang.Danish kembali fokus pada pekerjaannya. Setidaknya pegawai magang tidak berhubungan langsung dengan Direktur, jadi Danish tidak mungkin diganggu, ‘kan oleh Ilana? Namun, Danish meragukan hal itu karena Ilana punya banyak cara.Misalnya sekarang gadis itu membawakan kopi ke kantornya. Danish langsung mencari sekretar
Wanita itu mengulurkan tangan ke depan Ilana, sembari memasang senyum ramah. “Kenalin, namaku Vela.”Tanpa berpikir aneh-aneh Ilana menjabat tangan Vela. Meski sebagian karyawan sudah Ilana kenal, tapi wanita di hadapannya ini terlihat asing.Mereka saat ini berada di atap gedung perusahaan tersebut. Padahal masih jam kerja dan seorang karyawan senior membawa anak magang ke atap gedung di jam kerja?“Aku dari divisi perencanaan,” kata Vela, lalu melanjutkan setelah jeda beberapa detik, “katanya kamu sering datang ke perusahaan, bahkan sebelum bekerja di sini?”Ilana sedikit mengernyitkan kening. Hanya wanita ini yang berani bertanya seperti itu padanya. Dengan nada percaya diri Ilana menjawab, “Iya. Aku sering datang ke sini.”Kini gilaran Vela yang mengerutkan1 kening. “Menemui Pak Danish?” Tanpa basa-basi Vela langsung menebak. “Kalau kamu kenalan Pak Danish dan akhirnya bekerja di sini—”Ilana memotong ucapan Vela, “Enggak usah berpikir macam-macam. Aku ke terima di sini kare
Tika dan Gagan pulang lebih dulu, sedangkan Ilana menunggu Arion di depan restoran. Ternyata makan malam dengan orang-orang yang baru dikenalnya itu cukup mengasyikkan. Kalau saja sahabatnya—Kania bisa ikut makan malam. Sayangnya gadis itu mengatakan sudah punya janji.Beberapa saat kemudian mobil Arion berhenti di depan restoran. Ilana segera mengambil langkah menuju mobil Arion, membuka pintu mobil putih itu lalu masuk ke dalam.Arion menatap ke arah Ilana. Mengetahui adiknya langsung bersandar pada sandaran kursi mobil, lelaki itu menggeleng. Arion membantu Ilana memasangkan sabuk pengaman."Kerja di kantor Danish bikin kamu kecapean? Padahal baru hari pertama," ledek Arion. Seketika Arion menerima tatapan jengkel Ilana."Aku kekenyangan tahu! Rekan kerja aku pesan banyak makanan. Kan, sayang kalau enggak habis," balas Ilana.Arion hanya tersenyum menanggapi. Sesekali Arion melirik Ilana sembari mengemudikan mobil. "Kamu enggak merencanakan sesuatu, kan?""Enggak." Ilana menjawab s
Danish membantu wanita itu mengeluarkan belanjaan dari mobil dan menaruh benda itu di depan pintu. Sejak tadi pikirannya terusik oleh pertemuan tanpa sengaja dengan Ilana."Danish, dari tadi kamu diam aja. Apa ada yang menganggu pikiran kamu?" tanya wanita itu.Danish menggeleng pelan lalu membalik badan bersiap menuju mobilnya, tetapi lengannya ditahan oleh tangan wanita itu. Wanita itu enggan membiarkan Danish pergi. Jemari Danish menyentuh tangan wanita itu guna melepaskan genggaman tangan wanita itu di lengannya."Saya harus pulang sekarang.""Apa enggak bisa kita ngobrol sebentar lagi?""Saya sudah menemani kamu sejak tadi sore. Menemani makan malam, bahkan berbelanja. Apa itu enggak cukup?"Wanita itu tanpa berkata lagi akhirnya membiarkan Danish pergi. Jika wanita itu memaksa menahan Danish, sepertinya dia akan dianggap tamak oleh Danish.Danish tidak repot-repot melirik wanita itu yang masih berdiri di depan pintu rumahnya. Sorot mata wanita itu memperlihatkan kekesalan terhad
Ilana tak mampu menahan senyumnya. Mata gadis itu berbinar ketika tatapannya bertemu dengan Danish. Kini mereka berada di atap gedung perusahaan tersebut.Danish tersadar masih menggenggam tangan Ilana, dan segera melepaskan genggamannya. Kemudian Danish bertanya, "Kamu mengikuti saya tadi malam?"Mendengar pertanyaan itu senyum Ilana perlahan menjadi datar. "Mana ada aku ngikutin Kak Danish. Aku dijemput Arion tadi malam, terus dia ngajak aku ke super market. Siapa yang sangka bakal ketemu Kak Danish," terang Ilana.Danish mengamati wajah Ilana. Sepertinya Danish tidak melihat Arion semalam, sehingga ia menyimpulkan Ilana membuntutinya."Nah, sekarang giliran aku bertanya. Kenapa aku dicuekin semalam? Padahal Kak Danish udah lihat aku, 'kan?" Ilana tak mau kalah. Manik matanya penuh harap akan jawaban Danish.Selama beberapa saat Danish tidak memberikan jawaban pada Ilana. Mulut lelaki itu terkunci rapat. Sementara Ilana menggerutu di depannya."Biar enggak merusak suasana." Akhirnya
Farrel menunjukkan restoran yang dipilihnya, tapi Ilana tidak terkesan sama sekali. Jika Danish yang mengajaknya makan malam, kemungkinan dia akan sangat terkesan.Melihat ekspresi datar Ilana, Farrel segera mengajaknya duduk. Pelayan segera memberikan buku menu kepada mereka. Ilana tidak repot-repot melihat buku menu tersebut. Ia meminta Farrel untuk memesan apa saja."Apa perlu ngajak aku makan malam? Dan cuma berdua?" tanya Ilana."Kalau ngajak Danish atau orang lain, kita ngobrolnya jadi enggak leluasa," jawab Farrel. "Tapi, kamu pasti bakal berterima kasih aku nanti.""Sekarang Kak Farrel bilang aja deh, tentang yang tadi siang itu. Jangan bikin aku penasaran lagi. Dan aku enggak mau nunggu sampai makanan datang."Ilana mengetahui niat Farrel yang ingin menunda waktu. Farrel terkekeh melihat ekspresi tidak sabaran Ilana."Oke, sebelum itu kamu harus janji, jangan bilang ke Danish.""Aku janji.""Wanita yang tadi malam sama Danish —”Ilana memotong ucapan Farrel, "Wanita yang sema