Marren menahan isak tangisnya agar tidak berkepanjangan, apalagi saat mendengar suara pintu yang diketuk seseorang dari luar.
Marren segera membersihkan luluhan air mata di kedua pipinya."Siapa?" tanyanya dengan cepat, la mencoba setenang mungkin dengan berdeham berkali-kali."Saya, Nyonya, Naura." jawab Naura dengan setengah bertenak."Masuklah, Nau," ucap Marren bergegas merapikan nasan wajahnya di cermin.Kedatangan Naura membuatnya tertegun, karena gadis itu membawa nampan yang berisi makanan dan minuman untuk dirinya."Loh, Naura....?" tanya Marren dengan ucapan menggantung.Marren membelalak terkejut. "Ini, Nyonya. Tuan Muda menyuruh saya membawakan makan malam Nyonya ke kamar. Tadi kata Tuan Muda, Nyonya sedang ingin makan di kamar saja dan tidak ingin di ganggu karena kurang enak badan. Jadi kata Tuan Muda, Nyonya di suruh istirahat saja di kamar saja," ujar Naura seraya meletakkan nampan penuh makanan i"Arsan, ini cantik sekali? Antingnya juga cantik sekali Arsan, terima kasih, Sayang," ungkap Marren menatap dirinya yang telah mengenakan pemberian Arsan di depan cermin. Arsan mengecup lembut leher Marren yang telah berhiaskan sebuah kalung berlian dan sepasang anting dengan hiasan berlian sebagai mata perhiasan yang di balut ukiran bunga yang cantik."Happy Birthday, Sayang. Terima kasih telah terlahir ke dunia lan hadir dalam hidup Saya," bisik Arsan seraya memeluk pinggang Marren dari belakang dan mengecup pundak Marren dengan sayang. Marren memalingkan wajahnya seraya membelai wajah Arsan yang rebah di pundaknya. "I love you, Arsan," bisik Marren pada Arsan yang menatapnya dalam sebelum akhirnya membenamkan bibirnya pada bibir candu Marren. Mereka menatap pantulan keduanya di cermin, "Kamu sangat cantik, sayang," desah Arsan dengan lembut. Marren berbalik dan menatap Arsan, "Jadi selama ini Saya tidak cantik?" tanya Marren dengan wajah berpura pura sedih. "Kamu sangat tahu
Malam...Semua berkumpul di sebuah restoran mewah pilihan Kakek Ryzadrd.Rombongan Arsan dan Marren memasuki ruangan yang telah di pesan di sebuah hotel mewah. Marren di sambut oleh Kakek Ryzadrd dan Arland. Serta beberapa tamu undangan Kakek Ryzadrd pun ikut menghadin acara keluarga tersebut. Beberapa tamu undangan yang merupakan dewan direksi dari XYNZ COMPAR OFFICE dan tamu luar itu memberikan ucapan selamat dan kado ulang tahun untuk Marren. Mereka yang telah bertemu Marren saat hari pernikahan dengan Arsan sangat mengagumi kecantikan Marren yang saat itu memang berhias diri untuk hari ini. Hal itu membuat Arsan makin bangga dan terlihat tidak ingin jauh-jauh dari Marren. Acara malam itu selain makan malam bersama, mereka juga menikmati musik yang dinyanyikan langsung oleh sebuah grup musik kesukaan Marren. Melihat grup itu memasuki ruangan dan sedang menyiapkan diri membuat Marren hampir saja histernis senang. Ia menatap Arsan dengan wajah syok, senang bercampur haru. "Ap
"Ini? Ini apa? Oh? Apa ini maksudnya tentang kecelakaan pesawat Kakek dan Daddy?" Marren mendekap mulutnya dengan panik. la menatap Arsan yang terlelap, lalu segera memasukkan guntingan kertas koran yang hampir menguning itu ke dalam tas tangannya. Marren memungut selembar kertas putih yang cepat-cepat la selipkan ke dalam kantong rahasia di dompetnya. "Hubungi aku di nomorku yang ini 08x-xxxx-xxxx, Aralnd!" Dengan tangan gemetar Marren segera merapikan kotak kado itu agar terlihat seperti sedia kala. Wanita cantik itu langsung bergegas menuju ranjang tidurnya bersama Arsan. Akan tetapi, tulisan guntingan koran itu menghilangkan rasa kantuk yang sejak tadi menyerangnya. Kini Marren hanya bisa terdiam menahan segala gemuruh di hatinya. 'Oh Tuhan, apa semua ini benar adanya? Apa yang harus Saya lakukan? Apa ini maksud ucapan Aralnd tadi, bahwa ini akan membuat Saya bahagia.Bahwa saya akan tahu yang sebenarnya? Apa Arland selama ini tahu tentang semuanya? Lalu kenapa dia diam sa
"Oh Arsan! Ada apa?" tanya Marren terkejut bukan kepalang seraya dengan sigap menyembunyikan ponselnya di bawah selimut saat melihat Arsan tiba-tiba muncul di balik pintu. "Ponsel dan dompet Saya ketinggalan, padahal Saya merasa Saya sudah memasukkannya ke dalam tas," sahut Arsan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. "Oh, begitu? Mungkin kamu lupa meninggalkannya di suatu tempat. Sebentar, Saya bantu," ujar Marren dengan cepat. Marren turun dari ranjang dan ikut membantu mencarikan benda-benda itu. Ia memasuki kamar ganti yang terletak bersebelahan dengan kamar mandi. "Ini Saya menemukannya di sini, Arsan. Mungkin kau meninggalkannya saat mengganti baju tadi pagi," sahut Marren seraya keluar kamar kecil itu dan segera menyerahkan kedua benda penting itu pada Arsan."Terima kasih, Sayang, untungnya Saya masih ada di ruang tamu, jadi Saya masih bisa segera kembali ke mari. Dan kamu, kenapa masih belum tidur?" ucap Arsan seraya mengelus pipi chubby Marren dan merengkuh pin
Seperti yang sudah direncanakan oleh Marren, pagi itu Wira datang menjemputnya di rumah. Wira yang mengikuti petunjuk Marren melalui telepon terlihat begitu lancar menjelaskan pada Madya yang menanyakan akan pergi ke mana mereka nanti. Kini Wira yang telah memegang kemudi mobilnya dan duduk berdampingan bersama Marren menghela napas berkali kali seolah ia sangat lega setelah perasaan mengganjal itu keluar dari dadanya. "Ren, sebenamya ada apa? Kamu membuatku jadi pembohong ulung, kamu tahu? Aku jadi tidak enak hati dengan Mama kamu karena harus berbohong seperti ini. Dan sekarang untung saja Arsan mengizinkan kamu duduk berdua bersamaku tanpa ada satu pun pengawal yang ada di mobil. Jadi aku harap kamu jelaskan padaku sekarang juga?" omel Wira pada Marren yang hanya tersenyum di sela tatap matanya yang tampak serius."Saya belum bisa menjelaskan sekarang Wir, so sorry. Kalau semuanya sudah jelas Saya akan menceritakan semuanya padamu. Tapi saya sangat berterima kasih atas bantua
"Tunggu, apa harus seperti ini?" tegur Marren walau dengan nada setengah mungkin agar tidak dicurigai oleh Sang Pengawal. Dengan berdebar-debar Marren mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran tersebut yang memperlihatkan suasana restoran yang tidak terlalu ramai, hanya ada dua kelompok keluarga dengan anak-anak kecil serta beberapa remaja di dalamnya. "Maaf Nyonya, saya hanya memastikan tempat ini aman untuk Nyonya, karena jika kami ikut mendampingi Nyonya makan di sini pasti membuat Nyonya tidak nyaman. Walau pun aman, tapi kami akan tetap berjaga di luar, Nyonya. Jadi Nyonya tidak perlu khawatir," papar Sang Kepala Pengawal. 'Justru Saya khawatir kalian melihat saya bertemu Arland!" pekik Marren dalam hatinya yang berdegup sangat kencang. "Baiklah, tapi kalau kalian ingin makan siang sekalian juga tidak apa-apa. Karena saya rasa kami akan agak lama di sini," ucap Marren mengingatkan, agar tidak memperlihatkan bahwa ia tidak sedang berusaha mengusir' mereka jauh jauh. "Saya
Marren meremas jari-jemarinya untuk menahan diri, Wira yang melihat bahasa tubuh Marren yang sedang cemas, segera meraih tangan sahabatnya dan menggenggamnya untuk menguatkan dirinya. Kini mereka saling bergenggap tangan. "Memangnya apa yang Bapak tahu sampai Bapak merasa seperti itu?" tanya Arland sedikit mendesak. "Menurut orang saya, Bapak sendiri yang menemui saya karena mendengar saya sedang mencari orang yang bisa membantu saya menguak kecelakaan pesawat terbang waktu itu," imbuh Arland dengan tatapan mata menyelidik. "Iya benar, Tuan. Saya memang ingin bertemu karena sebenarnya saya sudah sangat takut, saya benar-benar tidak menyangka kalau apa yang saya lakukan saat itu bisa berakibat fatal" sahut orang itu seraya mengusap peluhnya yang mulai bermunculan di dalam ruangan berpendingin itu. "Maksudnya?" desak Arland dengan singkat. Pria itu terlihat tampak gelisah dan ketakutan, namun ia juga berusaha menguasai dirinya dan bertekad cukup kuat terlihat dari sorot matanya ya
"Baiklah. Mulai sekarang Bapak akan bekerja dengan orang-orang saya dan Bapak harus membantu semua penelusuran saya. Saya yang akan menjamin hidup Bapak. Tapi ingat satu hal, rahasiakan pertemuan ini. Dan untuk masalah anak dan istri Bapak, akan menjadi tanggung jawab saya," ucap Arland mengambil keputusan."Apa itu benar, Tuan? Kalau begitu apa yang bisa saya bantu? Saya akan membantu Tuan sekuat tenaga saya. Bagi saya cukup anak dan istri saya tahu bahwa saya tidak bersalah itu sudah cukup. Karena sejak saya di vonis anak dan istri saya terusir dari rumah kami. Apalagi sejak diberitakan pesawat itu telah disabotase dan saya dianggap sebagai kaki tangan pembunuhan berencana. Mereka sangat terpukul, dan harus terusir dari Jakarta," papar Rojer lagi-lagi tanpa bisa menahan air mata dendamnya. Arland saling berpandangan dengan Marren dan Wira. Mereka sengaja membiarkan pria itu meluapkan emosinya yang tertahan dan mendengar semua keluh kesah Rojer yang meluncur begitu saja bak bendunga