“Kamu Rihana, ‘kan?” tanya seorang wanita yang kini berdiri di depan Rihana dan menatap wanita itu.Rihana terlihat bingung, memperhatikan wanita berumur lima puluh tahunan, mungkin seumuran ibunya jika masih hidup.“Be-benar.” Rihana menjawab dengan gugup.Wanita itu tiba-tiba menangis mengetahui kalau itu benar-benar Rihana. Dia pun mendekat lantas meraba lengan dan wajah Rihana.Rihana pun bingung tapi mencoba mencerna apa yang terjadi.“Kamu tidak ingat dengan bibi, Ri?” tanya wanita itu.Rihana menggelengkan kepala, sudah lama tidak datang ke kampung itu, tentunya Rihana lupa dengan siapa saja yang tinggal dan pernah dekat dengannya.“Bibi ini teman mamamu. Bibi Asri, yang dulu pernah kerja di rumah orangtuamu.”Rihana mencoba mengingat, hingga akhirnya ingat kalau Asri adalah teman yang dibawa ibunya, tapi setelah Aprilia—ibu Rihana meninggal, Asri memilih kembali pulang kampung.“Aku ingat, maaf sudah lupa,” ucap Rihana tidak enak hati.“Tidak apa.” Asri terlihat begitu senang
Dua puluh dua tahun yang lalu.“Ke kota? Kenapa? Aku sudah nyaman tinggal di sini.” Aprilia—ibu Rihana, saat itu menatap bingung Candra yang mengajaknya pergi ke rumah mewahnya di kota.“Bagaimanapun, Rihana juga anakku. Dia layak mendapatkan fasilitas yang sama dengan anakku lainnya,” ucap Candra membujuk.“Lalu bagaimana dengan istrimu? Aku di sini karena menyadari jika tidak mungkin kita bersama. Hanya karena Rihanalah aku bertahan hidup seperti ini. Biarkan kami di sini saja, aku tidak mau kalau sampai ada perselisihan antara aku dan istrimu.”Aprilia tidak ingin pergi ke kota karena menjaga perasaan istri Candra. Dia memang bodoh karena terbujuk rayuan pria itu sampai akhirnya hamil. Aprilia hanya gadis desa polos yang baru mengenal cinta, tapi sayangnya cinta itu harus jatuh di hati yang salah. Nasi sudah menjadi bubur, Aprilia baru tahu kalau Candra setelah dia hamil Rihana. Dia pun memilih tidak lagi membebani Candra, meski pria itu masih setiap bulan memberinya uang untuk hid
Semenjak hari itu, Aprilia sering diperlakukan kasar. Pernah sekali disiram air panas karena dianggap salah membuatkan minuman, bahkan mendapatkan perlakuan kasar dari Candra yang dulu sangat menyayanginya.Meghan cemburu, dia dendam karena Candra selama setahun terus memperhatikan Aprilia. Dia akhirnya berusaha menjatuhkan serta ingin membuat Aprilia sadar diri, jika di rumah itu, hanya Meghanlah yang berkuasa.Lima tahun hidup dalam satu atap, kata selingkuhan sering sekali didengar telinga Aprilia. Dia mencoba bertahan demi Rihana, tapi semua kekuatan itu lambat laun memudar dan hilang perlahan.“Pril, lebih baik kita pergi dari sini. Bawa Rihana dari sini. Jika terus begini, aku takut wanita itu akan melakukan sesuatu yang bisa mencelakaimu dan Rihana,” ucap Asri mencoba membujuk.Asri tidak tahan dengan semua perlakuan Meghan ke Aprilia. Aprilia terdiam, dia juga sebenarnya sudah tidak tahan dengan perlakuan Meghan dan Candra kepadanya.“Bagaimana kalau mereka menghalangi?” tanya
Lima tahun kemudian.“Kenapa kamu kembali ke sana? Mama ingin kamu menikah segera, jangan beralasan lagi!”Suara melengking itu membuat Melvin sampai menjauhkan ponsel yang dipegang dari telinga. Dia kabur dari Amerika karena ingin kembali ke Indonesia. Bahkan dia tidak peduli dengan amukan orangtuanya, karena Melvin selalu saja kabur dan pergi sesuka hati.“Aku akan menikah, ketika aku ingin menikah.”Melvin mengakhiri panggilan itu setelah bicara dengan ibunya. Dia menghela napas frustasi dan melempar ponsel ke meja.Mario ada di ruangan itu, menatap wajah frustasi bosnya setelah menerima panggilan dari ibunya. Dia sudah menebak jika kepulangan Melvin kali ini, pasti akan membuat murka orangtuanya.“Apa kamu masih tidak menemukannya? Atau jangan-jangan selama lima tahun ini, kamu memang tidak meminta orang untuk mencarinya?” Kini Melvin menatap tajam ke Mario. Dia meluapkan kekesalan ke asistennya itu.Mario terperanjat mendengar tuduhan Melvin, mana mungkin dia tidak melaksanakan p
“Bastian!” Suara seorang wanita terus menyerukan nama yang sama. Nama itu menggema di udara tapi sang pemilik nama tidak kunjung menyahutnya. “Bastian! Ke mana dia?” Rihana berdiri dengan satu tangan berkacak pinggang. Dia mengedarkan pandangan, mencari malaikat kecilnya yang kabur saat ditinggal ke dapur mengambil minum. Bastian adalah putra Rihana, umurnya sekarang sudah empat tahun. Bastian tumbuh menjadi bocah aktif dan begitu cerdas. Bahkan karena aktifnya Bastian yang tidak bisa diam, membuat Rihana kewalahan. “Bas! Ayolah, Mama akan merajuk jika kamu tidak keluar.” Rihana tahu kalau Bastian pasti bersembunyi, sehingga putranya itu tidak terlihat di mana-mana. Rihana berdiri di bawah pohon yang rimbun, kepala memutar ke kanan dan kiri mencari keberadaan Bastian. Dia benar-benar kesulitan mengawasi dan mengatur bocah itu, sampai Rihana mengingat-ingat, ngidam apa dia dulu, sampai putranya seaktif dan selincah sekarang ini. Di atas pohon, seorang anak kecil sedang menahan ta
“Apa kamu yakin akan memulainya?” tanya Asri saat duduk bersama Rihana di teras depan rumah.Rihana menarik napas panjang, kemudian mengembuskan perlahan.“Aku sangat yakin, Bi. Aku sudah menunggu lima tahun lamanya untuk balas dendam. Aku tidak akan membiarkan begitu saja orang-orang yang sudah membunuh Mama, bisa hidup dengan tenang. Aku juga ingin memberi pelajaran, kepada orang-orang yang sudah menelantarkanku.” Rihana bicara dengan begitu serius, menatap Asri dengan penuh dendam dan rasa sakit.Asri tidak bisa mencegah Rihana, hanya saja merasa cemas dengan kondisi putri temannya itu.“Aku pikir, dengan adanya Bastian, kamu sudah bisa melupakan dendammu. Namun, bibi juga tidak bisa mencegah, jika memang itu sudah menjadi tekadmu.” Asri bicara sambil mengusap punggung Rihana.“Selama aku pergi, tolong jaga Bastian dengan baik,” pinta Rihana.Asri mengangguk-angguk dengan seulas senyum, tentu saja dia akan menjaga Bastian dengan baik.**Rihana berangkat dari kampung membawa mobil
Bastian memekik kesakitan karena pantatnya membentur lantai, sedangkan orang dewasa yang menabraknya, atau begitulah yang Bastian rasa, meski sebenarnya dia yang salah, kini sedang menatapnya sambil melotot.“Kamu--” Orang dewasa mengenakan seragam hotel itu keheranan melihat Bastian berkeliaran di sana.“Apa orang dewasa memang suka berjalan sembarangan?” Bastian bicara dengan satu tangan berkacak pinggang, sedangkan tangan satunya menunjuk pelayan hotel itu sambil digerak-gerakkan.Pelayan hotel itu melongo melihat dan mendengar cara bicara Bastian. Belum lagi bocah kecil itu malah memarahinya.“Adik manis, kamu yang jalan sembarangan dan tidak melihat sekitar. Jadi, bukan kakak yang salah. Di mana orangtuamu, biar kakak antar,” ucap pelayan wanita hotel itu dengan ramah dan penuh senyum, takut kalau Bastian salah satu anak dari pengunjung hotel.Bastian kini melipat kedua tangan di depan dada, lantas kembali berkata, “Onty cantik, aku tidak mau bersama orang asing. Meski Onty canti
“Papa, mereka nakal. Dia, mencubitku!” Bastian menunjuk ke pelayan hotel yang pertama kali menghadangnya. Bastian memasang ekspresi kesal tapi begitu lucu karena bibir mungilnya mengerucut.“Apa?” Pelayan wanita itu pun terkejut dan ketakutan karena ucapan Bastian. Berpikir kalau dirinya akan terancam dengan aduan Bastian, jika benar bocah laki-laki itu anak Melvin.“Ka--” Mario ingin menyanggah pengakuan Bastian, tapi langsung dicegah oleh Melvin.Melvin sendiri merasa aneh, entah kenapa saat pertama kali melihat Bastian, seolah melihat dirinya ketika masih kecil.“Kalian pergilah.” Tanpa kata lain, Melvin meminta para pelayan itu pergi, seolah menunjukkan jika Bastian memang putranya.Bastian menjulurkan lidah ke arah para pelayan yang tadi mengejarnya.Melvin dan Mario kini menatap Bastian, membuat bocah kecil itu merasa memiliki masalah baru.“Bas mau nyari Mama.” Bastian ingin pergi tapi Melvin mencegah.“Di mana mamamu? Bagaimana kalau aku traktir makan dulu? Kamu sudah sarapan?