Sekitar pukul sembilan pagi keesokan harinya, Risa mendatangi sebuah rumah sakit setelah berpikir sepanjang malam di salah satu kamar hotel yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. Di saat pikirannya melayang jauh membayangkan Jaya malam itu, dia juga memikirkan apa yang harus dia lakukan setelah ini. Namun, keputusan finalnya ini mungkin juga akan membuatnya menyesal.
Hari ini wanita itu datang ke rumah sakit untuk melakukan aborsi. Dia bertekad untuk melenyapkan bayi yang ada dalam kandungannya dan membuka lembaran baru tanpa dibayang-bayangi rasa menyesal dan kebencian kepada Jaya.
Danu yang waktu juga berkunjung ke sebuah rumah sakit untuk bertemu dengan kenalannya, tak sengaja melihat Risa yang baru saja pergi dari ruangan dokter kandungan. Pikirannya langsung mengira jika wanita itu tengah mengandung bayi Jaya.
Dari awal, Risa memang tidak berniat menggugurkan kandungannya, tetapi dia takut seumur hidupnya diliputi kebencian kepada bayi itu dan berakhir dengan menelantarkan atau bersikap tidak acuh pada darah dagingnya sendiri.Cinta dan benci selalu hadir bersamaan, keyakinan dan keraguan pun datang dalam hitungan detik. Hati manusia memang selemah itu, seperti perasaan Risa yang mendadak tenang mendengar pria itu akan menikahinya sebagai bentuk pertanggungjawaban. Akan tetapi, giliran Danu yang pusing tujuh keliling.Pria itu tidak tahu harus bagaimana menjelaskan semua ini kepada Laras padahal selama ini dirinya menjanjikan sebuah pernikahan dua atau tiga tahun lagi. Kedatangan Risa mungkin bukanlah sesuatu yang besar, tetapi apa yang dibawa wanita itu membuatnya tidak bisa tidak acuh.Danu terduduk sambil menunduk dan menggaruk pelipisnya sesekali, memikirkan apakah dirinya harus memberitahu Laras soal ini atau menyimpannya sebagai rahasia sampai di mana bayi itu lahir dan hak asuh jatuh
Di sebuah gereja letaknya dekat dengan Sanatorium Harapan Utama, Risa dan Danu melangsungkan pernikahan sederhana yang bahkan tidak dihadiri siapa pun kecuali Laras yang mengaku sebagai teman dekat pria itu, juga Margareth yang semalam terbang dari Perancis. Wanita berdarah campuran itu sesungguhnya merasa iba dengan nasib Risa yang menurutnya sedang dibodohi oleh Danu Atmawijaya, Direktur Utama di sanatorium tersebut. Sudah dihamili, sekarang dinikahi dengan diam-diam tanpa mengundang tamu, bahkan kenalan atau rekan kerja. Jangankan tamu, dekorasi pun tidak ada. Laras sesungguhnya tidak ingin melihat semua ini, tetapi dengan memegang janji yang Danu katakan, dia memaksa diri untuk menghadiri pernikahan kekasihnya sendiri dengan wanita lain. Kedua mempelai itu bertukar cincin, mengucapkan janji sehidup semati yang tidak akan bisa Danu tepati. Pria itu sudah bertekad untuk menjadi seorang pria yang menikahi istrinya tidak lebih dari satu tahun, hanya sampai anak Jaya lahir. “Maaf ak
“Kalau aku jawab iya, apa kau kecewa?”Risa terdiam beberapa saat mendengar tanggapan Danu barusan, tetapi kemudian perempuan itu menggeleng. “Tidak. Sejujurnya aku datang mencarimu juga karena bayi ini. Jadi, aku tidak merasa kecewa sedikit pun.”Pria itu mengangguk mengerti. Setidaknya jawaban Risa barusan tidak menambah beban hidupnya selain berpura-pura menjadi Jaya. Namun, ada satu hal lagi yang masih begitu mengganjal, yaitu tentang surat yang diberikannya kepada istri di atas kertas tersebut.Meski yakin sekali jika surat tersebut belum dibaca oleh Risa, Danu merasa was-was jika suatu waktu perempuan itu mengetahui segalanya dan memilih pergi membawa bayi itu, satu-satunya hal yang ditinggalkan Jaya di dunia ini.“Kalau begitu tidurlah, aku harus pergi ke suatu tempat dan mengurus beberapa hal,” kata Danu sambil berbalik badan. “Aku mungkin tidak bisa pulang selama beberapa hari karena ada banyak pekerjaan yang tidak bisa aku tinggalkan.”Risa menatap punggung pria yang tampak
Risa meletakkan cangkir bermotif bunga di atas meja, menyajikan teh hangat yang cocok untuk diminum pagi-pagi seperti ini. Cuaca hangat, suasana tenang dalam rumah besar, juga seorang tamu asing yang membuat wanita itu merasa tak tahu perasaan apa yang sedang dirasakannya saat ini.Tamu yang datang pagi-pagi sekali itu jelas berasal dari luar negeri, tetapi fasih berbahasa indonesia. Jika pria bermata biru itu bisa masuk ke rumah tanpa memerlukan kunci, Risa yakin pria tersebut cukup dekat dengan suaminya.“Aku Jillian,” kata pria berdarah Eropa tersebut, lalu menyesap teh yang menurutnya terlalu hambar. “Jadi, kau ini istri Danu?”Risa mengangguk pelan, merasa agak canggung hanya berdua dengan salah satu kenalan suaminya yang bahkan tidak dikenalnya dengan baik. “Kami baru menikah kemarin. Cuma pesta kecil-kecilan,” jawabnya.Dia menikah kenapa tidak mengundangku, batin pria bernama Jillian tersebut. Apa yang lebih mengejutkan adalah mengapa Danu bukan menikah dengan Laras dan malah
“Apa?!” Jillian melotot lebar. “Kekonyolan seperti apa yang baru saja aku dengar? Lalu Laras bagaimana?”“Pertama-tama, wanita itu sedang hamil anak Jaya,” kata Danu sambil menyatukan jari-jari tangannya. “Dia juga tidak percaya jika Jaya sudah tiada dan menganggap bahwa aku sedang berusaha mengusirnya dengan alasan seperti itu.”“Tetap saja … bagaimana mungkin kau membiarkan kesalahpahamannya?” Jillian mengernyit, tidak mengerti mengapa seseorang yang pandai seperti Danu bisa salah mengambil keputusan.“Aku bilang dia sedang mengandung anak Jaya!” bentak Danu, “kau tidak mengerti maksudnya? Dia membawa darah Jaya! Jaya meninggalkan sesuatu di dunia ini!”“Oke, oke.” Jillian mengangguk-angguk, masih tidak mengerti dengan situasi yang rumit ini.Jaya mungkin memang meninggalkan jejaknya di dunia ini, tetapi Jillian benar-benar tidak mengerti mengapa Danu mengambil langkah seperti ini padahal dia bisa saja membuktikan bahwa mereka adalah saudara kembar dan dia juga bisa membantu membesa
“Kamu tahu, kan, kalau kami berdua sudah berteman sejak lama?” Laras tertawa keras setelahnya begitu melihat Risa terlihat terganggu. “Karena itu tidak ada orang lain kecuali aku yang tahu soal Danu, termasuk kesukaannya pada minuman hambar.”“Sepertinya aku harus banyak bertanya padamu,” kata Risa diselingi senyuman tipis, lalu kembali merebut cangkir putih tersebut dari genggaman Laras dan menuangkan air panas ke dalamnya.“Ya, tentu.” Laras menjawab dengan ekspresi datar. Tatapannya begitu dingin dan tidak berperasaan saat menatap wanita yang datang menghancurkan impiannya itu. “Sepertinya aku harus pergi.”Risa menolehkan kepala saat Laras beranjak pergi dengan tiba-tiba.“Ada urusan mendesak yang harus aku lakukan, jadi tidak bisa berlama-lama di sini,” lanjutnya.“Padahal aku sudah membuat minuman untukmu,” kata Risa seraya membawa dua cangkir itu menggunakan nampan. Namun, seperti apa yang Laras katakan, wanita itu pergi terburu-buru tanpa mengatakan sesuatu.Tepat setelah itu,
“Usia kandungan masih sangat muda, jadi janinnya masih belum terlihat. Di sini,” kata dokter kandungan tersebut sambil menunjuk layar komputer. “Kantong kuning telur ini yang nantinya berkembang.”Risa mengangguk-angguk. Dia baru tahu jika kehamilan empat minggu belum bisa membuatnya melihat bagaimana bentuk bayinya. “Kalau begitu aku akan kembali empat minggu lagi, Dok. Lalu … aku ada sedikit keluhan. Payudaraku terasa nyeri dan aku menjadi lebih gampang kelelahan.”“Itu salah satu yang harus dirasakan Bu Risa,” sahut Dokter Marina, “Selain mual-mual, nyeri pada payudara adalah hal lumrah. Nanti saya resepkan obat untuk mengurangi rasa tidak nyamannya.”“Baik, terima kasih.”Wanita itu lantas pergi setelah menerima resep yang diberikan oleh Dokter Marina, setelah itu pergi untuk menebus obat yang diharapkannya bisa mengurangi rasa tidak nyaman yang dideritanya selama masa kehamilan.Setelah keluar dari rumah sakit, wanita itu tidak lantas pulang ke rumah. Dia ingin menghirup udara se
Pagi sekitar pukul tujuh, Danu terbangun dengan rasa sakit di kepala yang lumayan berat. Pandangannya mengabur dan tidak seimbang hingga membuatnya agak mual. Dia mengingat-ingat apa yang telah terjadi semalam dan akhirnya pikirannya membawa ke pertemuan dengan rekan-rekan kerja yang terus memaksa dirinya untuk banyak minum.Dengan langkah sempoyongan dan juga kepala seperti dipukul-pukul, pria itu beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar. Baru setelah Danu melihat siluet seorang wanita berada di dapur, dia baru sadar jika semalam dia tidur di rumahnya sendiri.“Kau sudah bangun?” Risa bertanya dari dapur terbuka tersebut. “Duduklah, aku membuat sesuatu agar mengurangi rasa pusingmu.”Pria itu masih berdiri di tempat dengan mata terpejam, merasakan kepalanya yang terasa berputar-putar juga rasa mual di perutnya. Di saat seperti sekarang ini, pikirannya bahkan tertuju pada Laras yang semalam tidur sendiri tanpa dirinya.“Jay?”Panggilan Risa menyadarkan Danu.“Oh, ya. Aku harus