Cia terpekur sendiri dengan malas di tempat duduknya. Posisi bangkunya yang pas dekat jendela dan kebetulan menghadap lapangan basket, membuatnya bisa dengan leluasa memperhatikan polah tingkah cowok–cowok yang saat ini tengah ramai bertanding basket di jam istirahat mereka.
Aka salah satu di antaranya, terlihat serius dalam permainannya dan nampaknya sedang ada pertandingan seru melawan kelas sebelah yang tepatnya kelas Flo. Karena di lapangan itu terlihat juga Vandra, Si Cowok Tengil teman sekelas Florida yang sekaligus mantan teman SMP Cia ikut bermain beda team dengan Aka.
Cia yang pada dasarnya menyimpan rasa penasaran pada sosok Aka, fokus memperhatikan segala gerak-gerik cowok itu. Apalagi begitu mengetahui sisi kehidupan Aka yang lain sekitar seminggu lalu ketika dia datang ke rumahnya. Rasa penasaran itu berubah menjadi rasa kagum. Dalam sudut pandang Cia, cowok itu begitu mandiri, itulah salah satu alasan yang melatari rasa kagumnya pada Aka.
"Aka yang seorang cowok bisa hidup mandiri seperti itu. Jika aku di posisi dia, apakah kira–kira aku bisa? Tanpa mama dan papa tempat aku bermanja–manja. Tanpa Mbak Yun yang setia menemani aku dan menyiapkan segala keperluanku. Tanpa Pak Jon yang selalu menjadikan rumah nampak bersih dengan taman yang terawat dan selalu terlihat cantik. Dan tanpa Pak Has dan Pak Har yang jaga keamanan rumah 24 jam non stop. Belum lagi Pak Husen, sopir Papa yang siap sedia antar aku kemana saja jika keadaan memaksa," Cia bergelut dengan angan dan fikirannya sendiri.
Dan, meskipun di lapangan basket banyak cowok–cowok yang sedang asyik bermain basket saling berebut bola, namun fokus pandangan Cia tetap hanya tertuju pada satu orang saja.
"Ngomong–ngomong, kok, aku kemarin enggak tanya, ya? Orang tua Aka tinggal di mana? Ah ... ngapain juga tanya. Yang ada malah aku kena label kepo lagi ... " Cia memutus sendiri percakapan batinnya.
Takdir memberikan cerita baru lagi dalam hidup Cia hari ini.
Aka yang tengah asyik bermain basket seolah merasa, bahwa ada mata cantik yang memperhatikannya sejak tadi. Tanpa di sangka, dia menoleh tepat pada jendela tempat dimana Cia mengarahkan pandangannya.
Clingg ...
Tatapan mata mereka bertemu sejenak, mungkin tak sampai satu menit. Tapi, waktu segitu pendek cukup membuat Cia merasa seperti seorang pencuri yang tertangkap basah. Matanya mendadak berasa kelilipan debu sebesar batu kerikil,. Mengerjap kesusahan tak jelas dan dia berusaha mengalihkan pandangannya dengan kikuk.
Duerrr-duerrr-duerrr!
Suara mercon bergemuruh di dada Cia. Sungguh malu, kali ini pipinya bukan hanya terasa hangat, tapi benar–benar panas bak kejatuhan meteor di siang bolong.
"Omaigad ... kapan sih aku nggak menderita malu jika berurusan dengan Aka?" rintih nelangsa batin Cia. Dan kembali kalimat sakti itu terngiang di telinga Cia "makanya jangan hobi bengong, jadi gampang kaget kan akibatnya." Gubrak!!!
Insiden ketahuan itu hanya terjadi beberapa saat. Tapi efek malu yang di derita Cia sungguh luar biasa. Jika di sinetron, mungkin sebuah kebetulan seperti itu akan membuahkan benih–benih asmara. Emoticon cinta berwarna pink atau tebaran bunga–bunga dan kupu–kupu akan bermunculan di sekitar tokoh utama. Kemudian, mereka akan saling tersenyum malu–malu, saling mendekat, dan mungkin akhirnya akan saling menyapa.
Namun tidak begitu yang terjadi dengan Cia dan Aka. Cia merutuk seorang diri menyesali sindrom bengongnya yang seringkali hadir jika harus berurusan dengan Aka. Sedangkan cowok itu hanya membuang muka cuek dengan wajah datar. Lalu, dia kembali melanjutkan permainan basketnya seolah tidak terjadi apa–apa.
“Tralala ... menu spesial Cia datang ... ” suara cempreng Flo membahana di kelas yang cukup sepi itu. Di belakangnya menyusul Merlin teman sebangku Cia yang memegang sebotol air mineral 600ml kemudian meletakkannya di meja tepat di depan Cia.
Cia menatap malas menu spesialnya yang kini sudah bersanding dengan air mineral yang barusan di letakkan Merlin. Dua bungkus agar–agar yang tercetak manis berbentuk bunga.
“Kok diem aja, Cia? Makan gih.” Merlin meminta Cia untuk mulai menikmati santapan spesialnya. Cia mendengus pelan, kemudian menatap sahabat dan sepupunya bergantian.
“Kalian berdua tega, ya. Masa aku dapatnya agar–agar doang. Dua lagi. Bawain kue pastel kek, atau tahu isi kek, atau es jus kek ... Fanta merah juga oke, lha ini?” Cia melancarkan aksi protesnya.
“Valencia, sepupuku sayang. Sahabatnya Merlin yang baik hati dan cantik. Menu ini sudah sesuai dengan resep Om Ardi, dokter keluarga kamu. Ingat, harus makan yang manis–manis dulu, yang teksturnya halus, nggak boleh berminyak, nggak boleh pedas, dan ... ”
“Stop–stop, oke. Lebih baik aku makan daripada dengerin ocehan asisten mama dan Om Ardi yang cerewetnya ngalahin mereka, bikin kepalaku tambah nyut–nyutan,” ujar Cia dengan kedongkolan yang cukup luar biasa.
Flo dan Merlin hanya saling melempar pandang dengan senyum tersungging di bibir mereka.
Dengan nafsu makan yang sangat di paksain, Cia menyantap agar–agar di hadapannya. Sarat dengan perjuangan keras akhirnya dua biji agar–agar itu ludes juga. Merlin segera mengulurkan air mineral.
“Fanta merah dong, Mer ... ” rajuk Cia berusaha menawar.
“Enak aja, udah dong jangan bawel,” kali ini suara Merlin terdengar sangar. Cia tak membantah lagi, di teguknya hampir setengah botol air mineral itu.
“Habisin dong ... ”
“Udah deh Mer ampuni aku, jangan paksa ya ... nanti deh aku minum lagi,” Cia menyuarakan nada memelasnya. Merlin dan Flo saling bertukar pandang kembali, kemudian tertawa bersamaan.
Melihat Cia yang hanya terdiam, Merlin tersenyum kemudian menempatkan tubuhnya duduk di samping Cia kemudian merangkul bahu sahabatnya itu penuh sayang.
“Kan kita pengin kamu bener–bener sembuh Cia. Enggak sakit–sakit lagi seperti kemarin yang bolos sampai 2 hari. Bener nggak Flo?”
“Iya jelas dong, kan kita sayang kamu,” tambah Flo yang hanya mendapat cebikan di bibir Cia. Gadis itu merasa tersiksa karena sama sekali belum boleh menyentuh apalagi sampai menikmati makanan dan minuman kesukaannya.
“Hemhhh ... malah gondok dia Mer. Ya udah deh aku balik ke kelas dulu, bentar lagi ada ulangan Fisika, nitip tuan putri ya, Mer.”
Merlin hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Cia hanya mengikuti langkah ceria Florida yang berjalan keluar kelasnya dengan pandangan sayunya. Tak berapa lama kelaspun mulai ramai kembali karena jam istirahat sudah usai.
Nampak pula Aka yang baru masuk kelas. Sebelum duduk cowok itu sempat melihat ke arah Cia, namun masih seperti biasa, tanpa suara sapa atau sekedar isyarat saja.
*****
Bel pulang sudah berdentang hampir sepuluh menit yang lalu. Merlin sudah pamit pulang duluan karena ada keperluan. Beberapa siswa masih asyik bergerombol di dalam kelas tidak langsung pulang. Nampak Aka termasuk siswa yang masih di dalam kelas juga. Bedanya dia duduk sendiri di bangkunya sambil serius membaca sebuah buku. Sedangkan Cia masih terduduk malas menopang kepalanya yang masih terasa berat sambil menunggu Flo yang akan menjemput di kelasnya seperti biasa.
Alih–alih melihat kedatangan Flo yang biasanya datang dengan rambut ikal tergerainya sambil cengar cengir ceria sapa sana sini. Justru yang nampak memasuki kelasnya adalah Jordi dan Ifan teman sekelasnya.
“Belum pulang, Cia?” sapa Jordi sambil menempatkan tubuhnya di bangku depan Cia.
“Iya, masih nunggu Flo,” jawab pendek Cia sambil tersenyum sedikit terpaksa.
“Gimana keadaan kamu, udah lebih baikan kah?”
“Iya sudah lebih mending, cuma masih sedikit pusing.”
“Pulang sama aku aja, yuk, kebetulan aku mau ke rumahnya Ifan. Cuma beda blok aja khan sama rumah kamu?” ucap Jordi sambil menoleh sekilas pada Ifan yang sedari tadi diam berdiri di sampingnya.
“Iya Cia, kebetulan kita mau ngerjain tugas ekstrakurikuler di rumahku, kamu bareng kita aja, yuk,” ajak Ifan menyetujui usul Jordi barusan.
Saat ini Cia hanya berfikir, meskipun sedang sakit dan dalam kondisi butuh bantuan pengin cepat sampai rumah kemudian segera tidur mengistirahatkan badan lemahnya, sedikitpun dia nggak akan memberi kesempatan pada Jordi untuk mendekatinya.
Bukan apa–apa, dia hanya nggak mau untuk selanjutnya cowok itu semakin berharap padanya. Sebenarnya Jordi cukup baik di mata Cia, cakep, kaya dan sangat perhatian padanya. Meskipun banyak cowok memilih mundur ketika Cia terlihat hanya menganggapnya sebagai teman, namun tidak begitu yang berlaku bagi Jordi. Cowok itu kekeuh ingin mendapatkan hati Cia.
Hanya saja, ada satu sifat yang Cia tidak sukai dari Jordi. Cowok itu suka berlaku borjuis, ke sekolah aja dia membawa mobil sportnya yang mungkin harganya nggak kurang dari 1M. Belum lagi banyaknya cewek yang nempel gonta ganti di sampingnya, yang bukan rahasia umum lagi di sekolah ini. Entah itu sekedar teman, pacar, selingkuhan atau apalah, yang jelas Cia tidak menyukai itu semua.
“Sorry Jor, tadi papa aku udah janji mau jemput aku sama Flo, terima kasih tawarannya, ya,” jawab Cia beralibi, membuat senyum di bibir Jordi memudar perlahan. Sejenak cowok itu terdiam. Namun akhirnya dia kembali tersenyum sambil beranjak berdiri.
“Baiklah kalau begitu, kamu istirahat yang cukup, ya. Jangan lupa minum obat dan vitaminnya,” pesan Jordi sebelum beranjak pergi. Cia menampilkan senyum tercantiknya sebagai ungkapan terima kasih atas perhatian Jordi.
“Makasih ya, Jor,” ucap pelan Cia
“Oke, aku pulang dulu, ya, semoga besok kamu udah kembali sehat.”
“Iya, besok pasti udah sehat kok.”
“Kita duluan, ya, Cia,” Ifan ikutan mengucapkan kata pamit yang di balas Cia dengan lambaian tangannya.
Tik-Tak-Tik-Tak. Total hampir setengah jam Cia menunggu Flo di kelasnya.
Begitu Jordi dan Ifan berlalu, baru terlihat Flo muncul di kelasnya dengan senyum allay-nya seperti biasa. Namun kali ini dia tidak datang sendiri, nampak Vandra mengekor di belakangnya. Di kelas itu tinggal beberapa siswa, termasuk Aka yang sampai dengan saat ini belum ada niat beranjak meninggalkan kelas.
“Kemana aja, sih?” tanya Cia to the point dengan tampang penuh tanya.
“Sori Cia, gara–gara Si Vandra, nih,” ujar Flo malu–malu sambil mengerling manja ke arah Vandra yang garuk–garuk kepala salah tingkah.
“Kenapa Si Tengil ini? nyontek jawaban fisika kamu, trus ketahuan Bu Hanny, trus kalian di hukum bareng?” cerocos Cia asal nebak.
“Negatif mulu sih analisa kamu, Cia?” protes Flo pura–pura sewot.
“Trus apa’an?”
“Emmmhh ... aku ... sama Vandra jadian, Cia. Barusan Si Tengil ini nembak aku,” masih dengan nada malu–malu Flo menjelaskan ke Cia.
“Iya Cia ... sori bukan salah Flo, kok. Eh, tapi pacar aku ini panggil aku Si Tengil juga?” Vandra yang tersadar akhirnya ikutan bicara, tangan usilnya gemas mengacak rambut Florida.
“Naaaa ... ini nih bukti ketengilannya dia, Cia,” teriak Florida sambil mencoba menghindar dari keusilan Vandra.
“Sudah-sudah, intinya hari ini kalian jadian nih dan enak–enak pacaran padahal ada korban menderita butuh pertolongan di dalam sini.” Hahaha … Flo dan Vandra tertawa ngakak bersama.
“Salah sendiri nggak mau pulang di antar Jordi,” goda Florida yang tadi sempat melihat Jordi dan Ifan keluar dari kelas Cia. Sontak sepupunya itu melotot sambil bersiap menelannya mentah–mentah tanpa pakai air sekalipun.
“Iya–iya, Cia sayang, pulang yuk. Dan kali ini kamu harus bersedia ikut mobil Vandra, oke?” tak ada alasan bagi Cia untuk menolak. Saat ini dia hanya menginginkan bisa memejamkan mata dengan nyaman dan sepertinya mobil Vandra jadi alternatif yang oke daripada naik taksi.
Mereka bertiga keluar kelas bersama di ikuti pandangan seseorang yang sedari tadi mengikuti pembicaraan mereka diam-diam, meskipun matanya lurus menatap buku. Senyum tipis terbentuk di bibirnya. Akhir–akhir ini, diam–diam dia senang memperhatikan tingkah seorang Cia. Dalam satu kesempatan, gadis itu bisa nampak begitu kalem dan anggun, namun kemudian bisa berubah menjadi sosok yang ramah, konyol dan ceria. Senyum dan suara tawanya menjadi hiburan tersendiri yang menyenangkan. Percakapan terakhir yang dia dengar adalah seperti ini.
“Cia, kamu kok nggak kaget sih aku jadian sama Vandra?”
“Ngapain kaget? Aku sudah tahu.”
“Lhoh, kok bisa tahu?”
“Nanti di mobil aku ceritain, kalau aku sempat nggak tertidur, ya.”
Hahaha ... jawaban jujur dan simple, tapi bisa bikin keki orang yang bertanya. Dan Aka ikut tersenyum ketika mendengarnya tadi.
*****
Dingin AC mobil Vandra di tambah dengan kondisi jalanan yang padat merayap benar–benar menggoda Cia untuk segera memejamkan matanya. Apalagi sebelum mobil jalan tadi, dengan semangatnya Flo sudah menyodorkan puding manis, lanjut dengan obat dan air mineral supaya segera bermanfaat ke fungsi yang sebenarnya, yaitu mereparasi kondisi tubuh Cia. Dalam keadaan sakit begini Cia memang menjadi sangat istimewa. Bahkan sangking istimewanya, mama mempercayakan tetek bengek urusan obat yang harus di minum Cia secara tepat waktu kepada Florida. Dan atas mandat itulah, Flo benar–benar super perhatian dengan menu sekaligus jadwal makan dan jadwal minum obat Cia, 100% mirip tugas seorang artist manager. Benar sekali, seorang Mama Cia sangat tidak mempercayai putrinya untuk urusan seperti ini. Jika obat berada di tangan Cia, yang ada obat–obat itu nggak akan tersentuh sama sekali. Di tambah lagi sudah di pastikan akan terjadi pergeseran menu makan yang menjadi amburadul keluar dari catatan
Matahari menyapa pagi dengan keceriaan sinarnya. Seceria dan secerah hati para manusia yang penuh semangat. Menikmati dan mensyukuri hidup yang di punya saat ini.“Pagi, Mer... ” sapa Cia pada Merlin yang tumben pagi itu sudah duduk manis di bangku mereka dengan diam. Tepatnya bukan duduk manis, tapi duduk tenang penuh konsentrasi pada sebuah komik yang terbuka lebar di mejanya.“Hemh ... ” Merlin hanya menggeram pelan membalas sapaan teman sebangkunya itu. Selanjutnya dia kembali cuek, bahkan menoleh pun tidak.“Gini nih sedihnya punya teman comic addict. Buku baru di tangan, teman pasti di buang,” ceriwis Cia di pagi hari yang tetap saja tak mendapat tanggapan dari Merlin. Akhirnya, daripada di kacangin dapetnya kacang yang nggak bisa di makan, Cia melangkah keluar kelas.Niat awal Cia hendak menuju kelas Flo nyamperin sepupunya itu yang sekarang sedikit jarang bersama semenjak dia lengket dengan Vandra. Tapi belum sa
Jangan ragu untuk membuka jendela rumahmu di pagi hari, maka kamu akan melihat betapa indahnya dunia dan merasakan nikmatnya bersyukur karena masih bisa menarik nafas panjang sampai dengan hari ini ... (hahay, hanya sebuah nasehat dari ibu untukku di hari minggu pagi)*****Saat ini mereka berdua tengah duduk bersama di meja makan rumah Aka.“Beneran kamu nggak apa-apa makan siang cuma beginian?” tanya Aka sambil menyodorkan sandwich roti tawar yang sudah dia oles pakai selai strawberry di bagian dalam di tambah dengan taburan meises coklat di bagian atasnya ke arah Cia yang duduk di dekatnya dengan tatapan keheranan. Meskipun nampak ragu, gadis itu menerima roti yang di sodorkan Aka kepadanya.“Ya nggak apa-apa, emang kenapa? Khawatir aku nggak kenyang, ya?” Cia berucap polos menyuarakan isi hatinya. Dan seloroh simple itu berhasil menerbitkan senyum di bibir Aka. Meskipun cuma sekejap. Cowok itu tidak menjawab, meskipun
Atmosfer baru tercipta di dalam kelas. Sepertinya gundukan salju yang selama ini menebarkan hawa dingin dan mencekam (yaelahhh ... ) sedikit demi sedikit mulai mencair.Meskipun tidak serta merta menjadi seorang yang super duper ramah, Aka sudah mulai menjadi seorang yang “welcome” untuk orang lain terutama teman–teman sekelasnya. Mereka tak segan lagi untuk sekedar menyapa, bergerombol di bangkunya sekedar ngajak ngobrol dengan berbagai topik, bertanya seputar pelajaran, mengajaknya menghabiskan waktu istirahat dengan bermain basket atau sekedar jajan di kantin bareng–bareng dan pokok intinya adalah warga kelas tak enggan lagi mulai memperlakukan Aka sebagaimana teman mereka yang lain, yang bisa lepas leluasa tanpa sungkan dan segan seperti sebelumnya.Dan sekarang pun, ketika bersama teman–temannya Aka tampak lebih sering menampilkan senyum tawanya. Meskipun belum sampai terdengar suara tawa ngakaknya sebagaimana ciri khas cowok
Untuk kali ini Zona masih dengan sabar menunggu Aka melanjutkan kalimatnya. Dia tak berani memaksa seperti obrolan mereka sebelumnya tadi, di biarkannya Aka berfikir sejenak begitu melihat adanya sorot ragu yang terpancar jelas dari mata Aka.“Aku ... aku belum yakin dengan perasaanku, Kak,” akhirnya Aka berhasil menyelesaikan kalimatnya.“Maksudnya, kamu belum benar–benar sayang ke dia?” respon Zona cepat berusaha meyakinkan pengertiannya atas ungkapan Aka barusan.“Sayang, Kak. Aku sayang banget pada Cia, pengin selalu bisa lihat dia, ketemu, ngobrol dan memiliki senyumnya setiap hari setiap saat, tapi ... ” kalimat Aka kembali terpenggal penuh keraguan.“But?”“Tapi, mungkin aku masih sebatas mengaguminya kak, karena dia begitu memiliki banyak hal yang sangat berbeda dengan cewek lainnya, aku masih ngerasa ragu, apakah aku pantas untuknya?”“Kamu takut kehilangan dia
Jam dinding sudah nunjuk pukul 06.30. Zona sudah bersiap di meja makan. Hari ini dia nggak ada kuliah pagi, jadi bisa sedikit bersantai di rumah. Dan pagi ini dia menyiapkan menu sarapan berupa nasi goreng dengan telur mata sapi, semua sudah terhidang siap di meja makan.Biasanya jam segini Aka sudah siap dengan seragam sekolahnya dan duduk di meja makan menungguinya yang sedang mempersiapkan menu sarapan pagi. Ya, cowok itu hanya duduk sambil memperhatikan aksi memasak kakaknya, bukan karena Aka tidak mau membantu, tetapi Zona yang lumayan hobi masak itu sama sekali tidak mau di campuri urusannya ketika celemek sudah nempel di badannya dan dia sudah berdiri di depan kompor. Hihi ... jika sudah seperti itu Aka selalu merasa geli, dia seolah anak kelaparan yang sedang menunggui ibunya yang lagi memasak untuk menyiapkan menu makannya.Lima belas menit berlalu dan Aka belum menyusul Zona di meja makan. Hemhhh ... apakah gara–gara semalam Aka jadi susah tidur dan sek
BAB 12 AKHIRNYA...Pesan sebelum baca bab ini, janganlah kemakan kata judul “Akhirnya”, karena ini bukanlah benar–benar sebuah akhir, dan lagipula ini hanyalah sebuah judul. Selamat membaca …*****Cia sudah pulang di antar oleh Zona beberapa jam yang lalu. Dan meskipun sekarang jam udah nunjuk di angka sepuluh malam lewat, tapi sedikitpun Aka belum berhasil memejamkan matanya. Semakin terpejam semakin bayangan itu muncul. Saat dimana tadi Cia tiba–tiba memeluknya dengan erat, saat dimana dia membelai lembut wajah cantik gadis itu, saat dimana dia menciumnya dan Cia hanya terdiam, saat dimana dia melihat tatapan penuh makna di mata indah Cia yang menyuarakan kerinduan, kekhawatiran, sayang dan mungkin ... cinta. Semua terekam dengan lengkap dalam memori Aka.Ah, sungguhkah dia memiliki perasaan cinta untukku? Apakah bukan
Cia mengumbar senyum di depan ponselnya, sesekali jarinya mengetik balasan chat untuk Aka...."Aku lagi di rumah sendiri," tulis Cia menjawab tanya Aka di chat mereka."Gitu di apelin sama pacarnya nggak mau," goda Aka dalam tulisannya. Cia terkikik geli membacanya. Ingatannya melayang pada kejadian siang tadi sepulang mereka dari LESEHAN SAUNG GAUL.Flash back on beberapa jam yang lalu."Hari ini first weekend kita, kamu pengin di apelin nggak?" tanya Aka saat itu. Posisi taksi sudah berhenti di depan gerbang pagar rumah Cia, namun mereka masih menghabiskan waktu dengan ngobrol sejenak sebelum berpisah."Nggak usah, deh. Apelnya nanti weekend minggu depan aja," jawab Cia menolak dengan suara lembutnya."Yakin?" Aka kembali meyakinkan, untuk hari pertama mereka pacaran dia nggak mau mendapat cap sebagai pacar tak bertanggung jawab."Iya, yakin, kok," jawab Cia, senyum tak ketinggalan menghiasi bibirnya."