Selesai makan, Mama menelpon seseorang. Aku belum lega sebelum memberikan pelajaran berharga pada mertuaku. Dengan begitu, dia akan berpikir berkali-kali dan mengurungkan niat berurusan dengan hukum. “Perempuan kampung itu pasti lengah karena kelelahan. Kamu cari cara, apapun itu. Tapi jangan sampai masuk pekarangan rumah sakit karena di sana full CCTV.” Mama memberi instruksi sembari memperlihatkan foto mertuaku.“Kalau sampai kamu gagal, jangan libatkan kami. Ini resikomu karena bayarannya sangat mahal,” timpalku.“Beres, Bos.”Aku tersenyum puas melihat kepercaya dirinya. Untuk memastikannya berhasil, aku terjun lanjung ke lapangan. Tapi apa yang terjadi, aku malah jadi bulan-bulanan massa. Entah kenapa mertuaku bisa tahu kalau aku yang menyuruh pemotor itu ingin mencelakainya. “Jangan pukuli saya! Saya tidak bersalah,” pintaku. Bibir sudah berdarah, tapi tiada yang menolong karena aku tadi berlari ke tempat yang lebih sepi.“Lalu kalau kamu tidak salah, kenapa lari, hah?” benta
Sejak Cici dipindahkan ke ruangan yang sama dengan ibunya, dia sibuk mengoceh dan bermain-main sendiri. Aku senang melihatnya mulai ceria, tapi Alina belum mau merespon meskipun kudekatkan cucuku padanya. Aku harus sabar dengan prosesnya. Tiada bosan, berkali-kali kukecup kening putriku dan anak pertamanya.Aku berdiri saat mendengar suara ribut-ribut di luar. Terdengar suara menantu dan besanku yang memaksa mau masuk. Sikap mamanya Delon mulai berubah drastis. Tadi saat pertama berjumpa, dia masih berpura-pura bersikap baik, tapi sekarang mulai menampakkan sifat aslinya.“Maaf, Pak, Bu. Saya hanya menjalankan perintah. Tidak boleh menjenguk kecuali seizin Bu Rahimah dan dokter Rian Irwansyah. Silakan pergi sebelum saya bertindak tegas!” Aku menautkan alis dan mengingat-ingat apakah pernah menyuruh orang menjaga pintu agar suami dan mertua putriku tidak masuk. Seingatku memang tak ada. Bahkan tak kepikiran sampai sana.Aku mengintip dari balik kaca, ibu dan anak itu telah pergi setela
Setelah puas meluapkan tangisan, suamiku yang tak terbiasa menangis itu mengurai pelukan. Mungkin sesak di dadanya mulai berkurang. Lelaki yang telah membuatku punya sepasang buah hati itu memegang pergelangan tangan ini dan kami berjalan bersisian menuju kamar putri kami.“Bapak tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya kamu saat melihat kondisi Alina pertama kali secara langsung, Bu. Kamu memang istri yang tegar, sampai tidak langsung mengabarkannya pada kami. Bapak saat melihat fotonya saja sudah merasa sakit hati dan tak berdaya. Ini kaki Bapak sudah lemas, tak tega melihatnya nanti.” Suara lelaki yang sudah punya dua warna rambut itu terdengar lirih.“Ibu bukannya tegar, Pak. Hati ini lebih sakit sampai tak kepikiran kemana-mana. Tapi Ibu akan jauh lebih tegar setelah ada Bapak di sini. Kita akan merawat Alina dan Cici, Pak. Kalau mereka sakit-sakitan, bukan masa tua kita yang ada dalam pikiranku, tapi bagaimana nasib mereka setelah kita tiada.”Suamiku menahan langkah dan tersen
Tak terasa, sudah terdengar suara ngaji-ngaji dari mesjid di kejauhan sebagi pertanda waktu sholat subuh akan tiba. Raka dan bapaknya segera bergegas ke mushola rumah sakit, menunaikan kewajiban sekaligus meminta pertolongan lewat jalur langit. Sebesar apapun usaha yang dilakukan manusia, tetap saja itu hanya ikhtiar. Sedangkan kesembuhan itu terjadi atas izin Sang Pencipta. Aku menjaga cucuku dan membuatkan susu untuknya dan gantian sholat setelah suami dan anakku selesai. Dua rakaat yang sangat berat karena mata terus mengabur. Desakan cairan bening di sudut mata tiada henti menerobos.“Ya Ilahi Robbi. Jangankan anak, suami, cucu atau harta, bahkan nyawa yang dikandung badan bukan milik kami. Semuanya adalah titipan dan berhak diambil oleh-Mu kapan saja. Cepat atau lambat, setiap yang bernyawa akan mengalami kematian. Namun, jika boleh meminta, hamba mohon agar putri kesayangan yang Engkau titipkan kepada kamibisa sembuh.” Suaraku bergetar di sela tangisan, menadahkan tangan sambi
“Kamu jangan nangis, Alin. Tenangkan hatimu, Nak. Ibu, Bapak dan kakakmu ada di sini.”Aku memeluk putriku yang menangis ketakutan. Jarum infus yang menempel di pergelangan tangan sudah terlepas dan mengeluarkan darah. Raka berlari keluar memanggil-manggil perawat yang bertugas. Suamiku membantu menenangkan dengan mengusap-usap punggung putrinya, barulah Alina diam, bersandar di dada bidang bapaknya. Bolehkah aku iri, Pak? Putrimu lebih nyaman denganmu, padahal 9 bulan dia menghuni rahimku. Biarpun di sini bukan persaingan, tapi tetap saja hati ini tercubit dan bikin sesak di dada. Adakah salah yang pernah kuperbuat sampai putriku acuh pada ibunya ini?Dua orang perawat masuk. Salah satu membawa bubur nasi dan yang lainnya memeriksa jarum infus, lalu memasangnya lagi. Aku pamit pada suami untuk keluar mencari Raka, sementara cucuku sedang mengoceh sendirian.“Hamdan, kamu lihat kemana anak saya?”“Mas Raka membawa wanita tadi keluar, Bu. Apa perlu saya panggil?”“Tidak usah, Nak. b
“Kita keluar yuk, Bu. Cari udara segar. Sekalian bawa Cici juga untuk berjemur,” ujar Raka. Aku menganggukkan kepala. “Sekalian bilang sama bapakmu kalau kita akan pergi mengambil baju Ibu yang tertinggal dan juga pakaian Cici.”Entah kenapa, aku jadi sedikit kesal dengan keadaan ini. Tak tahu bagaiman cara meluapkannya. Aku berjalan mendahului dan disusul oleh Raka sambil menggendong Cici. Rumah sakit ini memiliki taman dan di sanalah kami duduk, menikmati udara pagi dan sinar mentari yang masih malu-malu.“Raka, kamu sudah datang? Cepat sekali.”Suara doter Rian membuatku tersenyum. Tak ingin terlihat sedih di hadapan orang lain. Aku meminta Cici dari pangkuan Raka agar dia bebas mengobrol dengan temannya itu.“Iya, alhamdulillah. Sudah sampai di sini sejak pukul 4 pagi tadi.”Keduanya berjabatan tangan. Mereka berjalan sedikit menjauh dan tak kudengar lagi obrolan mereka. Sepertinya pembicaraan mereka terlihat serius. Tak berapa lama, Raka kembali dengan senyuman semringah.“Ayo
“Ibu kenapa? Sakit kepala?” cecar putraku dengan raut cemas. Dia mendekat dan duduk di sampingku. Aku mengusap wajah sesaat dan menghembuskan napas dengan kasar. Raka baru saja mengikat Delon dengan kemeja tangan panjang. Mulut menantuku itu juga diikat dengan baju yang lain. “Pikiran Ibu yang pusing. Apa maksud Delon tadi, Nak? Delon pernah pacaran dengan istrimu?”“Gak usah dipikirin. Namanya juga lagi mabuk, Bu. Dia mungkin mengigau,” balas Raka. Dia terlihat biasa saja dengan ucapan adik iparnya.“Tapi Delon tadi lancar bicaranya. Rasanya dia tak mungkin berbohong.” Sungguh perkataan anak orang kaya itu barusan mengganjal pikiranku. Kalau awalnya Sri kenal dengan Delon atau punya hubungan khusus, kenapa dia tak pernah cerita? Kenapa menantuku itu membiarkan adik iparnya masuk ke kandang buaya?Aku menghela napas panjang. Memohon ampun pada Allah karena berburuk sangka pada perempuan yang menjadi istri dari anakku itu. Aku tak ingin menyakiti hati Raka dengan mencurigai istrinya.
Aku bagai terlempar ke masa kecil putriku, dimana bersorak girang dan bertepuk tangan saat Alina berhasil mengucapkan kata pertamanya. Ibu, kata itu yang dia ucapkan dengan baik pertama kalinya. Sekarang, aku melebihi bahagianya dulu saat putriku yang sudah dewasa dan bahkan memiliki anak mau memanggilku lagi. Rasanya tak ingin melepaskan pelukan pada tubuh ringkih itu dan mengecup keningnya berkali-kali. Aku ingin mengungkapkan kalau rasa sayangku padanya tak pernah berubah. Anak lelaki dan juga putriku sama saja. Tidak ada yang diistimewakan. Hanya saja sudah jadi kebiasaan kalau istri ikut suami. Jadi, kebersamaam dan komunikasi jelas saja berbeda dengan yang tinggal berdekatan.Tapi ini tak akan lama lagi, Nak. kita akan berkumpul setelah kondisimu memungkinkan naik bus satu malam. Kamu akan lanjut pengobatan di rumah sakit terdekat dari kampung kita, Nak.“Sayang, terima kasih telah mau memanggil ibu. Ini seperti kado terindah sepanjang hidup. Ibu harap, jangan pernah diamkan Ib