*Hari ini, Cici berulang tahun. Aku berniat merayakan hari kelahiran putriku bersama Papa dan Mama. Hari kelahiran yang pertama kali kurayakan karena selama ini kami tidak tinggal bersama. Aku ingin mengukir momen indah di memori anak gadisku tentang ayahnya ini. Jika kelak dia dewasa, dia tetap mengingatku sebagai sosok ayah yang baik. Ayah kandung yang pantas dibanggakan dan diceritakan pada teman-temannya.“Aku jemput Cici dulu, ya, Pa, Ma. Semoga saja mereka mengizinkanku membawa Cici.”“Kami ikut.” Papa dan Mama kompak menjawab.Aku menautkan alis dan melihat keseriusan di wajah keduanya. “Beneran mau ikut? Apa Papa dan Mama tak sungkan nantinya ketemu sama Bu Rahimah?” cecarku.“Jadi Bu Rahimah tinggal di sana juga?” tanya Papa.Aku mengangguk. “Semenjak Alina hamil besar dan kini sudah melahirkan anak keduanya, mantan mertuaku tinggal di sana, Pa. Mungkin mau memberikan perhatian lebih agar Alina tak merasa diabaikan oleh ibunya. Belajar dari pengalaman saat mau melahirkan Cic
Malam harinya, kami merayakan ulang tahun Cici di restoran yang sudah kupesan sebelumnya. Hanya dihadiri kami saja tanpa ada tambahan siapa-siapa. Cici terlihat bahagia dan tak pernah lepas senyumannya ketika beberapa hadiah dia dapatkan.Seperti janjiku pada Rian, aku akan mengantar Cici pulang sebelum jam yang ditentukan. Walaupun aku adalah ayah kandungnya, tapi tetap harus menghormati peraturan yang dibuat oleh Alina dan suaminya. Biar bagaimana pun, aku tak banyak berkontribusi terhadap anak ini. Mereka lah yang merawat Cici dari kecil hingga sebesar ini.Aku membantu membawakan hadiah-hadiah untuk Cici dan meletakkannya di dekat pintu. Putriku terdengar berteriak memanggil bunda dan neneknya untuk menceritakan tentang hadiah-hadiah yang dia dapatkan.“Wah, kamu antar lebih cepat rupanya,” ujar Rian, menyambutku di teras rumahnya.“Iya, aku takutlah nanti gak diizinin ketemu sama putriku sendiri.” Aku terkekeh dan disambut tawa oleh Rian. “Aku langsung balik kalau begitu, ya, Ri
Dua minggu kemudian, Mama memintaku untuk datang ke sebuah restoran yang berada di kota ini. Seperti ucapan Mama sebelumnya, dia ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya sendiri. Namun, aku heran kenapa Mama malah mengajak ketemuan di sini dan hanya datang sendirian tanpa ditemani Papa seperti biasanya? Padahal, kami beda kota. Apa Mama bawa calon menantunya sendiri ke sini? Atau memang orang sini? Entahlah. Mama kadang tak bisa ditebak. Papa sendiri yang jadi teman tidurnya selama ini tak bisa memahami pola pikir Mama.Ah, banyaknya pertanyaan bersarang dalam benakku tentang wanita yang memikat hati Mama. Daripada penasaran, lebih baik nanti saja kulihat siapa wanita itu. Aku memarkirkan kenderaan roda empatku di depan restoran dan langsung masuk. Dari kejauhan, kulihat Mama sedang mengobrol dengan seorang perempuan berjilbab panjang. Posisi wanita itu membelakangiku dan Mama menghadap ke arah pintu masuk. Begitu mata kami bertemu, Mama melambaikan tangan agar aku datang ke sana.
Setelah mengantar Delima pulang, aku menyusul Mama ke hotel langganan setiap datang ke sini. Benar saja dugaanku, Mama sudah di hotel dan tidak pergi kemana-mana.“Mama mau pulang sekarang? Katanya mau nginap barang sehari dua hari,” tuturku. Kulihat Mama sudah mengemasi barang-barangnya.“Buat apa Mama di sini, kamu hanya bikin kesal saja. Punya satu anak laki-laki tapi tak berguna. Mama sudah tua, tapi kamu masih belum kepikiran untuk kasih menantu.”Aku tersenyum tipis dan menyentuh lengan Mama. Kutahu, itulah kegundahan Mama selama ini. Takut jika ajalnya duluan menjemput, sementara aku masih sendiri. Mama terkesan memaksa untuk kebahagiaan pribadi, tapi sebenarnya cemas dengan nasibku kelak di masa depan.“Aku bukan tak mau menikah, Ma. Namun, memang dasarnya belum ada yang mau.” Aku beralasan.“Mulai sekarang, jangan sok jual mahal lagi, Delon. Umurmu juga makin tua. Kamu itu dapat istri saja sudah syukur. Tak usah berharap dapat gadis yang cantik dan tanpa ada cela,” cetus Mama
Niat hati memberikan kejutan, tapi akulah yang harus terkejut setengah mati saat melihat kondisi putriku yang mengenaskan di rumah mewah suaminya.Sejak Alina menikah, terhitung aku datang ke rumah suaminya. Lima bulan lalu, Alina mengabarkan kalau cucu pertamaku sudah lahir. Tapi sayangnya aku tak bisa langsung menjenguk, meskipun rasa rindu itu begitu menyiksa. Sesekali kami bertukar kabar melalui telpon. Itupun tak bisa lama karena aku harus membantu mengurus anak dari Raka dan menantuku, Sri. Cucu yang kunantikan sejak tiga tahun terpaksa lahir prematur karea suatu hal. Untung saja menantu dan cucuku selamat dan kini sudah sehat. Namun, tiga bulan terakhir, aku tak pernah menelpon lagi dengan Alina. Apa dia marah karena aku tak langsung menjenguknya?Setelah perjalanan sekitar 12 jam, aku turun tepat di depan rumah menantuku yang mewah. Aku memencet bel yang terletak di sisi pagar. Lumayan lama hingga seseorang datang membukakan pintu. Seorang perempuan cantik, montok dan mengenak
Aku juga punya menantu dan memperlakukannya bagaikan putriku. Berharap kalau Alina juga mendapatkan perlakuan yang baik di rumah orang. Namun, kenyataanya bertolak belakang. Putri kesayanganku diperlakukan seperti bukan manusia. Entah apa yang ada dalam pikiran Delon sampai membuat istrinya hampir seperti tengkorak bernyawa. Jika aku terlambat datang berkunjung, mungkin Alina akan perlahan meregang nyawa.Jika memang Delon tak menginginkan putriku lagi, kenapa harus dis*ksa begini? Apa dia lupa kalau putriku masih punya orang tua lengkap dan juga saudara yang siap menerima Alina kembali? Selama aku masih hidup dan bisa berusaha, anak bukanlah beban bagiku. Dia menikah karena proses kehidupan, tapi tetap saja Alina putriku. Tak ada yang berubah.Aku tak melepaskan pandangan dari perempuan yang telah memberiku satu cucu. Kentara sekali kalau putriku sangat kelaparan. Aku mencuci tangannya dengan sebaskom air karena kini dia tak mau lagi kusuapi. Dia makan kue tanpa jeda hingga sesekali
Alina kududukkan di sebuah kursi kayu yang kuambil dari dapur. Tak ada rasa malu putriku lagi saat semua pakaiannya kulepas. Hatiku semakin terluka ketika bisa melihat dengan jelas tulang rusuknya yang tercetak dibalut kulit. Aku harus cepat mengakhiri smeua ini. Dadaku semakin sesak melihat kondisi fisik dan psikisnya yang tidak baik-baik saja.Aku melihat gunting tergantung di dekat sabun cuci cair dan langsung kupotong pendek rambut Alina. Ini cara paling mudah untuk menghilangkan kotoran yang sudah mengering, lalu menuangkan sampo ke rambutnya agar bersih. Dengan hati-hati aku menyabuni seluruh tubuh putriku, takut kalau dia kesakitan karena ada beberapa luka. Mungkin karena terlalu lama tak tukar posisi duduk atau tidur.Aku keluar mengambil sikat gigi baru dari tas yang selalu dibawa jika bepergian. Aku tak rela jika Alina memakai sikat gigi bekas suaminya dan perempuan itu. Sekalian juga handuk kubawa agar dia tak kedinginan.“Buka mulutnya, Sayang!” titahku.Alina menurut, t
“Oh iya, saya harus membawa Cici.”Aku baru teringat akan cucuku. Ya Allah, hari ini begitu melelahkan. Tapi aku harus segera membawa anak dan cucuku dari rumah ini agar lebih aman. Jika rumah suami adalah tempat paling aman dan nyaman bagi seorang istri dan anak, itu tak berlaku buat putriku. Mereka harus kuselamatkan dari manusia-manusia terkut*uk itu. Apalagi kulihat Maya tidaklah suka pada bayinya Alina. Ya, jelas saja karena Cici bukan darah dagingnya. Dia hanya mneginginkan lelaki yang sudah beristri itu.“Gak usah dibawa segala, Jeng,” cegah besanku. “Kan ada Maya, babysitter berpengalaman. Selama ini dia bisa menjaga Cici dengan baik kok.”“Ya, dia baby sitter berpengalaman dalam merebut suami orang. Saya tak mau ambil resiko kalau cucuku akan celaka di tangannya,” tegasku.Aku bergegas ke kamar dan menggendong bayi menggemaskan itu. Baru sekarang aku bisa menggendongnya. Tak terasa air mataku meluncur lagi. Tapi, aku sedikit heran, kenapa Cici tidur terus? Sejak aku sampai ke