Alina kududukkan di sebuah kursi kayu yang kuambil dari dapur. Tak ada rasa malu putriku lagi saat semua pakaiannya kulepas. Hatiku semakin terluka ketika bisa melihat dengan jelas tulang rusuknya yang tercetak dibalut kulit. Aku harus cepat mengakhiri smeua ini. Dadaku semakin sesak melihat kondisi fisik dan psikisnya yang tidak baik-baik saja.
Aku melihat gunting tergantung di dekat sabun cuci cair dan langsung kupotong pendek rambut Alina. Ini cara paling mudah untuk menghilangkan kotoran yang sudah mengering, lalu menuangkan sampo ke rambutnya agar bersih. Dengan hati-hati aku menyabuni seluruh tubuh putriku, takut kalau dia kesakitan karena ada beberapa luka. Mungkin karena terlalu lama tak tukar posisi duduk atau tidur.
Aku keluar mengambil sikat gigi baru dari tas yang selalu dibawa jika bepergian. Aku tak rela jika Alina memakai sikat gigi bekas suaminya dan perempuan itu. Sekalian juga handuk kubawa agar dia tak kedinginan.
“Buka mulutnya, Sayang!” titahku.
Alina menurut, tapi pandangannya tetap kosong. Perlahan aku menggosok giginya yang sudah kuning hingga berkali-kali. Putriku yang pembersih tak bisa lagi membersihkan dirinya sendiri. Kuhanduki dia sampai kering dan mebalutkan benda persegi panjang itu pada tubuh ringkihnya. Giliranku mandi dan mengganti baju karena kotoran lengket saat tadi memeluk tubuh Alina.
“Kita keluar, ya, Sayang.”
Aku terus bicara meskipun Alina tak menanggapi. Kupapah dia keluar kamar mandi dan mendudukkannya di atas sofa. Aku berdiri untuk mengambil pakaian putriku, tapi Maya menghadang di depan pintu kamar.
“Saya cuma mau mengambil baju Alina. Minggir kamu!”
“Tidak ada di sini pakaiannya! Di lemari hanya ada bajuku dan Mas Delon. Cari saja di kamar anaknya,” balasnya tanpa merasa bersalah.
Aku lekas ke kamar sebelah. Untung saja cucuku belum bangun. kupandangi sekilas bayi gembul itu. Pipinya tembem, lengan dan pahanya gendut. Sangat bertolak belakang dengan keadaan ibunya yang kurus kering. Tapi setidaknya aku lega kalau cucuku diperlakukan dengan baik.
Maafkan nenek, ya. Belum bisa menggendongmu karena sibuk mengurus ibumu, Ci.
Kubuka lemari dua pintu yang tingginya sebatas bahu. Tak ada baju yang layak. Hanya daster yang sudah sobek-sobek. Baunya juga tak enak. Masih lebih baik menggunakan baju yang kubawa. Dengan buru-buru aku membuka tas dan mengambil benda-benda yang kuperlukan.
Dulunya badan Alina berisi. Dia sedikit lebih tinggi dariku. Sering kali dia memberikan bajunya yang tak muat lagi padaku, tapi kini pakaian ibunya kedodoran di tubuh putriku itu. Stelan baju tidurku harus diikat pakai karet di celananya agar tidak kedodoran. Tak lupa jilbab instan untuk menutupi rambut pendek dan dadanya yang kurus.
“Bawa sajalah anakmu itu pulang, Nenek tua! Di sini bikin susah aja. Rumah bagus kayak gini jadi bau gara-gara dia.”
Aku berdiri, menatap perempuan muda itu dengan tajam.
“Di rumah ini, putriku adalah nyonya, sedangkan kamu hanya pengasuh cucuku. Jangan coba mengusir kami dari rumah ini!”
“Pengasuh? Hahaha, itu dulu. Sekarang akulah nyonya di rumah ini. Kami sudah menikah siri.”
Aku mengepalkan tangan, mengatur napas yang memburu. Jika secara tenaga, pasti dia akan lebih lincah dan kuat dariku. Aku tak mau berkahir penuh luka di rumah ini. Zaman sekarang, banyak orang yang tidak punya nurani dan mudah gelap mata menghilangkan nyawa seseorang.
“Nikah siri itu tidak tercatat dalam hukum negara. Bod*h sekali jika kamu rela jadi yang kedua. Jika nanti ada anakmu, dia tidak bisa mendapatkan haknya seperti cucuku.”
“Mas Delon akan menceraikan anakmu itu, baru menikahiku secara resmi!” cetusnya. Wajah perempuan penggod* itu merah padam, lalu masuk kamar dan membanting pintu dengan kencang. Aku tahu, Delon tak akan semudah itu menceraikan Alina. Reputasi keluarga jadi nomor satu bagi menantuku itu.
Aku keluar untuk mencari angkutan yang bisa membawaku dan Alina ke rumah sakit. Baru saja aku sampai teras rumah, sebuah mobil memasuki halaman. Delon keluar dari mobil bersama dengan mamanya. Rupanya anak itu menjemput pembelanya.
“Eh, Jeng. Kapan datang? Maaf tak bisa menyambut karena Jeng gak kasih tahu sih.”
Aku tersenyum samar. Besanku masih bisa-bisanya bersandiwara seolah semuanya baik-baik saja. Dia bersikap seolah aku belum tahu kondisi anakku yang kelaparan dan tidak perlakukan layak di rumah mewah ini.
“Mari masuk, Jeng. Kita bicarakan dengan baik-baik saja.”
“Apa maksudmu dibicarakan baik-baik saja. Lihat kondisi putriku!” Aku menepis tangannya dan menunjuk Alina yang tidak terganggu sama sekali dengan keributan ini. Dia tetap fokus menatap meja. “Putriku seperti ini karena ulah anakmu dan selingkuhannya. Bagaimana bisa kamu membiarkan anakmu itu melakukan hal keji pada Alina-ku? Lihat sja nanti, anak kebangganmu itu akan mendekam di penjara!”
“Duh duh duh, pasti Jeng sudah salah paham ini. Saya tak pernah dukung Delon untuk berbuat jahat pada Alina. Saya mohon jangan sampai penjarakan Delon!” pintanya dengan wajah memelas.
“Saya tak butuh pembelaan apa-apa. Sekarang saya mau Alina dibawa ke rumah sakit paling bagus di kota ini!”
“Baiklah, Jeng. Pokoknya dinginkan dulu hatimu, kita akan bicarakan yang terbaik buat masa depan anak-anak kita.” Dia mengusap bahuku. “Ayo sana, Delon! Angkat istrimu!” titahnya.
Untuk saat ini, aku harus membiarkan Delon menggendong putriku. Terpaksa, karena saat ini aku butuh tumpangan menuju rumah sakit. Alina harus segera mendapatkan perawatan selain makanan bergizi.
Bersabarlah, Alina-ku. Kamu akan kembali seperti dulu, Nak. Alina yang cantik dan ceria akan kembali ke dalam pelukanku.
“Oh iya, saya harus membawa Cici.”Aku baru teringat akan cucuku. Ya Allah, hari ini begitu melelahkan. Tapi aku harus segera membawa anak dan cucuku dari rumah ini agar lebih aman. Jika rumah suami adalah tempat paling aman dan nyaman bagi seorang istri dan anak, itu tak berlaku buat putriku. Mereka harus kuselamatkan dari manusia-manusia terkut*uk itu. Apalagi kulihat Maya tidaklah suka pada bayinya Alina. Ya, jelas saja karena Cici bukan darah dagingnya. Dia hanya mneginginkan lelaki yang sudah beristri itu.“Gak usah dibawa segala, Jeng,” cegah besanku. “Kan ada Maya, babysitter berpengalaman. Selama ini dia bisa menjaga Cici dengan baik kok.”“Ya, dia baby sitter berpengalaman dalam merebut suami orang. Saya tak mau ambil resiko kalau cucuku akan celaka di tangannya,” tegasku.Aku bergegas ke kamar dan menggendong bayi menggemaskan itu. Baru sekarang aku bisa menggendongnya. Tak terasa air mataku meluncur lagi. Tapi, aku sedikit heran, kenapa Cici tidur terus? Sejak aku sampai ke
Sesaat setelah dokter Rian memasuki ruangan, aku tersadar dengan cucuku yang terus saja tidur. Ini sudah tak normal lagi. Masa dia tak terganggu sejak tadi pagi. Napasnya teratur dan badannya tidak panas. Tapi kenapa tidur terus?Aku menanyakan pada perawat, ke ruangan mana harus memeriksakan cucuku. Dengan senang hati dia mengantarku menemui dokter spesialis anak.“Kenapa cucu saya tidur terus, Dok?” cecarku ketika dokter perempuan itu selesai memeriksa cucuku. Dia menghembuskan napas berat dan memintaku duduk.“Saya menemukan campuran obat tidur dalam susu yang tertumpah di bajunya. Bayi sangat wajar jika sering menangis, Bu. Itu caranya berkomunikasi dengan orang dewasa jika dia lapar, ngompol atau buang air besar.”Aku menekan dada dan memelotot. Tak menyangka kalau baby sitter itu membrikan campuran obat tidur buat cucuku. Keterlaluan sekali. Lalu apa kerjanya di rumah itu? “Menangis juga bisa menandakan kalau dia sedang tak tak enak badan atau tidak nyaman. Sangat tidak dianju
Setelah beberapa saat, ponselku kembali berdering. Raka menelpon lagi. Kalau tidak diangkat, takutnya mereka semakin cemas dengan berbagai dugaan buruk. Aku membayar makanan dan bergegas mencari tempat yang agak sepi agar tidak mengundang perhatian orang banyak. “Bu, apa maksud foto itu? Siapa dia?” cecar Raka. “Kamu tak mengenali adikmu sendiri, Raka?” sergahku.“Mirip Alina, tapi itu pakai aplikasi edit wajah, kan, Bu? Gak mungkin adikku kurus begitu? Ibu dan Alina hanya mengerjai kami, kan?”Ah, andai saja Alina benar-benar hanya mengerjaiku, tentu aku tak perlu berada di rumah sakit ini. Tapi kenyataannya, dia memang sangat kurus sekarang. Mungkin jika aku berada di posisi Raka, dikirimi foto Alina seperti ini, diri ini tak akan percaya begitu saja. Kalau bukan mata tua ini melihat tubuh tak berdaya itu dengan jelas dan langsung, mungkin aku juga akan mengira foto kurus putriku hanyalah bohong-bohongan. S“Bu, tolong hidupkan video call-nya. Raka yakin Alina sedang menahan tawa
Aku tersenyum menyeringai melihat Delon berlari tunggang langgang dikejar 4 laki-laki itu. Mungkin detak jantungnya sekarang berpacu sangat cepat saking takutnya. Itu belum sebanding dengan ketakutanku karena hampir kehilangan putri kesayanganku. Aku mempercepat langkah dan langsung masuk ke dalam rumah sakit.“Bu Rahimah? Darimana saja? Saya cariin dari tadi tak nampak.”Dokter Rian menghampiriku. Wajahnya yang bersih menyejukkan hati. Andai aku masih punya anak perempuan lajang, lelaki seperti ini yang kuharapkan jadi jodohnya.“Saya baru makan, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?”“Jangan bersikap formal begitu, Bu. Panggil saja saya Rian, tanpa embel-embel dokter. Saya seusia Raka. Ibu bisa menganggap saya seperti anak sendiri.”“Kamu baik sekali, Nak. Orang tuamu pasti bangga memiliki anak sepertimu.”Rian tertawa sekilas. “Saya baik berkali-kali kok, Bu, bukan cuma sekali baiknya.”Sepertinya dia berusaha menghiburku. Aku tersenyum tipis, menghargai usahanya untuk membuatku terhib
Seperti disengat aliran listik tegangan tinggi, bibirku bergetar disertai detak jantung bagai irama pacuan kuda. Aku ingin menghilang dari rumah ini dalam satu kedipan mata untuk menghindari tatapan menghujam perempuan sedikit lebih tua dari mamaku. Lidahku terasa keluh, tak sanggup membayangkan nasibku ke depannya. Di hadapanku sekarang ada Bu Rahimah yang tak lain adalah mertuaku. Dan apesnya, aku tak ada persiapan untuk menyambut kedatangannya dengan sejuta alasan yang masuk akal. Aku ingin memaki Maya yang sembarangan memasukkan orang yang tak dikenalnya ke rumah ini. Wanita cantik itu telah menyeretku ke dalam bahaya. Setelah berbagai alasan dan melibatkan Mama untuk meredakan emosi mertua, tetap saja aku tak berdaya dengan ancaman ibunya Alina. Dengan terpaksa, aku mengusir penghibur hati itu dari rumah ini karena desakan mertuaku. Kuharap Maya mengerti posisiku yang bagai buah simalakama. Setelah urusan ini selesai, aku akan membujuknya dengan mengajak belanja sepuas hati. Pas
Selesai makan, Mama menelpon seseorang. Aku belum lega sebelum memberikan pelajaran berharga pada mertuaku. Dengan begitu, dia akan berpikir berkali-kali dan mengurungkan niat berurusan dengan hukum. “Perempuan kampung itu pasti lengah karena kelelahan. Kamu cari cara, apapun itu. Tapi jangan sampai masuk pekarangan rumah sakit karena di sana full CCTV.” Mama memberi instruksi sembari memperlihatkan foto mertuaku.“Kalau sampai kamu gagal, jangan libatkan kami. Ini resikomu karena bayarannya sangat mahal,” timpalku.“Beres, Bos.”Aku tersenyum puas melihat kepercaya dirinya. Untuk memastikannya berhasil, aku terjun lanjung ke lapangan. Tapi apa yang terjadi, aku malah jadi bulan-bulanan massa. Entah kenapa mertuaku bisa tahu kalau aku yang menyuruh pemotor itu ingin mencelakainya. “Jangan pukuli saya! Saya tidak bersalah,” pintaku. Bibir sudah berdarah, tapi tiada yang menolong karena aku tadi berlari ke tempat yang lebih sepi.“Lalu kalau kamu tidak salah, kenapa lari, hah?” benta
Sejak Cici dipindahkan ke ruangan yang sama dengan ibunya, dia sibuk mengoceh dan bermain-main sendiri. Aku senang melihatnya mulai ceria, tapi Alina belum mau merespon meskipun kudekatkan cucuku padanya. Aku harus sabar dengan prosesnya. Tiada bosan, berkali-kali kukecup kening putriku dan anak pertamanya.Aku berdiri saat mendengar suara ribut-ribut di luar. Terdengar suara menantu dan besanku yang memaksa mau masuk. Sikap mamanya Delon mulai berubah drastis. Tadi saat pertama berjumpa, dia masih berpura-pura bersikap baik, tapi sekarang mulai menampakkan sifat aslinya.“Maaf, Pak, Bu. Saya hanya menjalankan perintah. Tidak boleh menjenguk kecuali seizin Bu Rahimah dan dokter Rian Irwansyah. Silakan pergi sebelum saya bertindak tegas!” Aku menautkan alis dan mengingat-ingat apakah pernah menyuruh orang menjaga pintu agar suami dan mertua putriku tidak masuk. Seingatku memang tak ada. Bahkan tak kepikiran sampai sana.Aku mengintip dari balik kaca, ibu dan anak itu telah pergi setela
Setelah puas meluapkan tangisan, suamiku yang tak terbiasa menangis itu mengurai pelukan. Mungkin sesak di dadanya mulai berkurang. Lelaki yang telah membuatku punya sepasang buah hati itu memegang pergelangan tangan ini dan kami berjalan bersisian menuju kamar putri kami.“Bapak tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya kamu saat melihat kondisi Alina pertama kali secara langsung, Bu. Kamu memang istri yang tegar, sampai tidak langsung mengabarkannya pada kami. Bapak saat melihat fotonya saja sudah merasa sakit hati dan tak berdaya. Ini kaki Bapak sudah lemas, tak tega melihatnya nanti.” Suara lelaki yang sudah punya dua warna rambut itu terdengar lirih.“Ibu bukannya tegar, Pak. Hati ini lebih sakit sampai tak kepikiran kemana-mana. Tapi Ibu akan jauh lebih tegar setelah ada Bapak di sini. Kita akan merawat Alina dan Cici, Pak. Kalau mereka sakit-sakitan, bukan masa tua kita yang ada dalam pikiranku, tapi bagaimana nasib mereka setelah kita tiada.”Suamiku menahan langkah dan tersen