“Oh iya, saya harus membawa Cici.”
Aku baru teringat akan cucuku. Ya Allah, hari ini begitu melelahkan. Tapi aku harus segera membawa anak dan cucuku dari rumah ini agar lebih aman. Jika rumah suami adalah tempat paling aman dan nyaman bagi seorang istri dan anak, itu tak berlaku buat putriku. Mereka harus kuselamatkan dari manusia-manusia terkut*uk itu. Apalagi kulihat Maya tidaklah suka pada bayinya Alina. Ya, jelas saja karena Cici bukan darah dagingnya. Dia hanya mneginginkan lelaki yang sudah beristri itu.
“Gak usah dibawa segala, Jeng,” cegah besanku. “Kan ada Maya, babysitter berpengalaman. Selama ini dia bisa menjaga Cici dengan baik kok.”
“Ya, dia baby sitter berpengalaman dalam merebut suami orang. Saya tak mau ambil resiko kalau cucuku akan celaka di tangannya,” tegasku.
Aku bergegas ke kamar dan menggendong bayi menggemaskan itu. Baru sekarang aku bisa menggendongnya. Tak terasa air mataku meluncur lagi. Tapi, aku sedikit heran, kenapa Cici tidur terus? Sejak aku sampai ke rumah ini tadi pagi dan segala keributan yang terjadi, dia tak terganggu sama sekali. Biasanya bayi baru lahir yang tidur terus. Umur lima bulan harusnya lagi aktif-aktifnya untuk telungkup dan mengoceh. Jamn tidurnya juga berkurang dibanding dia baru lahir. Ah, mungkin pola tidur bayi ini berbeda. Aku menepis pikiran buruk.
Kulihat Maya berdiri di depan pintu kamar yang harusnya milik putriku dan suaminya. Dia bersandar ke sisi pintu, tersenyum menyeriangai ke arahku. Dia membuat gerakan mengibas-ngibaskan tangan dengan pelan tanpa dilihat oleh Delon dan mamanya.
Jangan merasa menang dulu, Maya. Aku membawa putri dan cucuku dari sini untuk bisa kembali lagi dalam keadaan yang lebih baik.
“Delon, kalau memang perempuan ini hanya baby sitter cucuku, mulai sekarang kamu tidak perlu lagi jasanya. Pecat dia sekarang karena saya sendiri yang akan menjaga Cici,” tegasku.
Besanku meneguk ludah, terlihat tak nyaman. Delon yang sedang berdiri menggendong Alina juga tampak gelisah.
“Saya hanya berusaha percaya kalau kalian tak ada hubungan selain majikan dan baby sitter. Buktikan sekarang dengan mengusir perempuan ini, Delon! Tapi kalau kamu tidak mau, berarti sudah jelas kalau selama ini menantu laki-laki yang kubanggakan pada semua orang di kampung sana telah mengkhianati putriku.”
Delon tersenyum hambar, lalu menarik napas beberapa kali. Ah, sebenarnya aku tak perlu pembuktian Delon yang jelas-jelas tadi begitu mesra dengan pengasuh tak bermor*l itu. Tapi setidaknya Maya bisa diusir secara tak terhormat dari rumah ini, di hadapanku.
“Ma-maya! Kemasi barangmu dan pergi dari rumah ini sekarang!” Delon terbata dan bergetar mengucapkannya.
“Yang tegas, Delon!” seruku.
Menantuku mengulangi ucapannya sekali lagi dengan tegas. Sekarang giliran baby sitter itu yang pucat pasi. Senyumannya yang angkuh kini terhempas ke dalam jurang ketakutan.
Dengan gerakan cepat dia masuk kamar, lalu keluar dengan mata berlinang. Perempuan itu melewati kami semua tanpa sepatah kata pun.
“Ayo buruan berangkat!”
Aku berjalan duluan dan membukakan pintu mobil agar Delon memasukkan Alina terlebih dahulu. Bu Ambar duduk di samping kemudi dan kuberikan cucu kami padanya karena aku harus menjaga Alina di belakang. Aku takut kalau tubuh lemahnya terjatuh karena tak bisa duduk menyeimbangkan laju dan gerakan mobil nantinya.
“Delon, kita ini harus ke rumah sakit. Jangan mencoba membawa kami ke tempat lain dan merencanakn hal buruk. Sejak sampai ke rumahmu, saya belum menelpon ke kampung. Jika sampai siang tak ada kabar, mereka akan datang membawa polisi,” ancamku.
“I-iya, Bu. Delon mau memperbaiki semuanya. Delon tak akan macam-macam lagi,” pintanya. Halah, itu semua hanya omong kosong. Bagiku semua sudah terlambat karena yang terjadi sekarang tidak pantas dimaafkan. Apalagi kalau putriku tak bisa disembuhkan. Ya Allah, aku tak bisa membayangkannya.
Sepanjang perjalanan, aku terus melihat sekeliling karena tidak begitu tahu tentang kota ini. Aku harus berhati-hati dan teriak jika mobil melaju melewati jalanan sepi. Tapi untung saja Delon terus menyetir melwati jalanan yang ramai hingga berhenti di depan sebuah rumah sakit.
“Tolong istri saya, Sus!”
Delon berteriak kepada perempuan berseragam yang sedang mendorong kursi roda. Dengan sigap perawat itu datang. Ayah dari cucuku itu mengangkat Alina ke kursi roda dan mendorongnya menuju ruangan yang ditunjuk sang perawat. Delon bersikap seperti suami siaga yang menyangi istrinya. Dramanya lumayan juga untuk meraih simpati orang. Mungkin tiada yang akan percaya kalau dia sendirilah penyebab istrinya seperti itu.
Bu Ambar memberikan Cici padaku dengan alasan mau mengurus administrasi. Dia menarik tangan putranya menjauh dan kulihat mereka seperti berdebat. Aku menghampiri dokter yang berjalan menuju ruangan dimana putriku berada.
“Tolong sembuhkan anak saya, Dok. Anak saya ditemukan dalam keadaan mengenaskan di rumah suaminya. Buat juga bukti-bukti kalau terjadi kekerasan padanya. Saya mohon, Dok!” pintaku.
“Bu Rahimah? Siapa yang sakit? Kenapa Ibu bisa di sini?”
Aku mengangkat kepala untuk bisa melihat dengan jelas lelaki berjas putih itu. Dia masih muda, tapi bagaimana bisa mengenalku. Aku berusaha mengingat-ingat, tapi tak menemukan kepingan ingatan tentangnya.
“Siapa kamu, Nak? Apa kita saling kenal?”
Seingatku tak punya keponakan dekat maupun jauh yang berprofesi sebagai dokter. Hanya karena Alina yang membuatku punya kerabat di kota ini.
“Saya Rian, temannya Raka saat dulu sekolah di Sidimpuan. Kita pernah bertemu saat Ibu berkunjung ke kosan kami. Tapi mungkin Ibu sudah lupa,” jelasnya. Aku tahu Raka punya banyak teman dari berbagai daerah dengan tujuan yang sama, mengecap ilmu pendidikan. Tapi aku tak ingat wajahnya lagi, apalagi namanya. Sudah banyak yang berubah.
“Tapi siapa yang sakit, Bu?” lanjutnya.
“Alina, adiknya Raka, Nak. Tolong selamatkan dia, ya, Nak. Ibu mohon,” pintaku sekali lagi. Air mataku meluncur lagi dengan bebas. Rasa sedih bercampur haru, bisa bertemu teman anak lelakiku di tempat yang jauh dari kampung halaman. Ada secercah harapan yang membuatku semakin optimis kalau putriku akan pulih seperti sedia kala.
Yang belum subscribe, jangan lupa ya. supaya dapat notif up bab baru.
Sesaat setelah dokter Rian memasuki ruangan, aku tersadar dengan cucuku yang terus saja tidur. Ini sudah tak normal lagi. Masa dia tak terganggu sejak tadi pagi. Napasnya teratur dan badannya tidak panas. Tapi kenapa tidur terus?Aku menanyakan pada perawat, ke ruangan mana harus memeriksakan cucuku. Dengan senang hati dia mengantarku menemui dokter spesialis anak.“Kenapa cucu saya tidur terus, Dok?” cecarku ketika dokter perempuan itu selesai memeriksa cucuku. Dia menghembuskan napas berat dan memintaku duduk.“Saya menemukan campuran obat tidur dalam susu yang tertumpah di bajunya. Bayi sangat wajar jika sering menangis, Bu. Itu caranya berkomunikasi dengan orang dewasa jika dia lapar, ngompol atau buang air besar.”Aku menekan dada dan memelotot. Tak menyangka kalau baby sitter itu membrikan campuran obat tidur buat cucuku. Keterlaluan sekali. Lalu apa kerjanya di rumah itu? “Menangis juga bisa menandakan kalau dia sedang tak tak enak badan atau tidak nyaman. Sangat tidak dianju
Setelah beberapa saat, ponselku kembali berdering. Raka menelpon lagi. Kalau tidak diangkat, takutnya mereka semakin cemas dengan berbagai dugaan buruk. Aku membayar makanan dan bergegas mencari tempat yang agak sepi agar tidak mengundang perhatian orang banyak. “Bu, apa maksud foto itu? Siapa dia?” cecar Raka. “Kamu tak mengenali adikmu sendiri, Raka?” sergahku.“Mirip Alina, tapi itu pakai aplikasi edit wajah, kan, Bu? Gak mungkin adikku kurus begitu? Ibu dan Alina hanya mengerjai kami, kan?”Ah, andai saja Alina benar-benar hanya mengerjaiku, tentu aku tak perlu berada di rumah sakit ini. Tapi kenyataannya, dia memang sangat kurus sekarang. Mungkin jika aku berada di posisi Raka, dikirimi foto Alina seperti ini, diri ini tak akan percaya begitu saja. Kalau bukan mata tua ini melihat tubuh tak berdaya itu dengan jelas dan langsung, mungkin aku juga akan mengira foto kurus putriku hanyalah bohong-bohongan. S“Bu, tolong hidupkan video call-nya. Raka yakin Alina sedang menahan tawa
Aku tersenyum menyeringai melihat Delon berlari tunggang langgang dikejar 4 laki-laki itu. Mungkin detak jantungnya sekarang berpacu sangat cepat saking takutnya. Itu belum sebanding dengan ketakutanku karena hampir kehilangan putri kesayanganku. Aku mempercepat langkah dan langsung masuk ke dalam rumah sakit.“Bu Rahimah? Darimana saja? Saya cariin dari tadi tak nampak.”Dokter Rian menghampiriku. Wajahnya yang bersih menyejukkan hati. Andai aku masih punya anak perempuan lajang, lelaki seperti ini yang kuharapkan jadi jodohnya.“Saya baru makan, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?”“Jangan bersikap formal begitu, Bu. Panggil saja saya Rian, tanpa embel-embel dokter. Saya seusia Raka. Ibu bisa menganggap saya seperti anak sendiri.”“Kamu baik sekali, Nak. Orang tuamu pasti bangga memiliki anak sepertimu.”Rian tertawa sekilas. “Saya baik berkali-kali kok, Bu, bukan cuma sekali baiknya.”Sepertinya dia berusaha menghiburku. Aku tersenyum tipis, menghargai usahanya untuk membuatku terhib
Seperti disengat aliran listik tegangan tinggi, bibirku bergetar disertai detak jantung bagai irama pacuan kuda. Aku ingin menghilang dari rumah ini dalam satu kedipan mata untuk menghindari tatapan menghujam perempuan sedikit lebih tua dari mamaku. Lidahku terasa keluh, tak sanggup membayangkan nasibku ke depannya. Di hadapanku sekarang ada Bu Rahimah yang tak lain adalah mertuaku. Dan apesnya, aku tak ada persiapan untuk menyambut kedatangannya dengan sejuta alasan yang masuk akal. Aku ingin memaki Maya yang sembarangan memasukkan orang yang tak dikenalnya ke rumah ini. Wanita cantik itu telah menyeretku ke dalam bahaya. Setelah berbagai alasan dan melibatkan Mama untuk meredakan emosi mertua, tetap saja aku tak berdaya dengan ancaman ibunya Alina. Dengan terpaksa, aku mengusir penghibur hati itu dari rumah ini karena desakan mertuaku. Kuharap Maya mengerti posisiku yang bagai buah simalakama. Setelah urusan ini selesai, aku akan membujuknya dengan mengajak belanja sepuas hati. Pas
Selesai makan, Mama menelpon seseorang. Aku belum lega sebelum memberikan pelajaran berharga pada mertuaku. Dengan begitu, dia akan berpikir berkali-kali dan mengurungkan niat berurusan dengan hukum. “Perempuan kampung itu pasti lengah karena kelelahan. Kamu cari cara, apapun itu. Tapi jangan sampai masuk pekarangan rumah sakit karena di sana full CCTV.” Mama memberi instruksi sembari memperlihatkan foto mertuaku.“Kalau sampai kamu gagal, jangan libatkan kami. Ini resikomu karena bayarannya sangat mahal,” timpalku.“Beres, Bos.”Aku tersenyum puas melihat kepercaya dirinya. Untuk memastikannya berhasil, aku terjun lanjung ke lapangan. Tapi apa yang terjadi, aku malah jadi bulan-bulanan massa. Entah kenapa mertuaku bisa tahu kalau aku yang menyuruh pemotor itu ingin mencelakainya. “Jangan pukuli saya! Saya tidak bersalah,” pintaku. Bibir sudah berdarah, tapi tiada yang menolong karena aku tadi berlari ke tempat yang lebih sepi.“Lalu kalau kamu tidak salah, kenapa lari, hah?” benta
Sejak Cici dipindahkan ke ruangan yang sama dengan ibunya, dia sibuk mengoceh dan bermain-main sendiri. Aku senang melihatnya mulai ceria, tapi Alina belum mau merespon meskipun kudekatkan cucuku padanya. Aku harus sabar dengan prosesnya. Tiada bosan, berkali-kali kukecup kening putriku dan anak pertamanya.Aku berdiri saat mendengar suara ribut-ribut di luar. Terdengar suara menantu dan besanku yang memaksa mau masuk. Sikap mamanya Delon mulai berubah drastis. Tadi saat pertama berjumpa, dia masih berpura-pura bersikap baik, tapi sekarang mulai menampakkan sifat aslinya.“Maaf, Pak, Bu. Saya hanya menjalankan perintah. Tidak boleh menjenguk kecuali seizin Bu Rahimah dan dokter Rian Irwansyah. Silakan pergi sebelum saya bertindak tegas!” Aku menautkan alis dan mengingat-ingat apakah pernah menyuruh orang menjaga pintu agar suami dan mertua putriku tidak masuk. Seingatku memang tak ada. Bahkan tak kepikiran sampai sana.Aku mengintip dari balik kaca, ibu dan anak itu telah pergi setela
Setelah puas meluapkan tangisan, suamiku yang tak terbiasa menangis itu mengurai pelukan. Mungkin sesak di dadanya mulai berkurang. Lelaki yang telah membuatku punya sepasang buah hati itu memegang pergelangan tangan ini dan kami berjalan bersisian menuju kamar putri kami.“Bapak tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya kamu saat melihat kondisi Alina pertama kali secara langsung, Bu. Kamu memang istri yang tegar, sampai tidak langsung mengabarkannya pada kami. Bapak saat melihat fotonya saja sudah merasa sakit hati dan tak berdaya. Ini kaki Bapak sudah lemas, tak tega melihatnya nanti.” Suara lelaki yang sudah punya dua warna rambut itu terdengar lirih.“Ibu bukannya tegar, Pak. Hati ini lebih sakit sampai tak kepikiran kemana-mana. Tapi Ibu akan jauh lebih tegar setelah ada Bapak di sini. Kita akan merawat Alina dan Cici, Pak. Kalau mereka sakit-sakitan, bukan masa tua kita yang ada dalam pikiranku, tapi bagaimana nasib mereka setelah kita tiada.”Suamiku menahan langkah dan tersen
Tak terasa, sudah terdengar suara ngaji-ngaji dari mesjid di kejauhan sebagi pertanda waktu sholat subuh akan tiba. Raka dan bapaknya segera bergegas ke mushola rumah sakit, menunaikan kewajiban sekaligus meminta pertolongan lewat jalur langit. Sebesar apapun usaha yang dilakukan manusia, tetap saja itu hanya ikhtiar. Sedangkan kesembuhan itu terjadi atas izin Sang Pencipta. Aku menjaga cucuku dan membuatkan susu untuknya dan gantian sholat setelah suami dan anakku selesai. Dua rakaat yang sangat berat karena mata terus mengabur. Desakan cairan bening di sudut mata tiada henti menerobos.“Ya Ilahi Robbi. Jangankan anak, suami, cucu atau harta, bahkan nyawa yang dikandung badan bukan milik kami. Semuanya adalah titipan dan berhak diambil oleh-Mu kapan saja. Cepat atau lambat, setiap yang bernyawa akan mengalami kematian. Namun, jika boleh meminta, hamba mohon agar putri kesayangan yang Engkau titipkan kepada kamibisa sembuh.” Suaraku bergetar di sela tangisan, menadahkan tangan sambi