Setelah beberapa saat, ponselku kembali berdering. Raka menelpon lagi. Kalau tidak diangkat, takutnya mereka semakin cemas dengan berbagai dugaan buruk. Aku membayar makanan dan bergegas mencari tempat yang agak sepi agar tidak mengundang perhatian orang banyak.
“Bu, apa maksud foto itu? Siapa dia?” cecar Raka.
“Kamu tak mengenali adikmu sendiri, Raka?” sergahku.
“Mirip Alina, tapi itu pakai aplikasi edit wajah, kan, Bu? Gak mungkin adikku kurus begitu? Ibu dan Alina hanya mengerjai kami, kan?”
Ah, andai saja Alina benar-benar hanya mengerjaiku, tentu aku tak perlu berada di rumah sakit ini. Tapi kenyataannya, dia memang sangat kurus sekarang. Mungkin jika aku berada di posisi Raka, dikirimi foto Alina seperti ini, diri ini tak akan percaya begitu saja. Kalau bukan mata tua ini melihat tubuh tak berdaya itu dengan jelas dan langsung, mungkin aku juga akan mengira foto kurus putriku hanyalah bohong-bohongan. S
“Bu, tolong hidupkan video call-nya. Raka yakin Alina sedang menahan tawa di samping Ibu karena tidak berhasil mengerjai kami.”
Raka masih saja belum percaya dengan foto yang yang kukirimkan. Aku menerima panggilan video dan langsung mengarahkan kamera ke gapura rumah sakit.
“Ya Allah, jadi Ibu gak berbohong?” Suara Raka mulai bergetar. Anak lelakiku itu suka jahil dengan adiknya, begitu juga sebaliknya. Tapi biar bagaimanapun, mereka saling menyangi dan membela satu sama lain jika ada orang usil yang mengganggu. Bagiku dan suami, salah satu keberhasilan sebagai orang tua adalah membuat mereka menjadi saudara yang saling dukung.
“Buat apa Ibu berbohong, Raka? Tak ada gunanya, kan? Begitulah keadaan adikmu sekarang. Dia tak memeluk Ibu. Dia juga tak bicara. Jiwanya seolah mati, Nak.” Tangisku yang sudah reda jadi terpancing lagi ketika melihat putraku mengusap-usap sudut matanya yang berair.
“Bagaimana ceritanya bisa seperti itu, Bu? Siapa yang berani menyakiti putriku?” Suara suamiku terdengar lantang meskipun kamera masih menghadap Raka. Aku menjelaskan singkat saja saat pertama kali melihat kondisi Alina di ruangan tak layak itu.
“Brengs*ek si Delon itu. Bapak akan bun*h anak itu. Berani sekali dia menelantarkan putri kita dengan sengaja. Bapak akan menyusul ke sana nanti malam,” tegas bapaknya Alina.
Aku bergidik ngeri. Jika terjadi pertumpahan darah, itu artinya suamiku pun akan mendapat masalah baru. Aku tak mau dia membun*uh lelaki yang masih sah menjadi menantu kami.
“Tak usah datang kalau dalam keadaan emosi, Pak! Apa Bapak bisa bahagia jika harus masuk penjara karena menghilangkan nyaw* Delon?”
“Iya, Pak. Ini bukan masalah yang sederhana. Tidak perlu membalas sakit hati dengan kekerasan karena kita sendiri yang akan terpental,” ujar Raka. Aku tak melihat wajah mereka lagi. Hanya plafon rumah yang terlihat.
“Bu, sebisa mungkin jagalah Alina di sana. Bapak akan berangkat nanti malam dan janji tidak akan melakukan kekeras*an.” Suara suamiku melunak. Kini kamera ponsel menyorot penuh wajahnya.
“Bukannya Bapak masih harus ikut acara adat?”
“Apa yang lebih penting dari keluarga, Bu? Acara adat bisa diwakilkan nanti pada Raka.”
“Raka akan ikut. Sekarang juga aku akan beli tiket dan menyiapkan semuanya,” timpal putraku. Aku senang mendengarnya, terlebih dokter Rian adalah teman dari putraku. Dia akan lebih cerdas berdiskusi dengan dokter itu untuk memikirkan cara agar putriku sehat kembali. Badan Raka juga lebih kekar dan bisa bela diri bila sewaktu-waktu ada bahaya yang mengancam. Tak bisa diprediksi apa yang akan dilakukan Delon dan keluarganya pada kami.
“Lalu bagaimana dengan Sri? Siapa temannya di sana, Nak? Pikirkan juga istri dan anakmu,” ujarku. Aku tak boleh egois dengan mengabaikan menantuku yang perempuan.
“Gak apa-apa, Bu. Bang Raka ikut saja. Sri bisa kok ngurus Ahmad sendirian. Nanti bisa diajak anak tetangga untuk tidur di sini malam hari,” ujar menantuku. Cucuku Ahmad memang sudah pulih. Meskipun badannya lebih kecil dari teman-teman seusianya, tapi tidak sakit-sakitan lagi.
Aku merasa bersyukur kalau Sri tidak keberatan ditinggal suaminya untuk sementara. Untuk sekarang, aku butuh Raka dan bapaknya agar kami lebih kuat. Keluarga besanku bukan orang sembarangan. Aku yakin mereka sedang memikirkan strategi selanjutnya untuk menggagalkan rencanaku memenjarakan Delon.
“Baiklah, kami akan datang ke sana, Bu. Tapi jangan buat laporan ke polisi dulu. Aku tak mau kalau Ibu dalam bahaya. Ibu harus hati-hati dan jangan sampai lengah dengan keadaan di luar. Jika Delon bisa setega itu pada istrinya, tak menutup kemungkina jika dia bisa berbuat keji juga pada mertuanya,” pesan Raka. Kami pun mengakhiri obrolan karena mereka mau berkemas-kemas. Hatiku sedikit lebih lega. Beban di dada terasa berkurang.
Aku harus kembali masuk ke rumah sakit untuk melihat keadaan putriku. Jalanan cukup lengang dari kenderaan yang berlalu lalang sehingga aku bisa langsung menyeberang. Seperti pesan Raka, aku harus hati-hati dan tak boleh lengah di sini. Sebelum sampai ke seberang, tiba-tiba sebuah motor melaju kencang ke arahku. Dengan sekuat tenaga aku berlari untuk menghindar. Pengendara motor tanpa plat itu diteriaki warga yang kebetulan melihat kejadian. Ada yang mengejar dan melemp*ri dengan batu hingga sedikit oleng, tapi dia berhasil kabur.
“Ibu tak apa-apa?” tanya seorang pemuda. Dia menyodorkan minuman botol ke arahku. Aku mengusap dada dan mengucapkan terima kasih pada empat orang yang membantuku. Kuteguk air mineral itu perlahan dan mataku menatap sekeliling. Pandanganku tertuju pada seseorang yang berdiri di balik sebuah pohon besar di pinggir jalan. Dia terlihat kesal dengan lawan bicaranya di ponsel. Ketika dia melirik ke arahku, lelaki yang sangat kukenali itu langsung memasukkan ponselnya ke kantong dan bergegas mau pergi.
“Itu, itu laki-laki yang menyuruh orang untuk menabrak saya. Tolong tangkap dia!” seruku sambil menunjuk ke arah Delon. Empat laki-laki yang masih muda itu kompak menoleh pada arah telunjukku dan langsung berlari mengejar menantuku yang kurang *jar itu.
Aku tersenyum menyeringai melihat Delon berlari tunggang langgang dikejar 4 laki-laki itu. Mungkin detak jantungnya sekarang berpacu sangat cepat saking takutnya. Itu belum sebanding dengan ketakutanku karena hampir kehilangan putri kesayanganku. Aku mempercepat langkah dan langsung masuk ke dalam rumah sakit.“Bu Rahimah? Darimana saja? Saya cariin dari tadi tak nampak.”Dokter Rian menghampiriku. Wajahnya yang bersih menyejukkan hati. Andai aku masih punya anak perempuan lajang, lelaki seperti ini yang kuharapkan jadi jodohnya.“Saya baru makan, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?”“Jangan bersikap formal begitu, Bu. Panggil saja saya Rian, tanpa embel-embel dokter. Saya seusia Raka. Ibu bisa menganggap saya seperti anak sendiri.”“Kamu baik sekali, Nak. Orang tuamu pasti bangga memiliki anak sepertimu.”Rian tertawa sekilas. “Saya baik berkali-kali kok, Bu, bukan cuma sekali baiknya.”Sepertinya dia berusaha menghiburku. Aku tersenyum tipis, menghargai usahanya untuk membuatku terhib
Seperti disengat aliran listik tegangan tinggi, bibirku bergetar disertai detak jantung bagai irama pacuan kuda. Aku ingin menghilang dari rumah ini dalam satu kedipan mata untuk menghindari tatapan menghujam perempuan sedikit lebih tua dari mamaku. Lidahku terasa keluh, tak sanggup membayangkan nasibku ke depannya. Di hadapanku sekarang ada Bu Rahimah yang tak lain adalah mertuaku. Dan apesnya, aku tak ada persiapan untuk menyambut kedatangannya dengan sejuta alasan yang masuk akal. Aku ingin memaki Maya yang sembarangan memasukkan orang yang tak dikenalnya ke rumah ini. Wanita cantik itu telah menyeretku ke dalam bahaya. Setelah berbagai alasan dan melibatkan Mama untuk meredakan emosi mertua, tetap saja aku tak berdaya dengan ancaman ibunya Alina. Dengan terpaksa, aku mengusir penghibur hati itu dari rumah ini karena desakan mertuaku. Kuharap Maya mengerti posisiku yang bagai buah simalakama. Setelah urusan ini selesai, aku akan membujuknya dengan mengajak belanja sepuas hati. Pas
Selesai makan, Mama menelpon seseorang. Aku belum lega sebelum memberikan pelajaran berharga pada mertuaku. Dengan begitu, dia akan berpikir berkali-kali dan mengurungkan niat berurusan dengan hukum. “Perempuan kampung itu pasti lengah karena kelelahan. Kamu cari cara, apapun itu. Tapi jangan sampai masuk pekarangan rumah sakit karena di sana full CCTV.” Mama memberi instruksi sembari memperlihatkan foto mertuaku.“Kalau sampai kamu gagal, jangan libatkan kami. Ini resikomu karena bayarannya sangat mahal,” timpalku.“Beres, Bos.”Aku tersenyum puas melihat kepercaya dirinya. Untuk memastikannya berhasil, aku terjun lanjung ke lapangan. Tapi apa yang terjadi, aku malah jadi bulan-bulanan massa. Entah kenapa mertuaku bisa tahu kalau aku yang menyuruh pemotor itu ingin mencelakainya. “Jangan pukuli saya! Saya tidak bersalah,” pintaku. Bibir sudah berdarah, tapi tiada yang menolong karena aku tadi berlari ke tempat yang lebih sepi.“Lalu kalau kamu tidak salah, kenapa lari, hah?” benta
Sejak Cici dipindahkan ke ruangan yang sama dengan ibunya, dia sibuk mengoceh dan bermain-main sendiri. Aku senang melihatnya mulai ceria, tapi Alina belum mau merespon meskipun kudekatkan cucuku padanya. Aku harus sabar dengan prosesnya. Tiada bosan, berkali-kali kukecup kening putriku dan anak pertamanya.Aku berdiri saat mendengar suara ribut-ribut di luar. Terdengar suara menantu dan besanku yang memaksa mau masuk. Sikap mamanya Delon mulai berubah drastis. Tadi saat pertama berjumpa, dia masih berpura-pura bersikap baik, tapi sekarang mulai menampakkan sifat aslinya.“Maaf, Pak, Bu. Saya hanya menjalankan perintah. Tidak boleh menjenguk kecuali seizin Bu Rahimah dan dokter Rian Irwansyah. Silakan pergi sebelum saya bertindak tegas!” Aku menautkan alis dan mengingat-ingat apakah pernah menyuruh orang menjaga pintu agar suami dan mertua putriku tidak masuk. Seingatku memang tak ada. Bahkan tak kepikiran sampai sana.Aku mengintip dari balik kaca, ibu dan anak itu telah pergi setela
Setelah puas meluapkan tangisan, suamiku yang tak terbiasa menangis itu mengurai pelukan. Mungkin sesak di dadanya mulai berkurang. Lelaki yang telah membuatku punya sepasang buah hati itu memegang pergelangan tangan ini dan kami berjalan bersisian menuju kamar putri kami.“Bapak tak bisa membayangkan bagaimana sedihnya kamu saat melihat kondisi Alina pertama kali secara langsung, Bu. Kamu memang istri yang tegar, sampai tidak langsung mengabarkannya pada kami. Bapak saat melihat fotonya saja sudah merasa sakit hati dan tak berdaya. Ini kaki Bapak sudah lemas, tak tega melihatnya nanti.” Suara lelaki yang sudah punya dua warna rambut itu terdengar lirih.“Ibu bukannya tegar, Pak. Hati ini lebih sakit sampai tak kepikiran kemana-mana. Tapi Ibu akan jauh lebih tegar setelah ada Bapak di sini. Kita akan merawat Alina dan Cici, Pak. Kalau mereka sakit-sakitan, bukan masa tua kita yang ada dalam pikiranku, tapi bagaimana nasib mereka setelah kita tiada.”Suamiku menahan langkah dan tersen
Tak terasa, sudah terdengar suara ngaji-ngaji dari mesjid di kejauhan sebagi pertanda waktu sholat subuh akan tiba. Raka dan bapaknya segera bergegas ke mushola rumah sakit, menunaikan kewajiban sekaligus meminta pertolongan lewat jalur langit. Sebesar apapun usaha yang dilakukan manusia, tetap saja itu hanya ikhtiar. Sedangkan kesembuhan itu terjadi atas izin Sang Pencipta. Aku menjaga cucuku dan membuatkan susu untuknya dan gantian sholat setelah suami dan anakku selesai. Dua rakaat yang sangat berat karena mata terus mengabur. Desakan cairan bening di sudut mata tiada henti menerobos.“Ya Ilahi Robbi. Jangankan anak, suami, cucu atau harta, bahkan nyawa yang dikandung badan bukan milik kami. Semuanya adalah titipan dan berhak diambil oleh-Mu kapan saja. Cepat atau lambat, setiap yang bernyawa akan mengalami kematian. Namun, jika boleh meminta, hamba mohon agar putri kesayangan yang Engkau titipkan kepada kamibisa sembuh.” Suaraku bergetar di sela tangisan, menadahkan tangan sambi
“Kamu jangan nangis, Alin. Tenangkan hatimu, Nak. Ibu, Bapak dan kakakmu ada di sini.”Aku memeluk putriku yang menangis ketakutan. Jarum infus yang menempel di pergelangan tangan sudah terlepas dan mengeluarkan darah. Raka berlari keluar memanggil-manggil perawat yang bertugas. Suamiku membantu menenangkan dengan mengusap-usap punggung putrinya, barulah Alina diam, bersandar di dada bidang bapaknya. Bolehkah aku iri, Pak? Putrimu lebih nyaman denganmu, padahal 9 bulan dia menghuni rahimku. Biarpun di sini bukan persaingan, tapi tetap saja hati ini tercubit dan bikin sesak di dada. Adakah salah yang pernah kuperbuat sampai putriku acuh pada ibunya ini?Dua orang perawat masuk. Salah satu membawa bubur nasi dan yang lainnya memeriksa jarum infus, lalu memasangnya lagi. Aku pamit pada suami untuk keluar mencari Raka, sementara cucuku sedang mengoceh sendirian.“Hamdan, kamu lihat kemana anak saya?”“Mas Raka membawa wanita tadi keluar, Bu. Apa perlu saya panggil?”“Tidak usah, Nak. b
“Kita keluar yuk, Bu. Cari udara segar. Sekalian bawa Cici juga untuk berjemur,” ujar Raka. Aku menganggukkan kepala. “Sekalian bilang sama bapakmu kalau kita akan pergi mengambil baju Ibu yang tertinggal dan juga pakaian Cici.”Entah kenapa, aku jadi sedikit kesal dengan keadaan ini. Tak tahu bagaiman cara meluapkannya. Aku berjalan mendahului dan disusul oleh Raka sambil menggendong Cici. Rumah sakit ini memiliki taman dan di sanalah kami duduk, menikmati udara pagi dan sinar mentari yang masih malu-malu.“Raka, kamu sudah datang? Cepat sekali.”Suara doter Rian membuatku tersenyum. Tak ingin terlihat sedih di hadapan orang lain. Aku meminta Cici dari pangkuan Raka agar dia bebas mengobrol dengan temannya itu.“Iya, alhamdulillah. Sudah sampai di sini sejak pukul 4 pagi tadi.”Keduanya berjabatan tangan. Mereka berjalan sedikit menjauh dan tak kudengar lagi obrolan mereka. Sepertinya pembicaraan mereka terlihat serius. Tak berapa lama, Raka kembali dengan senyuman semringah.“Ayo