Aku juga punya menantu dan memperlakukannya bagaikan putriku. Berharap kalau Alina juga mendapatkan perlakuan yang baik di rumah orang. Namun, kenyataanya bertolak belakang. Putri kesayanganku diperlakukan seperti bukan manusia. Entah apa yang ada dalam pikiran Delon sampai membuat istrinya hampir seperti tengkorak bernyawa. Jika aku terlambat datang berkunjung, mungkin Alina akan perlahan meregang nyawa.
Jika memang Delon tak menginginkan putriku lagi, kenapa harus dis*ksa begini? Apa dia lupa kalau putriku masih punya orang tua lengkap dan juga saudara yang siap menerima Alina kembali? Selama aku masih hidup dan bisa berusaha, anak bukanlah beban bagiku. Dia menikah karena proses kehidupan, tapi tetap saja Alina putriku. Tak ada yang berubah.
Aku tak melepaskan pandangan dari perempuan yang telah memberiku satu cucu. Kentara sekali kalau putriku sangat kelaparan. Aku mencuci tangannya dengan sebaskom air karena kini dia tak mau lagi kusuapi. Dia makan kue tanpa jeda hingga sesekali tersedak. Minuman yang kusodorkan juga ia tenggak dengan buru-buru, seolah sedang berebutan hingga takut tidak dapat bagian.
Ya Allah, putriku yang cantik kini terlihat sangat tua untuk usianya yang baru 23 tahun. Tega sekali kamu, Delon. Ingin sekali aku mem*ki dan memuk*l menantuku dan perempuan tadi, tapi tenagaku bisa terkuras nanti. Sedangkan putriku masih butuh perhatian. Kondisinya sangat lemah, sampai menegakkan punggungnya saja tak bisa. Rasa lelah sehabis naik bus semalaman seolah tak terasa lagi. Itu tak sebanding dengan rasa sakit di hati melihat anak yang kusayang dalam keadaan mengenaskan.
“Sayang, kamu jangan buru-buru makannya. Ibu masih punya banyak makanan loh.” Aku mengusap-usap rambut panjangnya yang dipenuhi nasi basi dan juga kotoran. Baunya menusuk hidung. Tapi lebih baik kebauan daripada harus menjauh dari putriku. Meskipun kutahan sekuat tenaga, tetap saja untuk soal anak, aku tak bisa pura-pura tegar. Bulir bening itu terus saja meluncur, seperti tiada habisnya. Bedanya tadi aku meraung-raung, tapi sekarang bisa sedikit lebih tenang. Aku tak mau kalau putriku merasa terganggu.
Kulihat Alina masih acuh padaku. Dia tetap sibuk makan dengan rakus tanpa menoleh pada ibunya ini. Tak ada tangisan ataupun ucapan lagi dari bibirnya. Apakah air matamu telah mengering, Nak? Tiga bulan Alina tak ada kabar, aku mengira kalau dia baik-baik saja dan hanya merajuk padaku. Kukira putriku hanya cemburu karena lebih mengurus anak dari kakak dan iparnya. Namun, semua asumsi itu kini terbantahkan. Menantu yang dulu sopan santun saat meminta putriku menjadi istrinya kini telah menelantarkan permata hatiku, memb*nuh secara perlahan. Janjinya untuk melindungimu tinggal cerita, karena kini dialah yang paling menyakiti. Tak hanya fisik, tapi kuyakin hatimu lebih terluka, Alina-ku.
“Sayang, apa kamu sudah kenyang? Atau mau makan lagi?” tanyaku pelan. Dia sudah menghabiskan satu loyang kue bolu buatanku, tanpa sisa. Jika dalam keadaan normal, tentu aku akan memarahinya karena makan seperti keset*nan
Alina menyenderkan punggung ke tembok, tapi dia tak menjawab pertanyaanku. Pandangannya kosong, lurus ke depan.
“Maafkan Delon, Bu. Aku menyembunyikan semua ini dari Ibu. Sejak melahirkan, Alina sudah tak w*aras begini. Dia suka marah-marah dan melempari barang-barang, makanya kukurung agar tidak membahayakan anak kami.”
Ucapan Delon membuatku semakin tersulut emosi. Tak w*aras katanya? Lalu dik*rung dan diperlakukan dengan tidak layak? Suami macam apa itu? Seorang istri baru melahirkan rentan terserang baby blues jika tidak ada dukungan suaminya. Jika dibiarkan, bisa depresi pasca melahirkan. Begitulah yang dikatakan dokter saat Sri, menantuku melahirkan.
Harusnya aku di sini mendampingi Alina di saat hari bersejarahnya berjuang untuk mendapat gelar seorang ibu. Menurut prediksi, Alina yang duluan melahirkan, baru Sri. Namun takdir berkata lain. Seminggu sebelum keberangkatanku untuk menemani Alina, di saat itulah Sri dilarikan ke rumah sakit dan lahiran terpaksa. Aku takut kalau baby blues berujung depresi pasca melahirkan terjadi pada menantuku karena anaknya yang lahir prematur, tapi putriku yang lahiran normal malah harus menanggungnya.
“Saya tak butuh omong kosongmu, Delon. Jangan-jangan Alina seperti ini karena ulahmu dengan perempuan tadi!” sergahku.
Delon mengusap-usap dahinya, memalingkan wajah saat pandangan kami bertemu.
“Maya itu pengasuh Cici, Bu. Kami tak ada hubungan. Dia orang yang berjasa padaku dan Alina karena mau merawat anak kami dengan baik. Tidak mudah jadi Maya, tiap malam harus terbangun membuatkan susu karena Alina sudah tak ingat lagi kewajibannya untuk menyusui anak kami.”
Di saat seperti ini, bisa-bisanya dia masih membela perempuan tadi dan menyalahkan istrinya. Lelaki itu tak akan pernah pantas mendapatkan maaf dariku ataupun putriku.
“Tak usah kamu jelaskan apa-apa lagi! Saya muak mendengarnya. Tanpa kamu jelaskan, keadaan ini sudah cukup membuktikan siapa yang salah dalam hal ini. Saya lihat sendiri bagaimana mesranya kalian. Kamu kira saya ini bod*h?”
Ah, akan percuma aku meladeni lelaki yang suka berbohong itu. Sejak awal tadi dia sudah berdusta padaku.
“Ayo, Nak. Kamu mandi dulu!”
Alina tak memberontak, meskipun tak merespon ucapanku. Dengan langkah pelan, dia mau menggerakkan kakinya. Aku tersenyum untuk menghibur diri.
Dua puluh tiga tahun lalu, aku tersenyum bahagia memandikannya dalam keadaan masih bayi. Hari ini, harusnya Alina memandikan bayinya sendiri. Namun, kenyataannya sekarang, masih aku yang memandikan putriku karena ulah suaminya.
Kuatlah, Nak. Ibu akan memperjuangkan hakmu. Kamu masih muda dan bisa mendapatkan kebahagiaan tanpa lelaki bej4t itu.
Alina kududukkan di sebuah kursi kayu yang kuambil dari dapur. Tak ada rasa malu putriku lagi saat semua pakaiannya kulepas. Hatiku semakin terluka ketika bisa melihat dengan jelas tulang rusuknya yang tercetak dibalut kulit. Aku harus cepat mengakhiri smeua ini. Dadaku semakin sesak melihat kondisi fisik dan psikisnya yang tidak baik-baik saja.Aku melihat gunting tergantung di dekat sabun cuci cair dan langsung kupotong pendek rambut Alina. Ini cara paling mudah untuk menghilangkan kotoran yang sudah mengering, lalu menuangkan sampo ke rambutnya agar bersih. Dengan hati-hati aku menyabuni seluruh tubuh putriku, takut kalau dia kesakitan karena ada beberapa luka. Mungkin karena terlalu lama tak tukar posisi duduk atau tidur.Aku keluar mengambil sikat gigi baru dari tas yang selalu dibawa jika bepergian. Aku tak rela jika Alina memakai sikat gigi bekas suaminya dan perempuan itu. Sekalian juga handuk kubawa agar dia tak kedinginan.“Buka mulutnya, Sayang!” titahku.Alina menurut, t
“Oh iya, saya harus membawa Cici.”Aku baru teringat akan cucuku. Ya Allah, hari ini begitu melelahkan. Tapi aku harus segera membawa anak dan cucuku dari rumah ini agar lebih aman. Jika rumah suami adalah tempat paling aman dan nyaman bagi seorang istri dan anak, itu tak berlaku buat putriku. Mereka harus kuselamatkan dari manusia-manusia terkut*uk itu. Apalagi kulihat Maya tidaklah suka pada bayinya Alina. Ya, jelas saja karena Cici bukan darah dagingnya. Dia hanya mneginginkan lelaki yang sudah beristri itu.“Gak usah dibawa segala, Jeng,” cegah besanku. “Kan ada Maya, babysitter berpengalaman. Selama ini dia bisa menjaga Cici dengan baik kok.”“Ya, dia baby sitter berpengalaman dalam merebut suami orang. Saya tak mau ambil resiko kalau cucuku akan celaka di tangannya,” tegasku.Aku bergegas ke kamar dan menggendong bayi menggemaskan itu. Baru sekarang aku bisa menggendongnya. Tak terasa air mataku meluncur lagi. Tapi, aku sedikit heran, kenapa Cici tidur terus? Sejak aku sampai ke
Sesaat setelah dokter Rian memasuki ruangan, aku tersadar dengan cucuku yang terus saja tidur. Ini sudah tak normal lagi. Masa dia tak terganggu sejak tadi pagi. Napasnya teratur dan badannya tidak panas. Tapi kenapa tidur terus?Aku menanyakan pada perawat, ke ruangan mana harus memeriksakan cucuku. Dengan senang hati dia mengantarku menemui dokter spesialis anak.“Kenapa cucu saya tidur terus, Dok?” cecarku ketika dokter perempuan itu selesai memeriksa cucuku. Dia menghembuskan napas berat dan memintaku duduk.“Saya menemukan campuran obat tidur dalam susu yang tertumpah di bajunya. Bayi sangat wajar jika sering menangis, Bu. Itu caranya berkomunikasi dengan orang dewasa jika dia lapar, ngompol atau buang air besar.”Aku menekan dada dan memelotot. Tak menyangka kalau baby sitter itu membrikan campuran obat tidur buat cucuku. Keterlaluan sekali. Lalu apa kerjanya di rumah itu? “Menangis juga bisa menandakan kalau dia sedang tak tak enak badan atau tidak nyaman. Sangat tidak dianju
Setelah beberapa saat, ponselku kembali berdering. Raka menelpon lagi. Kalau tidak diangkat, takutnya mereka semakin cemas dengan berbagai dugaan buruk. Aku membayar makanan dan bergegas mencari tempat yang agak sepi agar tidak mengundang perhatian orang banyak. “Bu, apa maksud foto itu? Siapa dia?” cecar Raka. “Kamu tak mengenali adikmu sendiri, Raka?” sergahku.“Mirip Alina, tapi itu pakai aplikasi edit wajah, kan, Bu? Gak mungkin adikku kurus begitu? Ibu dan Alina hanya mengerjai kami, kan?”Ah, andai saja Alina benar-benar hanya mengerjaiku, tentu aku tak perlu berada di rumah sakit ini. Tapi kenyataannya, dia memang sangat kurus sekarang. Mungkin jika aku berada di posisi Raka, dikirimi foto Alina seperti ini, diri ini tak akan percaya begitu saja. Kalau bukan mata tua ini melihat tubuh tak berdaya itu dengan jelas dan langsung, mungkin aku juga akan mengira foto kurus putriku hanyalah bohong-bohongan. S“Bu, tolong hidupkan video call-nya. Raka yakin Alina sedang menahan tawa
Aku tersenyum menyeringai melihat Delon berlari tunggang langgang dikejar 4 laki-laki itu. Mungkin detak jantungnya sekarang berpacu sangat cepat saking takutnya. Itu belum sebanding dengan ketakutanku karena hampir kehilangan putri kesayanganku. Aku mempercepat langkah dan langsung masuk ke dalam rumah sakit.“Bu Rahimah? Darimana saja? Saya cariin dari tadi tak nampak.”Dokter Rian menghampiriku. Wajahnya yang bersih menyejukkan hati. Andai aku masih punya anak perempuan lajang, lelaki seperti ini yang kuharapkan jadi jodohnya.“Saya baru makan, Dok. Bagaimana keadaan anak saya?”“Jangan bersikap formal begitu, Bu. Panggil saja saya Rian, tanpa embel-embel dokter. Saya seusia Raka. Ibu bisa menganggap saya seperti anak sendiri.”“Kamu baik sekali, Nak. Orang tuamu pasti bangga memiliki anak sepertimu.”Rian tertawa sekilas. “Saya baik berkali-kali kok, Bu, bukan cuma sekali baiknya.”Sepertinya dia berusaha menghiburku. Aku tersenyum tipis, menghargai usahanya untuk membuatku terhib
Seperti disengat aliran listik tegangan tinggi, bibirku bergetar disertai detak jantung bagai irama pacuan kuda. Aku ingin menghilang dari rumah ini dalam satu kedipan mata untuk menghindari tatapan menghujam perempuan sedikit lebih tua dari mamaku. Lidahku terasa keluh, tak sanggup membayangkan nasibku ke depannya. Di hadapanku sekarang ada Bu Rahimah yang tak lain adalah mertuaku. Dan apesnya, aku tak ada persiapan untuk menyambut kedatangannya dengan sejuta alasan yang masuk akal. Aku ingin memaki Maya yang sembarangan memasukkan orang yang tak dikenalnya ke rumah ini. Wanita cantik itu telah menyeretku ke dalam bahaya. Setelah berbagai alasan dan melibatkan Mama untuk meredakan emosi mertua, tetap saja aku tak berdaya dengan ancaman ibunya Alina. Dengan terpaksa, aku mengusir penghibur hati itu dari rumah ini karena desakan mertuaku. Kuharap Maya mengerti posisiku yang bagai buah simalakama. Setelah urusan ini selesai, aku akan membujuknya dengan mengajak belanja sepuas hati. Pas
Selesai makan, Mama menelpon seseorang. Aku belum lega sebelum memberikan pelajaran berharga pada mertuaku. Dengan begitu, dia akan berpikir berkali-kali dan mengurungkan niat berurusan dengan hukum. “Perempuan kampung itu pasti lengah karena kelelahan. Kamu cari cara, apapun itu. Tapi jangan sampai masuk pekarangan rumah sakit karena di sana full CCTV.” Mama memberi instruksi sembari memperlihatkan foto mertuaku.“Kalau sampai kamu gagal, jangan libatkan kami. Ini resikomu karena bayarannya sangat mahal,” timpalku.“Beres, Bos.”Aku tersenyum puas melihat kepercaya dirinya. Untuk memastikannya berhasil, aku terjun lanjung ke lapangan. Tapi apa yang terjadi, aku malah jadi bulan-bulanan massa. Entah kenapa mertuaku bisa tahu kalau aku yang menyuruh pemotor itu ingin mencelakainya. “Jangan pukuli saya! Saya tidak bersalah,” pintaku. Bibir sudah berdarah, tapi tiada yang menolong karena aku tadi berlari ke tempat yang lebih sepi.“Lalu kalau kamu tidak salah, kenapa lari, hah?” benta
Sejak Cici dipindahkan ke ruangan yang sama dengan ibunya, dia sibuk mengoceh dan bermain-main sendiri. Aku senang melihatnya mulai ceria, tapi Alina belum mau merespon meskipun kudekatkan cucuku padanya. Aku harus sabar dengan prosesnya. Tiada bosan, berkali-kali kukecup kening putriku dan anak pertamanya.Aku berdiri saat mendengar suara ribut-ribut di luar. Terdengar suara menantu dan besanku yang memaksa mau masuk. Sikap mamanya Delon mulai berubah drastis. Tadi saat pertama berjumpa, dia masih berpura-pura bersikap baik, tapi sekarang mulai menampakkan sifat aslinya.“Maaf, Pak, Bu. Saya hanya menjalankan perintah. Tidak boleh menjenguk kecuali seizin Bu Rahimah dan dokter Rian Irwansyah. Silakan pergi sebelum saya bertindak tegas!” Aku menautkan alis dan mengingat-ingat apakah pernah menyuruh orang menjaga pintu agar suami dan mertua putriku tidak masuk. Seingatku memang tak ada. Bahkan tak kepikiran sampai sana.Aku mengintip dari balik kaca, ibu dan anak itu telah pergi setela