Share

4. Disleksia

Reza melepas helmnya. Matanya menatap tajam arena balap yang sudah sering ia datangi. Seseorang tersenyum mendatanginya. Mereka bersalaman.

"Dateng juga lo."

"Mana pihak lawan? Takut?" jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Bentar lagi juga muncul. Siap jadi pemenang?" tanya Rega.

Reza tersenyum miring tanpa menjawab. Pertanyaan retorik. Begitu pikir Reza.

Tanpa diketahui ketiga sahabatnya, Reza sudah sering menjadi pembalap liar. Awalnya sekadar melihat pertandingan orang lain, lalu Rega menawarinya ikut, hingga saat ini, Reza selalu menerima tantangan balapan setiap dia sedang emosi. Menurutnya, ini cara paling menyenangkan untuk membebaskan rasa sesak di dadanya. Meskipun hanya sekejap.

Reza tidak peduli jika kedua orangtuanya tahu, ia hanya peduli dengan sahabatnya. Bagaimana jika ketiganya tahu? mungkin mereka tidak akan segan-segan meninjunya.

Tim lawan sudah tiba. Reza mendengus saat tahu mereka terlambat hampir tiga puluh menit.

"Pulang aja sana, ngumpet dibalik ketek emak lo. Percuma lo dateng telat. Ujungnya juga pasti gue yang menang," ucap Reza merendahkan.

Rasya menggeram. Merasa tidak terima dirinya dihina di hadapan pendukungnya. "Nggak usah banyak intro lo. Buruan tanding."

Reza menampilkan smirk andalannya. Keduanya sudah bersiap di garis start. Seruan pendukung mereka mengobarkan semangat membalap keduanya. Rasya yang percaya diri, Reza yang congkak. Keduanya memiliki watak yang sama-sama keras. Tidak bagus jika berada dalam satu tempat yang sama.

Seorang gadis berbaju ketat dengan celana pendek berdiri menjulang di antara Reza dan Rasya. Ditangannya sudah ada bendera bercorak kotak-kotak berwarna hitam putih, khas bendera di garis finish motoGP.

Rasya bersiul memandang gadis itu, "kalo gue menang nanti, lo jadi milik gue," teriaknya lantang.

"We will see, Rasya," balas gadis itu. Toh, dia yakin, Rezalah yang akan menang.

Dalam hitungan ketiga, kedua motor tersebut sudah melaju cepat. Sejak awal dimulainya balapan, Reza sudah lebih dulu memimpin. Sorak pendukung Reza makin keras terdengar. Mereka semangat menyemangati Reza yang sudah hampir sampai di ujung batas, siap untuk memutari tumpukan ban bekas di sana dan kembali ke garis finish.

Rasya berdecih kesal. Motor yang sudah dia modifikasi dengan harga yang tak sedikit itu masih belum mampu mengalahkan Reza.

Dan akhirnya, Reza memenangkan pertandingan. Salah satu pendukung Rasya yang tak terima temannya kalah langaung mendatangi Reza. Dia memukul lampu belakang Reza menggunakan tongkat baseball.

"Woy, Bangsat! Motor gue! Banci lo!" teriak Reza marah. Kerusuhan pun tak dapat dihindari. Sesama pendukung kedua pembalap saling memukul satu sama lain.

Tak mau mengambil risiko temannya babak belur, Rega menarik Reza menjauh dari kerusuhan. "Lo balik aja. Biar gue yang urus ini. Motor lo udah parah banget."

"Mau kabur lo?" tanya Rasya saat Reza akan pergi.

"Temen-temen lo lagi tawuran begitu, lo malah kabur? Emang gitu sih tabiatnya banci."

"Sialan! Pecundang kayak lo diem aja. Salah siapa mereka rusuh? Tuh, temen lo yang baperan yang mulai duluan. Kayak cewek aja."

Rasya menggeram marah, dia hendak menyerang Reza saat Rega menghalanginya. "Sya, stop! Yang salah itu lo sama temen-temen lo, nggak usah cari kesalahan orang lain. Jangan kayak banci.

"Ngatain gue apa? Lo yang banci, Njing!"

"Za, sana pergi. Lo bawa motornya ke bengkel kakak gue. Suruh satpam masukin motor lo." Dengan berbagai pertimbangan, Reza menyetujui saran Rega.

"Woy, mau kemana lo, Banci?!"

Bukk...

Rega yang habis kesabaran langsung meninju rahang Rasya. Rega menatap teman-temannya yang sudah mulai mereda amarahnya.

"Sya, lain kali jangan bawa anak mama masuk ke arena balap. Dia lebih cocok nyusu di rumah dari pada bikin rusuh di sini." Setelah memberikan satu tinjuan lagi, Rega bersama timnya langsung pergi.

"Oh iya, cepetan lo pergi dari sini sebelum polisi dateng." Bagaimanapun mereka, Rasya pernah menjadi sahabatnya. Rega tidak ingin Rasya terlibat masalah lebih jauh dengan polisi.

Hobi baru Reza dimulai sejak dua tahun lalu. Berawal saat sedang jalan-jalan malam setelah bertengkar dengan ayahnya, Reza tak sengaja melihat gerombolan orang yang akan melakukan balapan. Dari sana juga, Reza bisa mengenal Rega dan Rasya.

Awalnya hanya iseng mencoba, tapi lama-lama Reza sadar bahwa balapan bisa membuatnya melupakan sejenak masalahnya. Ditambah lagi, ada bayaran yang bisa dia dapatkan jika menang tanding.

••¤¤••

Reza mematikan mesin mobilnya. Hari ini, dia terpaksa membawa mobil karena motornya rusak parah akibat semalam. Mobilnya dia parkir di tempat Bi Em. Dia tidak mungkin parkir di area sekolah.

"Bawa mobil, Nak Reza?" tanya seorang wanita setengah abad.

Reza tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya. Jagain pacar saya, ya, Bu."

"Cari pacar yang beneran atuh, Nak Reza. Masa sama mobil, sih?"

Keduanya tertawa kecil. "Coba tanya anaknya Ibu mau nggak jadi pacar saya?" tanya Reza sambil mengedipkan satu matanya.

"Jangan atuh, anak Ibu kan laki. Masa kamu mau macarin yang batangan juga."

Reza tergelak mendengarnya. Dia tertawa keras.

"Masih pagi nggak usah ngomongin gue. Pasti gue sial hari ini." sebuah suara yang sudah dia hapal menyahuti candaannya.

"Oh, lo, Sya. Muka lo kenapa bonyok begitu?" tanya Reza sambil tersenyum miring. Rasya menatapnya tajam.

"Nggak usah sok lugu lo," ucapnya tanpa vokal. Rasya menatap ibunya.

"Bu, Rasya berangkat, ya?" Rasya menyalami ibunya.

"Hati-hati, Nak. Jangan sampai jatoh lagi."

"Kalau gitu, Reza juga pamit, ya, Bu? Udah mau bel masuk." keduanya pun pamit. Berjalan bersisian layaknya teman.

"Jatoh, ya?"

"Bacot!"

Ya, Rasya yang semalam adalah Rasya yang sama seperti pagi ini. Keduanya berbeda sekolah. Dan tidak ada yang tahu bahwa keduanya sering terlibat balapan liar dan tidak pernah akur.

Sementara itu, Senin adalah hari mengeluh berjamaah bagi sebagian murid Cakrawala. Berdiri di bawah guyuran sinar matahari yang cukup menyengat selama satu jam lebih, membuat ruang UKS kadang kebanjiran anak-anak yang sakit, pura-pura sakit atau sekadar mangkir dari tugasnya untuk ikut upacara.

Reza memandang jengah laki-laki paruh baya yang saat ini berdiri di podium memberikan pidato panjangnya. Seluruh murid sedang berkumpul di aula, mendengarkan beberapa pengumuman dari kepala sekolah.

"Si Bayu kapan majunya, sih? Pegel, nih, kaki gue. Kalo bukan karena dia, gue mah ogah berdiri di sini," keluh Dirga.

"Diam, Ga. Kita di barisan depan, lo nggak lihat Randi udah melototin kita?" balas Reza. Lewat kode mata, Randi sudah menyuruhnya kedua sahabatnya untuk diam.

"Baiklah, tidak perlu panjang lebar. Saya ucapkan selamat datang kembali untuk Bayu yang sudah menyelesaikan program pertukaran pelajar ke New York. Untuk Bayu, silakan naik ke podium."

Bayu dengan percaya diri langsung berjalan ke arah kepala sekolah. Dia memandang kedua sahabatnya.

"Sebelumnya, terima kasih atas waktu dan sambutannya. Tiga bulan saya di sana, saya menyadari bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh tertinggal. Jika dibandingkan dengan siswa-siswa di sana, kemampuan kita masih belum ada apa-apanya. Saya bersyukur bisa mendapat kesempatan belajar di luar negeri. Mempelajari sistem pendidikan dan sistem pergaulan antar pelajar di sana. Saya berharap program ini terus berjalan dan tidak hanya mengirimkan satu siswa, tapi, lebih dari satu siswa diberikan kesempatan yang sama juga. Terima kasih."

Suara riuh tepuk tangan mengakhiri pidato singkat Bayu. Terutama siswi perempuan yang sudah berteriak menyerukan namanya.

Setelah tertahan di aula hampir satu jam, kini Reza dan kawan-kawan sudah bisa kembali ke kelas. Sekelompok sahabat yang keberadaannya paling beken di sekolah itu berjalan beriringan. Saling merangkul dengan gayanya masing-masing.

Tawa Bayu terhenti, berganti seulas senyum tipis yang begitu memesona kala menemukan sosok gadis yang sejak awal dirinya kembali ke sekolah, sudah menyita perhatiannya.

"Cewek itu ..." gumam Reza pelan. Tanpa dia sadari, langkah kakinya sudah menghampiri rombongan Salma. Sampai di depan pintu kelas Salma, Reza berdiri menghalangi jalan gadis itu.

Salma menatapnya bingung. Dia tidak merasa mengenal laki-laki yangg berdiri menghadangnya ini. Beda dengan Salma, Dewi sudah menatap penuh kagum ke arah Reza.

"Kak Eja kenapa ada di sini?" tanya Dewi sedikit centil. Dita menggeplak kepala Dewi menggunakan topi miliknya.

"Ih! Apaan, sih, Dit?" bisik Dewi kesal.

Reza masih menatap tajam Salma. "Ikut gue."

"Salma mau lo bawa ke mana?" cegah Dita saat Reza secara sepihak menarik tangan Salma.

Reza menatap datar Dita yang tak mau kalah darinya. "Urusan gue sama dia, bukan sama lo."

"Salma sahabat gue, dan di sini, gue yang jagain Salma. Lo perlu izin dari gue."

Reza maju mendekati Dita. Dita menaikkan dagunya, menantang Reza lewat tatapannya yang tanpa gentar sedikit pun.

Baik Bayu, Dirga, maupun Randi hanya bisa melihat Reza. Mereka sebenarnya juga bingung kenapa Reza menghampiri Salma.

"Ja, lo ngapain di depan pintu anak kelas sepuluh?" tanya Bayu. Pandangannya langsung terkunci beberapa saat ke arah Dita yang enggan meliriknya.

"Wah, udah tahu cewek lo, Ja? Sekarang Bayu lo tinggalin?" seru Dirga. Randi menjitak keras kepala Dirga sampai laki-laki itu mengaduh.

"Kalian bisa bubar nggak, sih? Dan Senior Reza, bawa temen-temen lo pergi dari sini. Jangan menghalangi temen-temen gue masuk kelas." Dita membuka suara. Nadanya ketus. Merasa hawa tidak enak dari Reza dan Dita, Bayu langsung mengambil inisiatif berdiri di antara mereka berdua.

"Ehem, maafin Eja, ya, Dek. Ja, ngapain, sih, lo? Buruan ke kelas, jangan bikin ribut pagi-pagi."

Reza melirik orang-orang di sekitarnya. Genggaman di tangan Salma pun lepas. Tanpa kata, Reza berbalik meninggalkan Salma dan kawan-kawannya.

Setelah meminta maaf, Bayu dan sahabatnya langsung menyusul Reza. Dita hanya menatap kepergian seniornya itu dengan datar.

"Ja, tunggu." Bayu menarik bahu Reza. Keduanya baru keluar dari ruang ganti untuk pelajaran olahraga.

"Apa?"

"Lo kenal sama cewek tadi?" tanya Bayu sedikit ragu. Reza tersenyum miring.

"Siapa? Cewek yang ada di depan lo tadi, atau cewek tomboy yang ada di sebelahnya? Siapa namanya? Dita, ya?"

Bayu terdiam. Memang tidak ada gunanya berbasa-basi dengan Reza. Karena hanya dia yang benar-benar tahu masa lalu Bayu.

"Dia udah ada di depan lo, terus mau lo diemin sampai kapan?" tanya Reza. Suaranya sudah tidak semenyebalkan tadi.

"Gue ... entah, Ja."

Keduanya duduk di bangku yang ada di pinggir lapangan. Guru olahraganya belum datang. Randi dan Dirga juga belum kembali dari ruang ganti.

"Lo tolol, Bay. Mumpung orangnya ada, kenapa nggak lo kejar lagi? Jangan jawab kalo lo nggak pantes buat dia atau kata-kata menjijikan yang lain. Kayak sinetron aja."

"Dia udah nolak gue, Ja," jawab Bayu.

"Oh, jadi, teman yang lo maksud kemarin itu, dia?" Bayu mengangguk sebagai jawaban.

"Lo itu cowok paling ambisius di SMA Cakrawala, Bay, bahkan lebih dari ambisinya Randi sekalipun. Lo deketin pake cara yang sama yang pernah lo lakuin ke dia dulu."

Bayu terdiam sejenak. Kemudian dia tersenyum. "Gue bakal deketin Dita lagi. Sekalian, gue cari tahu tentang cewek yang lo taksir itu."

"Cewek mana maksud lo?"

"Alah—"

"Semuanya berkumpul! Kita mulai pelajaran olahraga hari ini." Baru saja Bayu ingin meledeknya, guru olahraga mereka sudah tiba dilapangan, lengkap dengan beberapa bola voli.

••¤¤••

"Eh, tunggu! Duh... lepas! Kamu nyakitin aku!" Reza melepas cengkramannya. Salma terlihat sedang mengelus pergelangan tangannya yang sedikit memerah.

"Kamu itu cowok, jangan kasar sama cewek. Kamu dihujat, pasti bakal dihujat banyak malaikat kalau sampai nyakitin cewek," ucap Salma. Keduanya kini sedang ada di taman belakang. Tempat di mana kali pertama mereka bertemu.

"Siapa aja yang tahu?" tanya Reza tanpa basa-basi. Salma mengerutkan kening.

"Tahu? Siapa yang tahu? Apa?"

"Nggak usah pura-pura lupa. Lo udah cerita ke siapa aja soal yang di taman belakang?"

"Taman belakang ap ... Oh! Tangan kamu sakit? Ada obat, aku punya. Mau obat?"

Reza menepis tangan Salma saat hendak menyentuhnya, "Apaan, sih? Jawab aja pertanyaan gue."

"Nggak ada, aku nggak bilang apa-apa ke siapa aja, kok."

"Argh! Bikin puyeng aja lo." Reza mengacak rambutnya, "Lo bayi? Ngomong yang jelas."

"A-aku ...." Salma tergagap. Ditatap sedemikian tajam membuat dirinya yang kadang gelagapan berbicara makin terbata.

Reza masih menatapnya. Mereka masih belum juga berjarak. Salma mulai bertanya, kapan Reza mau bergerak mundur barang satu atau dua langkah saja? Posisi mereka agak berbahaya, mengundang dugaa-dugaan negatif kalau dilihat dari arah belakang.

"Lo kenapa?" tanya Reza dengan nada sedikit lembut.

Salma menarik napas perlahan, "Aku nggak ada ngomong apa-apa soal itu."

"Awas sekali-kali lo bocorin, termasuk ke sahabat lo yang mulutnya ember semua itu."

"Em ... der ... em apa? Aku nggak paham."

Reza memandang aneh ke arah Salma. "Lo kenapa, sih? Dari tadi ngomong nggak jelas. Kosakata lo jelek banget."

"Ma-maaf, aku berusaha. Disleksia."

Reza membeku beberapa saat, di tatapnya mata Salma berharap gadis di hadapannya ini sedang membohonginya. Namun, tidak, gadis ini tidak berbohong. Dia jujur.

"Aku susah menganalisa suatu peristiwa. Aku juga susah membedakan mana huruf 'b' dan 'd'. Aku susah menghafal jalan dan nama orang," jelasnya.

Reza masih berdiri kaku di depannya. Tak tahu harus merespon apa.

"Tapi, ada kabar baiknya," lanjutnya. Salma lantas tersenyum manis." Sifat pelupa aku udah lebih baik dari dulu. Buktinya, aku bisa ingat kamu."

Angin yang entah kenapa terasa sejuk langsung menerpa keduanya. Menerbangkan anak rambut Salma hingga harum sampo khas bayi miliknya tercium di indera penciuman Reza.

"Kenapa lo cerita ini ke gue?" tanya Reza.

"Ini rahasia kita, ya? Sebenarnya, penyakit aku ini memang sengaja aku sembunyikan, tapi, entah kenapa, aku ngerasa ini nggak masalah kalo cerita sama kamu."

"...."

"Ya Allah, aku lupa ada pelajaran olahraga!" seru Salma. Tubuhnya langsung seperti cacing kepanasan yang sedang kebingungan.

"Ikut gue," perintah Reza. Dia sudah berjalan lebih dulu. Namun, Salma masih diam di tempat.

"Ngapain lo malah diem di sana? Mau ikut nggak?" sentak Reza.

"E-eh? Mau kemana?"

"Ke jalan raya, nabrakin diri," jawab Reza asal dengan wakah jengkelnya.

Sumpah, ini cewek banyak tanya banget.

"Nggak!" teriak Salma. Gadis itu langsung menghampiri Reza dan berdiri di depannya, berniat menghadang Reza lewat.

"Ngapain lo? Minggir!" usir Reza

Salma menggeleng. "Nggak! Kamu nggak boleh macem-macem sama nyawa. Kamu gila, ya? Pake mau nabrakin diri."

Reza mendengus pelan. Ditatapnya Salma yang masih belum menyingkir dari hadapannya.

"Lo mau ngedrama? Bego lo jangan sampai ke akar-akar, kek! Ayo, ikut! Gue antar lo sampai depan gedung olahraga." Reza langsung menarik lengan Salma untuk mengikutinya. Salma hanya pasrah saja ditarik-tarik.

"Dasar tukang bohong." bisik Salma.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status