Siang itu, mereka selesai membagikan sekerat buat-buahan kepada tetangga terdekat. Tidak ada satupun yang mengenali Bella sebagai pemimpin baru di Negeri ini, bukan karena teknologi belum memasuki desa ini, tetapi karena penampilan perempuan itu yang jauh berbeda dari yang digambarkan media.
Inilah kehidupannya yang asli. Jauh sebelum dia mengetahui siapa identitas dirinya sebenarnya.
Dan Ilham Azimi, putra tertua keluarga konglomerat di kota Pusat, tidak mau Bella mengetahui lebih banyak mengenai dirinya dan masa lalunya. Ada sesuatu yang terjadi di masa itu, sesuatu yang membuat Bella tidak mengingat apapun karena ...
"Sayang?" Suara lembut istrinya membangunkan lelaki itu dari tidur siang sejenak.
Ilham mengucek sebelah matanya. Sebenarnya dia tidak tertidur sejak tadi, melainkan sibuk berpikir tentang rencana selanjutnya. Mereka tidak mungkin terus berada di sini sementara di Istana, semua sedang berperang memperebutkan tahta.
Termasuk p
Dua belas tahun yang lalu, ketika usianya baru menginjak tujuh tahun dan baru masuk sekolah, Ilham ingat diajak Ayahnya ke rumah seseorang. Di jalan dia bercerita banyak hal tentang sekolah barunya yang seolah tidak begitu digubris oleh sang Ayah yang fokus menyetir."Ayah, dengarkan aku, dong." Mulutnya cemberut. Kedua pipinya yang gempal dan putih seperti bakpao jadi tambah menggemaskan. Membuat siapa saja yang melihatnya merasa senang, namun agaknya berbeda dengan sang Ayah."Maaf, nak. Diamlah dulu, Ayah sedang menyetir dan tidak bisa mendengarkanmu." Bicaranya yang formal dan kaku, serta keengganan untuk menatap anaknya meski hanya sekilas, membuat Ilham sadar bahwa dia bukanlah apa-apa di mata Ayahnya.Ayahnya adalah orang yang diam-diam sangat ambisius. Memang semuanya diperuntukkan untuk keluarganya, dan juga dapat memberikan apapun yang Ilham inginkan. Kecuali kasih sayang dan perhatian.Sampainya mereka di depan bangunan yang teramat besar, mega
Suasana gedung sekolah SMA High Pros mendadak ramai kala deringan bel berbunyi menandakan waktu istirahat pertama. Tiga lantai keatas mulai dipadati anak-anak berseragam putih denganvest marunmelintasi lorong dan anakan tangga, berlomba-lomba menuju kantin. Ada juga yang masih di kelas, membuka bekal sambil mengobrol bersama. Kelas 12-A mulai sepi. Bella memandangi langit sekilas dibalik kaca-kaca yang sejak tadi pagi diterpa angin kencang. Suasana dingin masih terasa sisa hujan gerimis tadi pagi. Tiga jam pertama dilewati dengan menahan lapar di depan Miss Vera, guru Bahasa Inggris yang banyak bercerita tentang masa mudanya-DALAM BAHASA INGGRIS! Otomatis membuat Bella harus pasang telinga baik-baik, mengentaskan rasa lapar bahkan haus dari dirinya. Berbeda dengan Aiko, Nabilla, ataupun anak-anak peringkat kelas lainnya yang setiap hari mengikuti bimbingan belajar yang mahal diluar, dirinya harus belajar secara mandiri seserius mungkin. Tidak ada
Namanya Bella Almera Mulia, yang tentu saja nama akhirnya berasal dari marga Kerajaan Besar Mulia. Merupakan putri pertama dari Pangeran Kahlil Mulia yang diasingkan sejak usia dua belas tahun terkait keamanan Negara yang saat itu terancam oleh kudeta Raja sebelumnya. Namun, hari ini Raja Nazeh yang berkuasa akan segera menurunkan tahtanya kepada cucu pertama dari anak pertamanya itu. Sesuai Undang-Undang Istana, jika Pangeran pertama meninggal dunia maka digantikan oleh anak pertama dari Pangeran tersebut. "Kazem." Suara Sang Raja takzim hendak bertanya kepada pengawal setianya itu, "Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat? Kami bahkan tidak pernah memanggil keluarganya kembali ke Istana setelah sekian lamanya." "Yang Mulia," Kazem menundukkan kepalanya saat memberikan pendapat bahwa pertimbangan Raja adalah yang utama, sementara beberapa bulan belakangan ini Dewan Penasihat Istana sudah merundingkan hal ini. Hasilnya adalah kesepakatan untuk mengangkat
Bella pulang sebelum matahari turun dari permukaan langit yang oranye kemerahan. Sungguh sore yang cerah. Limosin yang mengantarnya tidak sampai ke depan rumah karena terpentok oleh gang yang sempit, berhenti agak jauh dari sana. "Kazem," Bella memanggil Pengawal itu yang kini balas menatapnya. "Tolong jangan bilang apapun soal yang kamu lihat di ponselku tadi kepada Kakek, ma-maksudku Baginda Raja, ya." Kazem tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Baik." "Juga," Bella melanjutkan, "Apakah saat di sekolah tadi ada anak kelas tiga yang melihatmu datang?" Mereka berdua sama-sama terdiam. "Sepertinya tidak, bukankah anak kelas tiga sedang ada pelajaran tambahan?" Kazem balas bertanya. Kini Bella yang mengangguk, "Oh iya, benar. Lain kali, tolong jangan datang ke sekolahku. Kita bertemu diluar saja, boleh?" "Baik." Bella lantas turun, kakinya kembali menapaki tanah jalanan yang becek. Aspal sudah berhenti seja
Keesokan paginya, suasana masih sama; pagi yang dingin berembun disertai sisa-sisa gerimis semalaman, jalanan yang becek sebelum menginjak bagian berasapal di dekat sekolah, hingga tatapan tidak peduli anak-anak yang dijumpainya. Bella, masih orang yang sama. Baik itu sikap diam yang ditunjukkannya, maupun sikap teman-teman kepadanya. "Hei." Aiko, yagn tumben sudah datang pagi-pagi, lebih dulu berdiri di samping mejanya. Diikuti lirikan anak-anak gengnya. Bella terkesiap.Seingatku semalam sudah bayar,pikirnya. "Aku sudah mentransfer balik kelebihannya." Gadis berkuncir kuda itu berkata ambil menahan gengsi, namun raut wajahnya mengerut, "Kamu kok, bisa punya uang segitu banyak? Kelihatannya gak pantas banget deh, untuk kamu." Melihat Bella masih belum memberikan reaksi apa-apa, Aiko tambah geram ingin sekali memancingnya. Anak super manja yang menjadi perhatian seisi sekolah itu, bergerak mendekati wajah Bella. Menatapnya
Oh iya, sore nanti acara peringatan hari kematian Ayahnya akan diadakan di rumah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, para tetangga akan membawakan makanan untuk tuan rumah yang sedang berduka. Begitulah budaya di Negeri ini. Satu hal yang baru Bella sadari adalah, acara ini selalu bertepatan dengan acara penggalangan dana di Istana. Dihadiri oleh para pejabat, selebriti, serta tokoh masyarakat terkemuka diatas karpet merah. Sejak tiga tahun lalu, "Galang Dana Nasional" selalu menjadi berita paling populer menjelang akhir tahun. Hal tersebut secara kebetulan nyambung dengan fakta bahwa mendiang Ayahnya sangat dermawan dan suka membantu orang yang kesulitan. Bella tidak pernah melihat Ayah keberatan untuk menebarkan kebaikan kepada orang-orang di sekitarnya. Apakah itu mungkin acara ... "Bella?" Suara Miss Claire menegur lamunan panjangnya. Begitu Bella mengangkat tatapan kepadanya, "Boleh kamu jawab soal di depan ini?" Kebetulan itu soal
"Nak!" Ibu memanggil dari dapur, sehingga Bella yang sedang menata minuman air mineral di ruang tamu tergopoh-gopoh menghampirinya. "Ada apa, Bu?" Bella sedikit panik mendengar nada tinggi Ibunya itu. Tidak seperti biasanya. "Apakah kamu yang mengubahdress codeacara hari ini jadi seperti ini?" Rupanya Ibu selalu memantau acara Istana tersebut lewat ponselnya. Sesuatu yang tidak Bella ketahui sama sekali sejak tahun-tahun lalu. Acaranya disiarkan secara live di kanal Istana. "Bu, jadi Ibu selalu menontonnya?" Bella bertanya sambil tidak percaya. "Ini kamu yang mengubahnya?" Ibu tetap ngotot bertanya, tidak menghiraukan pertanyaan Bella barusan. "Ya." Jawab Bella singkat. Sebelum bergerak mengambil nampan minuman lagi di belakang punggung Ibu. "Apa-apaan sih, kamu!" Tiba-tiba saja omelan Ibu terdengar memenuhi dapur, membuatnya terlonjak di tempat dan menatap dengan mata membesar, "Itu warna kesukaan Ay
Menjelang malam, jam pelajaran tambahan baru saja berakhir. Ini adalah waktu belajar terlama yang pernah dirasakan Bella, karena sebelumnya dia pasti sudah bersantai di rumah sepulang sekolah. Kedua langkahnya yang besar-besar itu dipercepat kala melewati jalanan yang mulai rusak diantara rumah-rumah warga yang cukup padat. Ladang-ladang jagung telah jauh dilewatinya, sepi diikuti gemerisik angin yang membuat bulu kuduk merinding. Sampailah dia di depan pekarangan rumah yang temaram cahaya lampu. Rupanya Ibu sudah menunggu sembari menuliskan sesuatu di buku penjualannya. Wajah renta itu kembali bersinar mendapati anak kesayangannya telah pulang. Senyumnya terulas lebar saat hendak bangkit untuk menghampiri Bella, jika seandainya anak itu tidak menghampiri duluan. "Bagaimana di sekolah? Apakah mereka masih merundungmu?" Tanya Ibu, setelah membantu melepaskan tas dari punggung lelahnya. Bella menggeleng disertai cengiran kecil, "Tidak, tidak lagi