Share

Rahasia Sang Antagonis
Rahasia Sang Antagonis
Author: Lan Terie

Bab 1 Perjodohan

"Jawabanku tetap sama, Ma. Aku tidak ingin dijodohkan dengan siapapun, " tegas Andrian sembari tetap memandang ke luar jendela. 

"Mama melakukan ini demi kebaikan kamu. Karena Mama teramat menyayangi kamu."

"Ma, 16 tahun lamanya aku duduk di kursi roda ini. Aku merasa tidak berguna. Tidakkah Mama berpikir bahwa perjodohan ini semakin menunjukkan betapa aku tak bisa melakukan apapun hingga urusan  percintaan aku tak bisa memilih. "

"Mama sudah menunggu lama, tapi... . "

Nyonya Retno tidak melanjutkan kalimatnya. Ia segera menyadari bahwa kalimatnya nanti akan melukai perasaan Andrian. Ia lalu menghela napas. Terdengar berat. Lalu pergi meninggalkan Andrian yang masih terpaku. Andrian membeku menatap kosong pada taman di halaman rumahnya yang ditata rapi. Hatinya yang memar semakin berkecamuk. 

Nyonya Retno segera memberi tahu para pelayan agar tidak mendekati kamar Andrian. Ia takut, ada pelayan yang akan menjadi sasaran kemarahan Andrian. Biasanya, jika suasana hati Andrian sedang tidak  nyaman, ia akan melampiaskan amarah pada apa saja dan siapa saja. 

Nyonya Retno bukan tak tahu hal tersebut salah, tapi ia mencoba memahami anaknya yang tertekan selama ini. 

"Aarrgggghhhh......," Andrian berteriak memecah keheningan ruangan. Terdengar suara guci dipecahkan. Tentu saja ini bukan kali pertama Andrian bersikap seperti itu. 

Para pelayan yang mendengar itu ketakutan. Mereka bahkan tidak berani mendekat ke pintu kamar. 

"Tuan Andrian marah lagi, kita harus waspada. Jangan sampai membuat kesalahan, " ujar seorang pelayan. 

"Perempuan mana yang mau jadi pendamping orang yang pemarah seperi itu. Sungguh malang orang yang nanti jadi istrinya, " sambung pelayan yang lain. 

"Ehem, tidak baik mengosipkan orang yang memberi kita makan, " suara Pak Bejo, sopir pribadi Nyonya Retno menghentikan pergunjingan para pelayan. 

Pak Bejo menuju ke kamar Andrian. Ia ingat hari ini Andrian minta diantar ke suatu tempat. Pak Bejo masih terdiam di depan pintu kamar Andrian. Ia ingin memastikan tak ada lagi bunyi teriakan atau pecahan barang. 

Ketika itu, Jesica istri adik Andrian, Thomas melewati  lorong kamar Andrian. "Kenapa Bapak berdiri saja di situ? Seperti biasakan? Orang gila itu mengamuk lagi?" Jesica menungging senyum sinis. 

Tak nyaman dengan pernyataan tersebut, Pak Bejo hanya tersenyum tanpa menjawab. Jesica pun berlalu. Pak Bejo mengetuk pintu dengan perlahan. 

Ketikan pertama tak ada jawaban. Pun dengan ketukan ke dua. Hening saja. Pak Bejo tidak mengetuk ketiga kali dan menyimpulkan bahwa mungkin Andrian tidak mau diganggu. 

"Krek..., " terdengar suara pintu terbuka saat Pak Bejo membalik badan. 

Andrian tak bersuara, hanya menggerakan kursi rodanya melewati Pak Bejo. Tak perlu bertanya, Pak Bejo sudah paham sinyal itu dan mengikuti Andrian dari belakang. 

Pak Bejo membantu Andrian masuk ke mobil sedan hybrid Lexus LS 500h berwarna hitam pekat. 

"Kita ke sana lagi, Tuan. "

Andrian mengangguk. Setiap tahun, pada tanggal 13 September, Andrian akan mengunjungi tempat itu. Tempat yang menurutnya menjadi awal kehancuran kehidupannya. Tempat saat sebuah mobil menabraknya dari belakang lalu meninggalkannya yang bersimbah darah di jalan. Kelak Andrian akan mengetahui bahwa peristiwa 16 tahun lalu yang menyebabkan kelumpuhannya bukanlah kecelakaan. 

Andrian turun dari mobil kemudian duduk di kursi roda dibantu Pak Bejo. Sebuah film tayang di benak Andrian. Film tentang seorang remaja lelaki yang kalau itu sedang berjalan sendiri. Ia kemudian mendengar namanya dipanggil dari arah yang tak diketahui. Ia menoleh mencari sumber suara hingga posisinya agak ke tengah jalan. Saat itulah, Tiba-tiba sebuah mobil menabraknya. Kejadian begitu cepat, ia tak mampu mengingat mobil yang menabraknya. Saat tergelatak, pandangannya tiba-tiba kabur dan saat ia sadar ia sudah berada di rumah sakit. 

Di rumah sakit, ia sudah dikelilingi para medis. Wajah kedua orang tuanya tegang. Samar ia mendengar dokter berkata "Sangat disayangkan, kakinya..... "

Andrian terlalu lemah kalau itu untuk mendengar jelas seluruh percakapan dokter. Ia hanya yakin ada masalah dengan kakinya. Benar saja, ia menderita paraplegia yaitu kelumpuhan anggota gerak dimulai dari panggul ke bawah akibat cedera saraf tulang belakang. Cedera saraf yang dideritanya akibat kecelakaan  tersebut mengakibatkan ia tidak bisa berjalan. 

Tangan Andrian gemetar memegang sandaran lengan kursi rodanya. Giginya gemeretak. Matanya membesar memerah antara akan menangis dan terlampau marah. 

Pak Bejo yang tegak di sampingnya menengadah ke langit. Dilihatnya tampak mendung menggantung pertanda hujan akan turun. Kilatan cahaya langit beberapa kali memendar meski belum disertai gemuruh. Pak Bejo lalu melihat pada Andrian yang sepertinya belum memberi tanda bahwa akan beranjak dari tempat itu. Pasrah, Pak Bejo tetap tegak di sisi tuan mudanya itu. 

Andrian menekan tuas di sisi kanan stand up wheelchairnya hingga posisi tubuhnya terangkat setengah berdiri. Ia melepas sabuk kursinya perlahan. Pak Bejo mengambil posisi siaga menjaga tuannya. 

Andrian mencoba melangkahkan kakinya. Namun, rupanya tungkai kakinya tidaklah mampu menopang tubuhnya. Seketika Andrian terjerembab. Dengan sigap Pak Bejo berusaha meraih tubuh Andrian. Andrian menepisnya dengan kasar. 

"Arrgghhh di mana yang namanya keadilan dalam hidup ini?" Andrian berteriak. 

Pengendara dan pejalan kaki yang melintasi tempat itu memperhatikan adegan tersebut. Ada yang segera memalingkan wajah berpura-pura tak melihat. Ada pula yang berbisik-bisik. Ada yang menatap iba dan mencoba membantu, tetapi Pak Bejo memberi kode dengan tangannya agar tak ada siapapun yang mendekat. 

"Kenapa kalian semua. Belum pernah melihat seorang yang lumpuh? Apakah ini menjadi tontonan menarik untuk kalian semua, " suara Andrian menggelegar penuh amarah membuat orang-orang ketakutan kemudian bergegas meninggalkannya. 

"Aku sungguh tidak berguna. Mengapa Tuhan tidak langsung saja mengambil nyawaku pada waktu itu. Mengapa Tuhan membiarkan aku menjadi orang cacat. Aku menjadi aib bagi keluarga bahkan ayahku sendiri malu memiliki anak sepertiku," Andrian terus berteriak menggugat Tuhan. 

Rupanya gugatan itu dibalas dengan tumpahan air teramat deras dari langit. Andrian membiarkan tubuhnya basah dan terus menepis Pak Bejo yang berusaha keras memaksa Andrian masuk ke mobil. 

Andrian terus berteriak di bawah langit yang menangis. Air mata langit dan air mata penuh marah Andrian berpadu. Hingga akhirnya ia kehabisan tenaga dan Pak Bejo berhasil membawanya masuk. 

Pak Bejo mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi membelah jalanan basah. Ia tak lagi peduli jika tindakannya dapat membuat orang lain tercirat air. Ia hanya ingin segera sampai di rumah agar tuan mudanya tidak kedinginan. Dari spion depan, Pak Bejo dapat melihat bibir Andrian yang membiru. Namun lebih dari itu, Pak Bejo dapat melihat cerminan seorang pemuda malang yang terus mengutuki diri dan tak bisa bangkit dari keterpurukan. 

"Tuan harus jadi orang yang kuat. Di luar sana masih banyak orang yang bahkan harus berjuang antara hidup dan mati untuk bisa makan. Kita semua punya takdir hidup masing-masing, Tuan harus kuat."

"Hahaha, lihat, bahkan kamu yang seorang sopir mampu menasehati aku. Memang aku seorang yang bodoh sampai-sampai sopirku harus menyemangatiku. "

"Saya tidak bermaksud demikian, Tuan. Saya hanya tidak ingin Tuan menyiakan hidup."

"Hidupku sudah lama tersia-sia. Sejak kecelakaan itu. Bahkan ayahku sendiri tak lagi bersikap seperti seorang ayah. Baginya hanya Thomas anaknya."

"Tidak benar begitu, Tuan. Tuan Tito sangat menyayangi Tuan. Itu hanya karena Tuan menutup diri untuk membaca kasih sayangnya. "

"Sudahlah, jangan membela Papa. Aku tahu bapak tangan kanan Papa. Bapak dibayar untuk patuh dan setia pada Papa."

Pak Bejo diam saja. Ia tak mau berdebat dengan tuannya yang sedang dikendalikan amarahnya. Lama hening, Pak Bejo kembali membuka percakapan. 

"Maafkan kalau saya lancang. Tapi... Apakah tidak lebih baik kalau Tuan menerima tawaran Nyonya Retno untuk dijodohkan? Mungkin, jika Tuan punya anak.... "

Pak Bejo urung melanjutkan kalimatnya, karena ia menebak Andrian akan semakin murka. 

"Maksud Bapak, jika aku punya anak, Papa akan senang dan melirikku lagi sebagai anaknya? Hahahahah. Begitu lucu hidup ini. Aku harus menikah dan punya anak dari sesorang yang  bahkan aku tidak kenal dan cinta hanya untuk mendapatkan perhatian Papa yang telah tercuri dariku sekian lama."

Lagi-lagi Pak Bejo diam. Ia tak mau memperpanjang suasana keruh di dalam mobil. Ia mempercepat laju mobil. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status