Rahman menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh Alana. Pria itu langsung mengenali mobil tersebut benar milik majikannya.
"Ya, Nyonya. Itu adalah mobil Tuan Ronald," jawab Rahman serba salah.
Sebagai sopir pribadi Ronald ada kode etik yang harus dijaga Rahman terhadap majikannya itu. Namun fakta di lapangan membuat Rahman tidak bisa menutupi semuanya dari Alana.
Alana segera berlari ke resepsionis dan menanyakan kamar yang dipesan Ronal. Ia menunjukkan bukti bahwa Ronald sedang berdiri di meja resepsionis seperti mengorder kamar hotel.
"Maaf, Bu. Kami tidak bisa memberikan informasi tamu hotel kami pada Ibu," tolak resepsionis hotel tersebut.
Alana segera mengeluarkan sebuah kartu member Platinum dari beberapa jaringan hotel bintang lima di Indonesia. Kartu itu adalah sebuah tanda keanggotaan eksklusif yang membuat setiap pegawai hotel harus memberikan pelayanan ekstra pada pemilik kartu.
"A-ah ... jadi Ibu adalah member Platinum ya. Se-sebentar saya carikan. Atas nama siapa, Bu?" tanya petugas resepsionis itu berubah ramah.
Alana lalu memberikan foto KTP Ronald yang tersimpan dalam handphone pribadi miliknya. Semua foto dan salin dan berkas-berkas penting memang tersimpan dalam folder khusus di handphone Alana.
"Bapak ada di lantai 8 kamar nomor 810, Bu," jawab resepsionis itu takut-takut.
Alana hendak berlari menuju lift dan naik ke lantai tempat Ronald memesan kamar. Segala kecurigaan paling jahat muncul di kepalanya. Alana sudah berpikir akan menggedor pintu hotel dengan penuh emosi dan menangkap basah suaminya yang sedang bermain gila.
"Nyonya, tunggu! Jangan gegabah, Nyonya. Saya dampingi Nyonya, jadi saya mohon Nyonya tetap tenang dan jangan emosional." Rahman mati-matian mengejar Alana dan menjejeri langkahnya.
Pria itu nampak takut Alana lepas kendali hingga berbuat hal-hal yang berbahaya. Ia tidak ingin kerjadi keributan di hotel yang membuat pasangan suami-istri ini malu.
"Kau punya adik atau kakak perempuan, Man? Bagaimana perasaanmu jika saudara perempuanmu diperlakukan seperti ini? Atau bagaimana jika bapakmu mengkhianati ibumu seperti yang dilakukan Ronald padaku!" sergah Alana yang wajahnya sudah sembab karena berlinang air mata.
"Sa-sabar dulu, Nyonya! Siapa tahu kenyataannya tidak seperti yang kita duga," cegah Rahman saat Alana sudah bergerak keluar dari lift.
Wanita itu berjalan sangat cepat bahkan hampir setengah berlari. Ia mencari dengan tak sabar kamar nomor 810. Tak butuh waktu lama kamar yang dicari kelihatan juga. Alana berdiri mematung untuk beberapa saat di depan kamar itu.
Wanita cantik itu mengetuk pintu kamar 810 dua kali. Sebuah ketukan cukup tenang bagi seorang wanita yang baru saja terguncang jiwanya karena mengetahui kabar perselingkuhan suaminya.
Hening ... tak ada jawaban. Alana lalu mencoba mengetuk pintu kamar sekali lagi dengan ketukan dan interval yang lebih kencang. Sementara Rahman hanya mematung di belakangnya.
"Permisi, room service," ujar Alana dengan suara ditekan setenang mungkin dengan tujuan agar orang di dalam kamar itu tidak curiga.
Hening! Kembali tak ada jawaban dari dalam kamar. Suasananya bahkan jauh lebih hening seperti tidak ada orang di dalam.
Alana mencoba mengetuk pintu kamar itu beberapa kali lagi sampai akhirnya ia menyerah dan habis kesabaran. Alana hampir meminta Rahman untuk mendobrak pintu kamar itu, ketika seorang pegawai hotel lewat dan menanyakan pada mereka apa yang terjadi.
"Maaf, Bapak-Ibu. Ada yang bisa saya bantu? Mengapa bapak dan ibu membuat kedahduhan di depan kamar ini?" tanya petugas hotel tersebut.
Rahman mengernyitkan dahi dan memandang penuh curiga pada petugas hotel itu. Matanya menyapu sepanjang lorong, lalu kembali melirik pria di hadapannya dengan seragam pegawai hotel itu dari atas ke bawah.
"Saya lupa meminta kunci pada resepsionis di bawah. Saya baru saja jalan-jalan dengan sepupu saya ini dan sepertinya suami saya tertidur sangat nyenyak di dalam sehingga saya tidak bisa masuk," jelas Alana yang dalam sepersekian detik mampu mengarang sebuah narasi yang sempurna.
Petugas Hotel itu tersenyum tanpa ada rasa curiga sedikit pun pada Alana dan Rahman. Pria itu lalu mengambil HT dari kantong pakaiannya dan menghubungi resepsionis di lantai bawah. Setelah menunggu beberapa saat muncullah seorang pegawai hotel yang lain membawakan kunci kamar nomor 810.
"Maafkan sudah menunggu lama, Ibu. Silahkan Ibu sudah bisa masuk," ujar petugas hotel itu ramah sembari mempersilahkan Alana membuka pintu.
"Terima kasih, ini untuk beli rokok," ujar Alana sembari menyelipkan dua lembar seratus ribu ke tangan salah satu petugas hotel tersebut.
Klek! Kriet! Alana membuka pintu bersiap akan menyergap suami beserta selingkuhannya. Namun apa yang dilihat Alana di depan pintu langsung membuatnya berteriak histeris.
"Aaarghh! Tidak!" jerit Alana membuat terkejut orang-orang yang ada di depan pintu itu. Beberapa orang bahkan langsung keluar dari pintu kamarnya telinga-celinguk untuk melihat apa yang terjadi.
"Nyonya, apa yang terja—"
Rahman sebenarnya ingin menanyakan pada Alana apa yang terjadi. Namun pemandangan di depan matanya saat berdiri di belakang Alana membuat Rahman ikut berteriak kaget bercampur ketakutan.
"Ya Tuhan! Apa itu!" pekik Rahman terkejut.
Sikap Alana dan Rahman sontak membuat dua petugas hotel itu penasaran. Mereka lalu ikut menengok untuk melihat ke dalam kamar. Sama seperti Rahman dan Alana, keduanya kemudian terkejut hingga memekik ketakutan.
Pemandangan yang terhampar di depan mereka dari dalam kamar 810 sungguh sangat mengerikan. Ada banyak sekali bercak darah di lantai dan tembok. Alana yang sudah masuk ke dalam malah melihat dengan kepalanya sendiri pemandangan yang lebih menakutkan.
Terdapat sesosok tubuh yang tertelungkup di atas tempat tidur dengan pakaian setengah telanjang. Sosok tubuh itu bersimbah darah sambil meringkuk seperti menahan kesakitan. Rahman sudah hampir bergerak maju untuk memeriksa, tetapi dua orang petugas hotel itu dengan sigap menahannya.
"Tunggu, Pak! Jangan menyentuh apa pun! Kami akan segera memanggil polisi." Salah satu petugas hotel itu mengingatkan Rahman untuk tidak bergerak dari posisinya. Ia kemudian turun ke resepsionis untuk mengabarkan apa yang terjadi pada kawannya. Harus ada seseorang yang memanggil polisi saat itu juga.
"Saya ingin melihat wajahnya! Apakah ini benar suami saya atau bukan," pinta Alana memohon hampir memaksa.
"Jangan, Bu! Kita tunggu petugas kepolisian datang saja," larang petugas hotel yang masih tertinggal di dalam kamar.
Mendengar jawaban sang petugas mata Alana langsung memerah. Nyalang wanita itu menatap pria di hadapannya itu. Tangannya lalu terangkat dan telunjuknya langsung diarahkan tepat di hadapan wajah sang petugas hotel.
"Kau ini tidak tahukah bagaimana perasaanku? Aku ini istri dari pria yang bersimbah darah itu. Bagaimana bisa kau melarangku memastikan bahwa tubuh ini benar suamiku?" bentak Alana penuh kemarahan. Wanita itu segera maju untuk bergerak mengangkat bantal yang menutupi setengah tubuh Ronald. Ia ingin melihat benar sosok yang terbujur kaku di hadapan mereka itu adalah Ronald. Namun rupanya Rahman lebih cekatan. Pria itu segera maju mendahului Alana dan mengangkat bantal tersebut. Pemandangan yang selanjutnya mereka lihat sungguh membuat Alana syok hingga jatuh terduduk dan menangis meraung-raung. "Ro-ro ... Ronald! Itu suamiku, Man!" seru Alana terkejut. "Ronald, ka-kau! Apa yang kau lakukan di tempat ini? Mengapa sampai harus meregang nyawa seperti ini?" jerit Alana di sela isak tangisnya. Rahman mendekap tubuh sang Nyonya agar tidak bergerak menyentuh jasad sang suami yang sudah kaku dan membiru tersebut. Petugas hotel itu benar mereka tidak boleh menyentuh apa pun hingga polisi ti
Alana terbangun dengan kondisi kepala pening. Ia baru bisa tidur sebentar setelah salat subuh tadi. Sekarang tubuhnya terasa begitu berat.Untungnya ada asisten rumah tangga yang membantu Alana untuk menyiapkan kebutuhan anak-anak Alana. Jadi meskipun Alana tak turun tangan, anak-anak masih ada yang menyiapkan kebutuhan mereka sebelum berangkat sekolah. "Ronald," desis Alana sambil menahan air mata. Alana sebetulnya berharap, kejadian semalam hanyalah mimpi buruk saja. Namun sebuah panggilan telepon membuat Alana harus meyakini bahwa Ronald memang benar-benar mati terbunuh dengan sangat tragis."Dengan Ibu Alana?" sapa sang penelepon dengan sopan."Ya benar, Pak," jawab Alana sambil mengerjapkan mata."Bu Alana, bisakah Ibu ke kantor polisi segera untuk memberikan keterangan lebih lanjut? Kami membutuhkan itu untuk membuat BAP," jelas sang penelepon yang sepertinya dari kepolisian tersebut.Alana menghela napas berat sebelum memberikan jawaban atas pertanyaan si penelepon. Seluruh d
"Aku sudah bilang pada Kak Lana. Aku ini Maria, istri kedua Mas Ronald!" tegas Maria tak gentar. Wanita muda berpakaian seksi itu terlihat berani menghadapi Alana yang terlihat gusar dan emosional. Maria justru lebih tenang dibanding Alana. "Mana buktinya kalau kau adalah istri kedua suamiku? Aku tak bisa mempercayaimu begitu saja," pinta Alana pada Maria. "Ada, aku punya bukti! Tunggu akan kutunjukkan pada Kak Lana!" tegas Maria sambil membuka ponsel smartphone miliknya dan mulai menggulirkan layar untuk mencari foto-foto yang menunjukkan kedekatannya dengan Ronald. Alana meremas jemarinya kesal. Belum juga reda kesedihan dan rasa penasaran atas kematian Ronald. Kini muncul masalah baru yang dibawa wanita bernama Maria itu. "Ini, lihatlah! Ini foto pernikahan siriku dengan Bang Ronald," ujar Maria kemudian. Alana memperhatikan layar smartphone milik Maria dengan saksama dan teliti, mencoba mencari kebenaran dalam deretan gambar digital di dalamnya. "Foto itu tidak menunjukka
Bab 7 "Halo, Bik. Saya masih repot di luar rumah. Ada apa ya?" tanya Alana menyapa. "Nyonya, ada situasi genting di rumah. Tuan Muda Milan mengamuk dan menghancurkan perabotan di ruang tamu," jelas sang asisten rumah tangga yang tengah menelepon Alana tersebut. "A-ada apa, Bik? Kenapa putraku melakukan itu?" tanya Alana seketika menjadi panik. "Tuan Muda Milan su-sudah tahu bahwa Tuan Ronald meninggal, Nyonya," jawab sang asisten rumah tangga terbata-bata. Alana melirik Rahman yang nampak kikuk berada di sampingnya. Pria itu seperti menunggu perintah dari sang Nyonya untuk bergerak. "Ya sudah, coba tenangkan Milan. Saya akan segera pulang," ujar Alana yang kemudian menutup telepon. "A-ada apa, Nyonya? Apa ada masalah?" tanya Rahman seolah bisa membaca gurat kekhawatiran di wajah Alana. Alana menghela napas berat sebelum memerintah Rahman untuk bertindak. Wanita itu terlihat lelah namun tak punya waktu untuk beristirahat. "Jalan, Man. Kita pulang ke rumah. Milan sudah tahu ba
"Lana sepertinya kau harus segera berangkat ke rumah sakit sekarang. Ada beberapa hal yang harus kau setujui sebelum jenazah Ronald bisa di bawa pulang," ujar Om Prasodjo sangat baik hati. "Oh ... apakah harus sekarang, Om? Saya masih akan menemani Milan makan siang dulu. Kebetulan ini Lana ada di rumah," sahut Alana meminta sedikit penundaan. "Baiklah kalau begitu. Tapi jika kau terlambat itu tandanya kau tak bisa melihat wajah suamimu untuk yang terakhir kali loh," jelas Om Prasodjo pada Alana. Alana jadi berpikir ulang untuk menunda-nunda lagi. "Baiklah, Om Pras. Lana segera berangkat ke sana saja. Bilang petugasnya untuk menunggu Lana dulu sebelum mengambil tindakan selanjutnya," ujar Alana sambil segera bersiap. "Mami mau ke mana? Katanya mau makan siang dengan Milan," protes Milan saat melihat Alana sudah akan pergi."Ada urusan yang sangat penting di rumah sakit, Milan. Mami harus segera ke sana untuk memberi persetujuan. Maafkan Mami tidak bisa menemanimu makan siang. Tap
"Om Pras, saya tahu Om adalah orang yang paling dekat dengan Mas Roanld. Mas Ronald juga banyak cerita tentang Om Pras. Jadi aku mohon jangan kejam padaku, Om," rengek Maria mencoba mencari simpati.Wanita itu lalu mulai menangis sesenggukan dengan bersimpuh di kaki Om Prasodjo. Om Prasodjo yang diperlakukan begitu oleh Maria jadi tak tega. Pria itu lalu mengangkat tubuh Maria. "Sudah, diamlah dulu. Urusanmu nanti akan aku pikirkan. Tapi untuk saat ini jangan mengacau, jangan mencari perhatian dengan dramamu dan jangan dulu muncul selama proses pemakaman Ronald," pinta Om Prasodjo pada Maria. "Om, saya ini istrinya. Bagaimana bisa Om berbuat demikian pada saya? Apa kalian memang bersekongkol untuk tidak mengakui saya sebagai istri kedua almarhum Mas Ronald?" protes Maria sambil beruraian air mata. "Wanita ini sepertinya memang sengaja tampil di saat kekacuan ini terjadi, Om. Kita suruh saja Rahman mengusirnya!" tegas Alana tak sabar. Wanita itu segera berdiri di antara Maria dan O
Tuan, mobil yang dikemudikan Rahman diikuti dari belakang. Sepertinya ada yang menjaga wanita yang dibawa Rahman tersebut] Om Prasodjo membagikan pesan yang dikirim orangnya pada Alana. Membuat wanita itu seketika menegang duduk di samping Om Prasodjo. "Bagaimana, Om? Apa Rahman akan baik-baik saja?" tanya Alana khawatir pada sopir suaminya itu. "Semoga, Lana. Kita tak bisa menghubungi Rahman. Rahman sedang bersama Maria. Berbahaya kalau kita berbicara dengannya," ujar Om Prasodjo sepertinya juga sedang berpikir bagaimana memberi instruksi pada Rahman. Dalam kondisi masih tegang tiba-tiba saja ponsel Alana yang berdering. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum Alana akhirnya memilih mengangkat telepon di handphone miliknya. "Halo, Bik. Ada apa lagi" tanya Alana yang tahu siapa peneleponnya dari nama kontak di handphonenya. "Nyonya, ada tamu dari ibu-ibu kompleks. Mereka ingin melayat karena mendapat informasi jenazah Tuan Ronald tiba dari rumah sakit hari ini," jelas asisten
Maria melirik Alana dengan senyum licik tersungging di bibirnya. Sayangnya wanita itu begitu pandai menyembunyikan senyuman dibalik tangisnya yang dibuat-buat itu. Sepertinya kali ini Maria memang sengaja memancing keributan. Entah apa motif wanita yang mengaku istri kedua Ronald tersebut. "Kak Lana, salahkah aku melihat jenazah suamiku untuk terakhir kalinya?" isak Maria sungguh tak tahu malu. Ya wanita itu memang sungguh ingin menarik perhatian semua orang hingga membuat Alana geram. Sikapnya seperti ingin membuat Alana semakin menderita. "Siapa dia, Bu Ronald? Apakah masih saudara Pak Ronald?" "Sepertinya bukan, aku tidak pernah melihatnya muncul di rumah ini." "Sepertinya bukan model wanita berkelas. Lihat saja tingkahnya begitu memalukan!" "Suami, dia bilang suami terhadap Pak Ronald. Apa mungkin dia adalah ...!" Orang- orang mulai berbisik sumbang. Para pelayat telah mempertanyakan keberadaan Maria. Siapa dia dan untuk apa wanita itu berada di sana? "Suruh saja dia masuk