“I follow you.”
Aku menggenggam pergelangan Jevin. Dia nyaris melangkah mengikuti rombongan tetua lainnya yang hendak berpencar ke jalanan mencari Vivian dan Dewa. Oh, bukan pasangan itu yang ingin dicari, melainkan Levinku. Persetan dengan pasangan sedeng itu. Kami semua tidak peduli. Fokus kami hanya berpusat pada keturunan Adendra dan Pratama.
“No!” tolak Jevin, lengkap dengan gelengan.
“Aku juga mau nyari Levin, Mas.” Aku memelas dan bangkit dari undakan tangga.
“Jena! Nurut sama suami!” tegur Mamaku.
“Iya. Kamu habis operasi, loh, kalau kamu lupa.” Mama Jennie ikut mengeroyokku.
“Tapi, Maaa ....”
“You must rest, Jena! Jangan nyusahin! Kalau kamu keras kepala dan tiba-tiba tumbang gimana? Pencarian Levin bisa terhambat gara-gara sebagian orang sibuk ngurusin kamu.”
Okay, sepertinya Mamaku sudah tidak bisa dibantah. Matanya sudah me
[Kamu ke mana, Na?]“Nyusul Jevin.”Aku memutar setir saat melintasi tikungan. Berkendara seorang diri tanpa penumpang. Mamaku menelpon ke HP-nya yang kucuri saat kabur dari rumah. Sementara HP-ku kutinggalkan di laci kamar yang kuncinya kubawa pergi.Sebenarnya bukan hanya HP Mama yang kubawa kabur, HP Mama Jennie, bibi-bibi di rumah, bahkan milik security pun kuboyong pergi. Total ada 8 HP di kursi sebelah yang kunonaktifkan semuanya.Kenapa aku mencuri? Nanti kujelaskan. Sekarang aku sedang membagi fokus menyalip truk dan bicara dengan Mama di telepon.[Astagaaaa! Anak ini bener-bener ... hish! Kamu, tuh, nyusahin orang tau enggak? Kenapa enggak duduk di rumah aja, sih? Jevin sama Papa pasti bisa bawa Levin pulang!]Aku berhasil menyalip truk. Beberapa meter di depan ada taksi argo dan mobil hitam yang menjadi sasaran selanjutnya.“Apa jaminannya, Ma?”Kuinjak pedal gas lebih dalam. Laju mobilku pun s
Demi Tuhan aku berjanji tidak akan pernah meragukan ucapan orang lagi.Sesaat sebelum melangkahi pintu vila, aku meragukan cerita Jevin. Hatiku menolak percaya kalau Dewa memegang senjata api dan pecahan guci berserakan di mana-mana.Menurutku, ceritanya sangatlah tidak realistis. Di kehidupan nyata seperti ini mana ada orang yang mau berurusan dengan senjata api? Ini bukan era peperangan! Bukankah kepemilikan senjata api termasuk tindakan ilegal di Indonesia? Kurasa Dewa masih cukup waras untuk tidak melanggar hukum. Lagipula apa yang terjadi sampai pecahan guci berserakan di mana-mana? Apakah Dewa menembak guci itu sampai hancur lebur untuk menakuti semua orang? Atau Vivian mengamuk seperti orang gila karena tidak mau melepaskan Levin?Semua pertanyaan yang berjubelan dalam pikiran membuatku nyaris kehilangan kepercayaan kepada Jevin. Aku bahkan percaya kalau semua ini hanyalah prank.Semua orang berkomplot mengerjaiku. Semua polisi yang kutemui tadi hany
Aku dan Vivian berhadapan. Saling melemparkan tatapan kebencian dan kemarahan.“Coba ulangi lagi!” pintanya menggeram.“Iblis. Man-dul,” ulangku penuh penekanan dan kuakhiri dengan seringaian.Pada situasi seperti ini aku tidak ingin terlihat lemah. Aku bukan bawang putih atau cinderella yang bisa diinjak-injak. Aku Jena Dheandra Pratama, pendatang baru dalam dunia peribuan yang rela melakukan apa saja demi mendapatkan kembali anak pertamanya. Rela melakukan apa saja itu termasuk ...“Oh my God!LEPASIN RAMBUT GUE, JENA!”Menjambak rambut musuh dengan penuh nafsu. Seperti mencabut rumput.“Lepas aja sendiri kalau bisa,” balasku santai, tapi sambil mengejan untuk mengumpulkan seluruh tenaga ke cengkeraman kedua tanganku di rambutnya. Aku tidak peduli dengan rasa sakit yang menyodok-nyodok jahitan perutku. Aku juga tidak peduli pada teriakan Dewa yang memintaku melepaskan rambut istrinya. &l
“Lah? Kok, ke sini? Mau jemput siapa?”Aku terheran-heran saat mobil berhenti di depan pelataran airport. Saat mengajakku pergi, Jevin memang tidak mengatakan ke mana tujuan kami. Bahkan ketika kutanya, dia mengeluarkan jurus andalannya, yakni diam seribu bahasa. Dia hanya menyuruhku mengenakan jaket dan membalut Levin dengan beberapa lapis selimut. Sekarang bayiku itu tertidur lelap di kursi paling belakang bersama Hanin, baby sitter-nya.Saat aku dirawat di rumah sakit, Jevin memutusan memakai jasa baby sitteruntuk meringankan bebanku. Aku setuju-setuju saja karena waktu itu kondisiku memang tidak bisa berbuat banyak untuk merawat Levin.“Enggak jemput siapa-siapa,” jawabnya tanpa mengalihkan fokus dari tablet. Entah apa yang dikerjakannya sejak tadi.“Enggak jemput siapa-siapa, kok, ke sini? Mau makan di sini? Atau jangan-jangan ... kamu mau pergi ke luar negeri lagi?”Ketika itu rasa bingungku bertambah
"Satu. Tidak boleh bertanya ke mana, di mana dan bersama siapa."Aku terdiam setelah membaca paragraf isi dari post-marriage requirements. Kutarik mataku dari lembaran kertas. Kutatap lelaki yang duduk di sofa seberang. Lelaki yang masih mengenakan setelan tuxedo lengkap dengan dasi kupu-kupu itu menyatukan kedua tangan di bawah dada."Perlu banget, ya, Mas, pakai beginian?"Kuguncang kertas HVS yang tidak berharga ini. Mungkin akan berharga jika isinya adalah pernyataan kepemilikan tanah. Kenyataannya, kertas ini hanyalah sampah tidak berguna dan justru menjadi momok yang menggelikan untukku."Masa aku enggak boleh nanya kamu ke mana, dengan siapa, dan semalam berbuat apa?"Ah, sepertinya otakku sedang melawak di situasi yang tidak tepat. Bagaimana bisa aku berhalusinasi mendengar reffrain lagu Kangen Band berjudul Yolanda, padahal tidak ad
Tiga bulan kemudian ...."Jangan bilang ke siapa pun kalau kamu hamil.""Ke Mamaku?"Jevin menggeleng."Ke Mama kamu?"Dia menggeleng lagi."Kenapa, Mas? Bukannya waktu itu kamu sendiri yang minta aku supaya cepat-cepat hamil? Terus kenapa sekarang aku diminta menyembunyikan kehamilanku seakan ini adalah aib?"Aku benar-benar bingung dengan pola pikir Jevin-unique, complicated, and unpredictable. Aku tidak pernah mengerti apa yang dia pikirkan. Kenapa ketika aku menunjukkan test pack dengan hasil positif dia tidak segembira yang kubayangkan? Kupikir dia akan mengangkat tubuhku tinggi-tinggi dan berputar-putar sembari mengucapkan terima kasih, lalu mengecup bibirku. Ya, seperti adegan klise yang dilakukan romantic couple dalam novel atau drama Korea. Namun, kenyataan yang terjadi justru di luar prediksi.Untuk ap
"Thankyou, Mas. Kamu baik juga ternyata," ucapku seraya menyandarkan punggung dan kepala ke dashboard ranjang.Aku membenahi jubah lingerie-ku yang terbuka di bagian paha. Sebenarnya aku bisa membiarkannya terbuka begitu saja. Namun, mengingat hari ini bukan hari dimana aku seharusnya mendapat jatah 'kepuasan', maka aku memilih menjaga diri. Jika mengumbar tubuh seperti tadi maka akulah yang tersiksa karena tidak mendapatkan jamahannya. Jevin benar-benar tidak menyentuhku selain hari Senin dan Kamis."Duuuuh, kamu, kok, sweet banget, sih, Mas? Coba kamu sering-sering kayak gini. Bisa mealting terus aku," ucapku saat Jevin menutupi kaki sampai pangkal pahaku dengan selimut.Seperti biasa, lelaki itu tak berniat menanggapi ocehanku yang tidak bermutu. Mata sipit itu jarang menatapku sekalipun kami berhadapan sedekat sekarang. Ekspresinya juga tak berubah, masih kaku seperti
“Hah? Tiga hari?”Aku memekik tak percaya. Kukorek kuping kananku yang sedang ditempeli HP. Semoga saja tadi aku salah dengar.[Iya, Jena. Tiga hari.]Aku berdecak kesal, lalu menjatuhkan diri ke sofa ruang keluarga yang berada di sebelah kamar.“Enggak bisa, Man. Tiga hari itu terlalu mepet. Kategori yang dikerjakan juga banyak banget, ‘kan? Medsos, photo collage, greeting card. Bisa keder gue kalau ngerjain itu semua sendirian dalam waktu tiga hari. Mana masing-masing kategori minimal 5 desain. Wah! Ini kelihatan banget, sih, pengin bunuh gue.”Beberapa saat yang lalu, aku sedang asyik mendesain template cover book untuk edisi bulan Maret nanti. Aku mendapat mandat dari Bos Yudha by phone karena mulai Senin kemarin aku sudah Work from Home alias bekerja dari rumah. Tidak sulit bagiku mendapat izin WFH karena Jevinlah yang turun ta