“Mas! Mas Jevin! Maaaaaas!”
Aku meringis sebal karena panggilanku tak ditanggapi, padahal lelaki itu tidak sibuk. Dia justru sedang menonton berita politik yang menyebalkan.
“Mas, kalau istri manggil itu nyahut, dong! Aku, ‘kan, butuh perhatian,” protesku yang pada akhirnya ditanggapi dengan lirikan datar. Itu pun singkat saja. Setelah itu, dia kembali menatap layar datar di depan sana.
Aku menghela napas, lalu menopang pipi sambil memasang muka cemberut. Aku menyerah. Mengajak Jevin bicara di saat dia tidak mau hanya akan membuang waktuku. Mending aku mengisi kekosongan waktu dengan mengkhayal makan durian atau minum air kelapa sambil memandangi gulungan ombak di laut.
Aku beranjak dari sofa. Niatnya, sih, ingin mengambil HP yang tertinggal di kamar, lalu kembali lagi. Namun, langkahku tercekal gara-gara tangan yang mencengkeram pergelanganku. Tentu saja tangan itu milik Jevin.
“Kalau mau bicara atau minta sesua
“Tck! Kok, kepala gue pusing banget, sih?” dumalku sambil memijat dahi. Aku sedang berdiri di depan wastafel kamar mandi. Salah satu tanganku berpegangan di putaran keran karena sebelumnya tubuhku sempat merasa oleng.Sebelumnya, setelah sarapan bubur ayam buatan Bi Rahmah, aku memuntahkan semua isi perutku. Biasalah, morning sick.Setelah merasa lebih baik, rencananya aku ingin meninggalkan kamar mandi. Nyatanya hingga detik ini aku masih terkurung dalam kamar mandi yang terkunci karena tubuhku merasa terombang-ambing seperti terbawa arus ombak ketika berada dalam kapal.Ini memang bukan yang pertama kali. Mual, muntah, dan pusing adalah makanan sehari-hariku sejak hamil. Namun, kali ini rasa pusingku lebih parah dari sebelumnya. Aku bahkan merasa gemetaran. Debaran jantungku pun lebih cepat dari keadaan normal.“Duduk dulu, deh,” putusku sambil berpindah perlahan ke bawah wastafel. Aku duduk dengan kaki berselonjor, mata terpejam
HB rendah. Itulah satu-satunya alasan pihak rumah sakit menyarankanku di-opname. Alasan itu jugalah yang katanya membuatku mengalami pusing parah.Sebenarnya jika tidak ada alasan itu pun Jevin akan tetap menginapkanku di rumah sakit ini. Dia pasti malas merawatku sendirian. Setidaknya kalau di sini, ‘kan, ada suster-suster cantik yang stand bymerawatku.Oh, ya. Soal bercak kecokelatan di celana dalamku, kata dokter itu bukanlah masalah besar. Janinku baik-baik saja. Aku hanya perlu beristirahat dan menerima beberapa suntikan untuk menaikkan HB-ku.“Mas, kamu enggak ngomong sama Mama-Papaku, ‘kan?” tanyaku ketika Jevin masuk kamar inap sambil memainkan HP. Barusan dia keluaruntuk menjawab telepon. Entah dari siapa.Jevin menggeleng. “Mau saya kasih tau?”“Kalau kamu mau aku ketahuan hamil sih, it’s okay,” tantangku sambil menggedikkan bahu.Kupikir Jevin tidak memberikan balas
Aku :Kangeeeeeeen!Pulang dong MasGak ada kamu, gak ada yg enak dipelukAku membekap mulut, malu sendiri membaca chat yang kukirimkan pada Jevin.“Gatel banget, sih, gue? Iiii!” Aku bergidik, merasa jijik pada diri sendiri.Ini adalah hari ke dua Jevin berada di Jepang. Katanya, sih, ada pertemuan dengan calon investor yang tertarik ingin memberikan modal tambahan kepada Stencilindo. Aku tidak bertanya dia pergi bersama siapa karena teringat dengan syarat pernikahan. Aku juga tidak ingin menanyakan berapa lama dia di sana. Aku takut jika mengetahuinya maka aku akan menghabiskan hari untuk menghitung mundur waktu yang terasa lambat. So,kupikir lebih baik tidak tahu daripada terus menunggu.Aku meletakkan HP-ku di meja, lalu mengambil remote untuk menyalakan TV. Kebetulan saat TV menyala, drama favoritku sedang tayang, Mr. Queen. Aku langsung exciteddan memasang mode menyimak. Ya, walaupun aku tid
'Ini yang bikin masalah siapa, kenapa malah gue yang tanggung jawab jelasin ini dan itu? Tck! Salah gue juga, sih. Harusnya gue enggak ikut-ikutan masalah beginian. Jadi ribet sendiri, ‘kan?'Akhirnya kupaparkan semua informasi yang kuketahui, baik itu dari Jevin atau pun Vivian. Dewa menyimak dengan serius, bahkan tak bergerak bagaikan patung yang tengah berpikir keras.Setelah ceritaku selesai, Dewa merapatkan punggung ke sandaran, lalu mengurut dahi. “Berarti itu anak saya,” gumamnya rendah, tapi masih terdengar sangat jelas di telingaku. Spontan saja aku terbelalak, terkejut dengan pengakuan itu. “Saya dan Vivian memang pernah melakukan ‘itu’ sebelum nikah. Tapi, saya enggak pernah tau kalau dia hamil. Pantesan aja dia mendesak minta dinikahi. Ternyata ....”Aku malas meminta Dewa menjelaskan skemanya secara mendetail. Aku memilih untuk diam sebentar untuk memahami maksud ucapannya barusan.'Jadi, anak yang di
Akhirnya aku merasakan bagaimana rasanya melahirkan seorang diri, tanpa suami dan keluarga. Sialnya, aku lupa membawa dompet dan sengaja meninggalkan HP gara-gara kesal dengan Jevin. Gara-gara tak ada satu pun kartu identitas yang kubawa, akhirnya pelayanan yang kudapatkan sangatlah terlambat. Di saat aku sibuk bergelut dengan rasa sakit, seorang suster wanita malah gentol menayaiku nama, alamat, dan nomor HP keluarga yang bisa dihubungi."Sakit, bangsaaat!"Itulah umpatan frontal yang beberapa waktu lalu kuucapkan lewat mulut. Ya, aku memang semarah itu pada si suster. Aku lagi kesakitan, loh! Kenapa harus ditanya-tanya hal yang bisa ditanyakan nanti?Sepertinya kemarahanku meluber ke mana-mana. Semua tim medis tidak ada yang benar di mataku.Aku membenci perawat tua berkacamata yang bawelnya sudah seperti host acara gosip! Aku juga membenci perawat laki-laki yang menusuk jarum infus di tanganku dengan tidak berhati-hati. Sepertinya dia menyamakan
Jevin diam, tidak berkata apa-apa dan tidak bergerak ke mana-mana. Wajah yang biasanya kosong dari ekspresi itu sekarang justru terlihat menahan amarah. Tulang rahangnya mengencang dan kedua tangannya menggumpal erat.'Apa dia mau mukul gue?'Dugaan itu sirna seiring dengan kepalan tangan Jevin yang perlahan terurai. Aku melihat dengan jelas bagaimana dia mengembuskan napas sembari menunduk. Sepertinya dia sedang berusaha mengusir kemarahannya.“Kenapa masih di sini?”'Brengsek banget lo, Jena! Kenapa lo ngomong sekasar itu, sih? Sebenarnya lo kenapa?'“Keluar sana! Susul mantan lo! Ambil anak lo sekalian!”Air mataku mengalir deras dari kedua sudut mata. Sepertinya bantal yang menjadi alas kepalaku harus dijemur setelah ini agar kering dan tidak membentuk pulau-pulau kuning gara-gara ketumpahan air mataku.“Maaf, saya enggak bakal ke mana-mana!” tolaknya sambil menyimpan kedua tangan dalam saku cel
“Tolong dicatat baik-baik, saya enggak pergi berduaan sama Vivian. Saya sama Yudha, Atha, Vinsent, dan Gibran.”Aku terdiam mendengar fakta itu. Kupikir dia pergi sendiri. Ternyata semua directorsetiap divisi juga ikut.“Asal kamu tau, Vivian bukan menyusul saya. Dia ke Jepang karena satu-satunya negara yang dia rasa nyaman untuk menenangkan diriadalah Jepang. Saya sama dia cuma kebetulan nginap di hotel yang sama.”“Kebetulan ...” cibirku sambil tertawa. Alasan klise yang sering digunakan orang terpojok.“Kayaknya apa pun yang saya katakan terdengar seperti lelucon buat kamu, tapi itulah kenyataannya. Kalau kamu enggak percaya ...” dia berhenti untuk mengeluarkan HP dan memberikannya padaku, “... kamu bisa cek semua chat di HP saya.”“Buat apa? Paling yang secret-secretudah lo hapus,” jawabku sembari menempelkan benda pipih itu ke dadanya. Setelah itu kuhapus
Kesalahan yang dilakukan Jevin adalah pembelajaran berharga untukku. Jangan berjanji kalau tidak yakin bisa menepati. Jangan memberi harapan hanya untuk menyenangkan orang lain.Sekarang Jevin harus menanggung akibat dari janji yang dia buat. Vivian ternyata tetap menginginkan bayi yang kulahirkan. Bahkan Dewa yang semula mengecam perbuatan mantan istrinya sekarang malah ikut-ikutan menginginkan bayiku. Alasan mereka sederhana. Dewa memang sudah menalak Vivian, tapi orang tua mereka belum mengetahui permasalahan ini. Mereka sepakat rujuk dengan pertimbangan Mama Dewa dan Papa Vivian yang memiliki riwayat penyakit jantung.“Coba aja aku punya riwayat pernah mati suri atau serangan ginjal akut, mungkin aku juga bisa pakai alasan itu buat mempertahankan bayiku,” kataku pada Jevin yang duduk di pinggir ranjang sambil mengurut pangkal hidung. Ini adalah kali pertama aku melihat Jevin tampak tertekan menghadapi satu permasalahan.“Orang bego aja tau