Share

Bab 15

Ekspresi Kakek Muhar tiba-tiba berubah. Dia paling tahu dengan sifat cucunya itu. Dia menoleh ke arah cucunya, berharap bahwa itu semuanya hanya salah paham saja.

Namun, tubuh Candra telah gemetar dan kata-kata yang dia ucapkan tampak tergagap, "Aku ... aku nggak tahu, nggak tahu kalau dia wanitanya saudara Tuan Bowo ...."

"Kamu! Berengsek!"

Saking marahnya, Kakek Muhar langsung menamparnya dengan keras.

Wajah Herman dan istrinya juga memucat. Mereka tidak mengenal Tuan Bowo, tetapi mereka pernah mendengar reputasinya. Mana mungkin mereka tidak takut?

Apapun yang terjadi, dia tidak bisa mengabaikan cucunya begitu saja.

Kakek Muhar melangkah maju, berpura-pura tenang dan berkata, "Tuan Bowo, cucuku telah bersalah, tapi itu terjadi karena dia nggak tahu. Tuan sangat murah hati, tolong maafkan dia kali ini. Jangan khawatir, kami pasti akan memberi kompensasi."

"Baik. Berikan 200 miliar, lalu kami anggap masalah ini berlalu."

Apa? 200 miliar?

Herman dan lainnya langsung panik. Aset seluruh Keluarga Lianto hanya berjumlah sekitar 2 triliun. Jika mengambil uang tunai 200 miliar di masa sulit seperti ini, aliran modal mereka pasti akan bermasalah.

"Kenapa? Kalian nggak mau? Kalau begitu, aku akan bawa Candra pergi," kata Tuan Bowo dengan nada dingin.

Ketika Candra mendengar ini, dia ketakutan dan buru-buru berlutut, "Kakek, Ayah, Ibu, selamatkan aku, selamatkan aku ...."

"Sayang, jangan takut. Ibu pasti akan menyelamatkanmu."

Yesa tampak panik dan berkata, "Ayah, tolong selamatkan Candra."

Kakek Muhar menatap tajam ke arah Yesa. Ini terjadi karena sang ibu terlalu memanjakan putranya. Jika bukan karena Yesa, cucunya nggak akan seperti sekarang ini.

Apalagi, 200 miliar bukanlah jumlah kecil. Namun, setelah menggertakkan giginya, dia pun berniat untuk menyetujuinya.

Widia tidak tahan lagi dan berkata, "Tuan Bowo, adikku memang salah, tapi apa kamu nggak terlalu berlebihan dengan meminta 200 miliar kepada kami?"

Bowo berbalik dan menatap Widia dengan mata berbinar, "Sudah lama beredar kalau putri Keluarga Lianto sangatlah cantik. Setelah bertemu hari ini, ternyata kabar itu benar. Kalian nggak memberikan 200 miliar juga nggak masalah, sih. Asalkan Nona Widia bersedia menemaniku selama tiga hari."

Begitu mendengar kata-kata itu, wajah mereka tampak kusut. Bahkan, Candra juga tidak rela kakaknya dikorbankan.

Widia melirik Tobi sejenak. Pria itu hanya berdiri mematung saja.

Dia bahkan tidak berani mengucapkan sepatah kata pun. Widia belum pernah melihat pengecut seperti itu.

Namun, tak disangka, Tobi mulai berbicara.

"Jangan keterlaluan. Kamu pikir kamu hebat? Kalau masih berani ribut, aku akan melumpuhkanmu sekarang juga!"

Semua orang di Keluarga Lianto langsung panik.

Padahal, di saat ini, mereka seharusnya memohon pengampunan, tetapi Tobi malah mengejek dan ingin melumpuhkan lawan.

Bukankah hal ini sama dengan mendorong mereka ke jurang kematian?

Awalnya, Widia sempat marah pada Tobi karena pengecut dan tidak berani membantu. Namun, dia tidak menyangka pria itu bakal begitu ceroboh. Widia makin merasa kesal.

Apa otak pengecut ini bermasalah?

Namun, Tobi melanjutkan perkataannya, "Apa yang kalian takutkan? Bukankah Candra baru saja bilang kalau dia adalah penguasa tertinggi di Kota Tawuna dan kenal dengan banyak saudara hebat."

"Begitu dipanggil, mereka akan muncul dalam hitungan menit. Kenapa harus takut sama gangster kecil seperti ini? Candra, cepat panggil mereka, lalu habisi mereka. Kakak mendukungmu!"

Pfft!

Candra hampir memuntahkan seteguk darah segar.

'Sialan!'

'Apa kamu bodoh? Masa kamu nggak tahu kalau aku hanya membual?' pikir Candra dalam hati.

Kalau dia sehebat itu, dia tidak perlu takut seperti ini.

Widia dan yang lainnya hampir menangis. Apa karena ucapan Candra tadi, Tobi baru berani mengucapkan kata-kata kasar itu?

Dia terlalu naif.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status