Share

Bab 6 - Impian

Sejak pertemuannya dengan Han waktu itu, hidup Shiva mulai berubah. Ia menyelesaikan tugas rumah untuk mengumpulkan kayu kecil di hutan dekat rumahnya dengan cepat. Dalam perjalanan pulang, terkadang dirinya mengamati beberapa tumbuhan yang dapat dijadikan obat herbal. Mengingat dengan benar informasi seputar tanaman yang diberitahukan oleh Han.

Setelah semua tugas rumah selesai, ia menuju ke rumah Han yang berada di bagian timur desa. Wajahnya berseri dengan senyuman yang lebar. Karena suasana hatinya membaik, sesekali melompat kecil saat berjalan.

Sampai di depan pagar rumah Han, dirinya tidak langsung masuk dan bertemu. Ia mengintip dari balik celah pagar yang terbuat dari kayu. Sesuai perkiraannya, jadwal hari ini Han latihan pedang. Dan benar saja, di sana Han sedang berlatih dengan ayahnya.

Sebuah ujung pedang milik Han meluncur lurus ke arah ayahnya. Dengan sigap, sang ayah menghindar dari serangan Han. Melihat ada kesempatan, Kafui melancarkan serangan balik. Beberapa hunusan pedang melayang. Han tidak tinggal diam, ia berusaha keras menangkis semua serangan dan berhasil.

Shiva sedari tadi menyaksikan Han beradu pedang. Ia membeku, terbuai dalam kekaguman Han yang bertambah kuat. Ditambah Han berlatih tanpa baju sehingga memperlihatkan otot-otot yang sedikit membentuk, membuat wajah Shiva memerah. Ia tidak menyadari dirinya dapat dilihat dari tempat Han berada.

Kafui menghentikan serangan, mengatur napas dan menancapkan ujung pedang ke tanah. Ia sedikit kagum dengan perkembangan Han. Meskipun mengetahui anaknya tak dapat menggunakan sihir karena tidak memiliki mana, ia menaruh harapan besar pada anaknya itu.

“Kamu semakin bertambah kuat ya,” ucap Kafui tersenyum kecil.

Masih dengan napas terengah-engah, Han merespon seraya mengangguk. “Ini karena berkat latihan yang Ayah berikan.”

Han melirik ke arah tempat Shiva mengintip. Ia menyadari keberadaan gadis lugu itu yang sedari tadi mematung menyaksikan latihan pedang. Ada rasa ingin menyapanya, tetapi ini masih dalam waktu pelatihan, jadi Han mengurungkannya.

Berpikir bahwa anaknya sedang tidak fokus dalam latihan karena ada teman yang menunggu, maka Kafui menyudahi latihan lebih awal.

“Kita sudahi latihan hari ini,” ujar Kafui sembari menyarungkan pedangnya ke dalam sarung pedang.

Han menyerngit dan bertanya, “Tidak apa-apa, Yah? Ini masih banyak waktu sampai sore.”

“Kekuatan dan staminamu sudah bertambah ... jadi menurut Ayah, cukup latihannya.” Kafui mendekat ke arah Han dan menggoda. “Lagian ... kamu sudah ditunggu kekasihmu.”

Han hanya menyengit dan membatin. “Apakah orang tua boleh berkata seperti itu ke anaknya yang baru berumur 10 tahun? Di duniaku dulu anak kecil dilarang pacaran loh.”

“Ayah kembali dulu ke rumah ya, jangan pulang terlalu petang.” Kafui berjalan meninggalkan Han.

“Baik, Yah.”

Han menyarungkan pedangnya, menggantungkan pedang ke samping pinggang. Ia melangkah menuju Shiva. Terlihat wajah gadis itu berseri dengan kedua mata yang bulat besar.

“Kamu di sini sudah lama? kenapa tidak masuk, Shiva?” tanya Han.

Shiva menjawab dengan pipi memerah. “A-aku ... tidak ingin mengganggu latihanmu.”

“Tenang saja, tidak mengganggu kok. Hari ini mau bermain apa?”

“Entahlah, Aku tidak tau.” Shiva menggelengkan kepala.

“Ayo kita ke bukit itu lagi!” kata Han sambil berlari ke arah bukit.

Shiva mengangguk dan segera menyusul Han yang telah pergi lebih dulu.

Cuaca hari ini sangat bersahabat, cerah dan sejuk. Dua anak berlari melewati lahan gandum yang tidak lama lagi akan siap dipanen. Han berlari sembari mengulurkan tangan kirinya, sengaja menabrakkan ke gandum. Shiva meniru yang dilakukan Han, senyum mengembang lebar di wajah gadis yang sedang berbunga-bunga itu.

Setelah sampai di atas bukit, Han dan Shiva bernaung di bawah pohon yang rindang. Mereka mengobrol banyak hal tentang hari ini. Sesekali gelak tawa muncul dari kedua anak itu.

Beberapa menit kemudian, mereka berdua terdiam sembari menatap langit yang tertutup oleh kubah kaca. Shiva teringat hal yang pernah diceritakan oleh Han.

“Han ...,” panggil Shiva.

“Iya, Shiva. Ada apa?” Han menoleh ke arah Shiva.

“Apa kamu masih berpikir ingin keluar dari kubah kaca ini?”

“Tentu, cuma aku masih belum tau caranya,” jawab Han. “Apa kamu tau?”

Shiva menggeleng manja. “Belum tau.”

“Asal-usul kubah kaca ini juga masih misteri. Bahkan, si tua Colan yang sudah berumur 100 tahun lebih tidak tau kenapa kita di dalamnya.”

Shiva bingung ingin merespon apa. Pengetahuan yang dimiliki sedikit, membuatnya tak bisa berkata-kata. Tidak ingin berdiam terlalu lama, ia lalu melontarkan sebuah pertanyaan.

“Andai, jika kamu tau cara untuk keluar dari kubah ini dan berhasil keluar ... maukah kamu mengajakku bersamamu?”

Han tak langsung menjawab, ia tertegun sesaat, matanya saling bertemu dengan mata milik Shiva.

“Aku minta maaf jika ini terdengar egois, tetapi aku benar-benar ingin selalu bersamamu,” lanjut Shiva dengan pipi merona.

Wajah Han memerah. Ia bingung ingin menanggapi keinginan dari seorang gadis di dekatnya itu.

“Apa kamu benar-benar ingin ... pergi keluar dari kubah ini dan menjelajahi dunia luar ... bersamaku?” tanya Han.

Shiva mengangguk dengan senyum tipis.

“Baiklah kalau begitu.”

Mendengar jawaban tersebut, Shiva sangat bahagia. Ia lalu melompat ke atas tubuh Han dan memeluk erat-erat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status