Juna mendelik. Astaga, Diva sangat konyol sekali. Baik pegawai apalagi pemilik butik tidak akan menanyakan pertanyaan yang tidak penting seperti itu. Mereka tidak akan mau mengurusi masalah pelanggannya. Lagi pula, ia sudah pernah datang ke butik itu saat mengukur tuxedo yang akan dikenakannya di hari pemberkatan dan resepsi setelahnya. "Bisa kasih alasan yang masuk akal nggak, sih, Be?" tanya Juna memutar bola mata jengah. "Alasan kamu itu konyol banget, tau, nggak, sih, Be?" Gemas, Juna mencubit pipi Diva yang tak lagi terlihat pucat. Sudah beberapa hari ini pipi mulus itu terlihat selalu merona, bukan karena pemerah pipi, melainkan karena Diva yang tersipu. Diva membelalak. "Sakit!" katanya judes, menepis tangan Juna yang masih berada di pipinya. "Ya, habisnya kamu lucu banget, sih. 'Kan, aku gemes jadinya." Juna terkekeh. Diva tersenyum misterius, sebelah alisnya terangkat. "Sebab kamu udah nyubit pipi aku, kamu harus ikut kita pergi ke butik!" "What?" Diva tidak merespons
Bandung merupakan salah satu kota yang ramah lingkungan di tanah air. Udaranya yang sejuk, ditambah dengan pemandangan yang indah, dan kuliner yang memanjakan lidah menjadikan Bandung sebagai salah satu destinasi wisata yang banyak didatangi para wisatawan. Itulah salah satu alasan kenapa Juna memilih Bandung sebagai tempat pemberkatan pernikahannya, selain tentu saja karena Oma dan Opa Dirgantara yang tinggal di kota kembang. Dengan konsep garden party, pesta yang hanya dihadiri oleh keluarga dan orang-orang terdekat memilih warna putih sebagai dress code.Semua ide Diva, dengan Barbara yang sedikit meracuni otaknya. Sejak dulu, Barbara menginginkan pesta pernikahan Juna mengambil tema winter garden party. Sebuah tema yang aneh karena tidak akan ada orang yang mau mengadakan pesta kebun ketika musim dingin. Ide Barbara memang selalu ekstrem, beda dari yang lain. "Nggak perlu gugup kali, Va. Juna nggak bakalan gigit lo!" omel Echa melihat Diva yang mondar-mandir ke sana kemari di da
Pesta resepsi digelar pada malam harinya di sebuah hotel berbintang di ibu kota. Banyak tamu undangan yang hadir, selain rekan bisnis dari kedua keluarga mempelai, juga teman-teman mereka semasa sekolah dulu. Di antara teman-teman sekolah mereka yang hadir adalah Tasya. Meskipun tidak percaya, tetapi Tasya tetap datang sekedar hanya untuk memastikan karena undangan bukan berasal dari Juna atau Diva, melainkan dari Nora. Lagi pula, tak ada angin, tak ada hujan langsung ada undangan pesta resepsi pernikahan pria yang dicintainya. "Beneran datang ternyata!" Sejak awal memasuki lobi hotel, dada Tasya sudah berdegup kencang. Tubuhnya terasa panas dingin, keringat tak hanya membasahi pelipis, tetapi juga punggungnya yang polos. Dia sengaja mengenakan gaun hitam ketat dengan tali spaghetti yang terbuka di bagian punggung dan memiliki belahan dada yang rendah. Sengaja, agar tak terlihat seperti seseorang yang patah hati jika benar ini adalah pesta pernikahan Juna. Seruan dari suara yang s
Aku sayang kamu, Be. Janji, ya, nggak pernah tinggalin aku!Diva duduk dengan cepat. Mimpi itu datang lagi, bersama senyuman samar seorang laki-laki. Diva memegang dadanya yang berdebar. Selalu seperti ini, jantungnya selalu berdebar keras seperti seseorang yang berlomba setiap kali mimpi itu datang. Sudah sepuluh tahun dan semuanya tidak berubah. Mimpi itu selalu datang sejak dia terbangun dari koma dan kehilangan ingatannya. Diva mengembuskan napas kuat dari mulut, menyandarkan punggung pada kepala ranjang. Mata bulatnya melirik ke arah nakas, mengintip jam digital yang berada di atas sana. Sekali lagi Diva mengembuskan napas. Masih pukul tiga dini hari, pagi masih beberapa jam lagi, tapi dia tidak akan bisa memejamkan mata kembali. Seperti biasa, setiap mimpi itu datang dia akan tetap terjaga sampai pagi tiba. Diva meraih botol air mineral di balas sebelah kanannya, tepatnya di sebelah jam digital. Membuka tutupnya dan meminum isinya sampai setengah bagian. Dia sangat haus. Mimpi
Sebenarnya Diva tidak masalah dengan semua yang didapatnya sekarang ini. Masih belum mengingat masa lalu dan semua orang yang dikenalnya juga dia tidak terlalu memikirkan. Satu-satunya yang menjadi masalah di dalam hidupnya adalah mimpi yang selalu datang setiap malam. Mimpi yang sama, seseorang yang memintanya untuk tetap bersama dan tidak meninggalkan walau apa pun yang terjadi. Yang dia yakin sebagai bagian dari masa lalunya. Diva sangat ingin mengingat kembali, atau setidaknya dia tahu siapa laki-laki di dalam mimpinya. Dia sangat ingin tahu apa arti laki-laki itu baginya. Sayangnya, kepalanya sangat sakit sampai rasanya ingin meledak setiap dia berusaha mengingat. "Kamu yang tenang aja di sana. Fokus sama penyembuhan kamu, jangan mikirin yang lain dulu. Ingat, 'kan, apa kata dokter Rebecca, kalo ingatan kamu pasti bakalan balik lagi."Jeda, Mama menarik napas. Wajahnya yang masih terlihat cantik terlihat sedikit menegang sedetik, lalu di detik berikutnya menekuk. Semuanya tak
Jakarta dengan segala kemacetan dan kesibukannya sudah menjadi makanan sehari-hari bagi warganya. Mereka tidak akan heran lagi. Begitu juga dengan Diva. Ini adalah pertama kali dia menginjakkan kaki di ibu kota tanah air setelah sekian tahun lamanya tidak pernah pulang. Meski baru sekali tapi rasanya sudah sangat familiar. Tentu saja seperti itu, 'kan? Dia lahir dan dibesarkan di sini. Diva merentangkan kedua tangan lebar, menghirup udara ibu kota yang dirindukannya. Udara Jakarta begitu berbeda dengan New York. Meski sama-sama kota sibuk dan tidak pernah tidur, udara Jakarta memiliki arti lebih baginya. Dia merasa lebih nyaman. Diva menstop sebuah taksi yang kebetulan memang singgah di depannya. Meminta sopir mengantar ke tempat yang disebutkannya. Sungguh, semua ini terasa tidak asing. Diva merasa dia sudah sering melewati setiap jalanan yang kini dilewatinya. Diva memijit pelipis saat taksi yang ditumpanginya melintas di depan sebuah gedung apartemen mewah. Samar sebuah bayangan
Tergopoh pria itu memasuki rumahnya. Ia bahkan memerlukan bantuan sopirnya untuk membukakan pintu mobil. Ronny Wijaya juga memerlukan bantuan Sang Sopir untuk memapahnya masuk. Kabar mengejutkan dari asisten rumah tangganya membuatnya nyaris syok. Bagaimana mungkin putri tunggalnya berada di rumah? Sungguh, Diva sangat nekat, pulang ke tanah air tanpa memberitahu. Entah apa yang ada di dalam pikiran putrinya. Apakah Diva tidak tahu betapa mereka yang berada di sini selalu mengkhawatirkannya? Bukannya ia tak ingin berkumpul bersama putri tunggalnya kembali, ia hanya tak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Diva. Seperti kejadian ini, misalnya. Sungguh, ia tak dapat memaafkan dirinya sendiri kalau putrinya sampai kenapa-kenapa."Gimana Diva, Ma?" tanya Ronny setengah berteriak kepada Della, bahkan ia belum mencapai lantai dua masih berusaha menaiki tangga. "Diva beneran pulang?" Della bergegas keluar kamar mendengarnya, semakin panik melihat suaminya yang dipapah oleh Pak Tono, sopir
Sudah lebih dari sepuluh tahun, tetapi ia masih belum dapat melupakannya. Mimpi buruk itu selalu datang berulang, bagai kaset rusak yang akan selalu memutar adegan yang sama. Adegan di mana ia kehilangan perempuan yang paling dicintainya. William Arjuna Dirgantara mengusap wajah kasar. Sama seperti malam-malam biasanya setelah mimpi itu datang, ia pasti terbangun dan tak pernah bisa lagi memejamkan mata. Kali ini pun sama, mimpi buruk itu membawa kantuknya pergi. membuat keinginannya untuk tidur sudah tidak ada lagi. Juna mengulurkan tangan ke arah nakas, meraih dua buah benda yang ada di sana. Jam digital dan sebuah pigura berukuran sedang dengan bingkai emas. Foto seorang gadis mengenakan seragam sekolah tersenyum manis menghiasi pigura itu. Juna meletakkannya di dada, memeluk erat seolah memeluk gadis yang ada di dalam foto. Tak peduli dengan dadanya yang kembali terasa ditindih bongkahan batu besar, juga bulir-bulir bening yang menuruni sudut matanya yang terpejam, ia akan terus