Olivia keluar ruangannya pagi-pagi sekali. Bukan karena ia terbiasa bangun pagi, melainkan karena semalam Olivia memang tidak bisa tidur. Tidak tahu kenapa Olivia mendadak susah tidur akibat terkena sindrom terlalu senang akan bertemu dengan Si Kembar. Setelah mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian Lussi, Olivia bergabung bersama dengan Elok di balkon belakang di mana Lussi telah duduk manis sambil menikmati brownies dengan teh rosella sebagai pelengkapnya.
“Akhirnya bangun juga, Anti Via,” sahut Lussi saat melihat Olivia turun dari tangga. “Nggak disangka-sangka baju lamaku masih muat ternyata sama kamu,” cetus Lussi saat melihatnya.
“Lumayan. Kenapa? Iri? Sekarang kamu gendutan sih, Lu,” kata Olivia yang langsung dijawab pelototan maut oleh Lussi. Olivia tidak bisa menahan tawanya. Olivia memeluk sahabat yang telah dianggapnya seperti keluarga itu dengan limpahan rasa kangen. “Si Kembar ke mana?” tanya Olivia lagi masih disela-sela pelukannya. “Aku sudah kangen berat. Mereka kamu ajak, kan?”
Lussi mengangguk. “Anak-anak memang nggak mengenal apa itu capek ya. Baru juga sampai langsung minta Bapaknya bersepeda keliling area komplek. Dasar bapaknya ya diturutin saja maunya Si Anak. Awas saja nanti malam minta plesteran koyo,” jawab Lussi.
Olivia tertawa. “Kukira kamu ke sini sama sopir. Si Bapak ikut juga toh ternyata,” kata Olivia sambil mengurai pelukan. “Ada acara apa kalian semua datang kemari? Maksudku sekarang bukan musim liburan juga, kan?”
“Kami berdua khawatir denganmu, Via. Kata Mama kamu jarang mampir ke rumah. Terakhir kali itu adalah enam bulan yang lalu. Ya kan, Ma?”
Elok mengangguk pelan sembari membelai lembut pucuk kepala Olivia. “Via sudah bilang ke Mama kok, Lu. Maklumin saja sekretaris itu pasti banyak sibuknya. Mama sudah omelin dia kemarin seharian. Jadi kamu nggak perlu khawatir.”
Senyuman Elok mengandung sejuta arti untuk Olivia. Elok tengah membantunya mencarikan alibi untuk bebas dari interogasi Lussi dan suaminya yang sedang menuju kemari. Namanya jodoh kita tidak pernah ada yang tahu dan duga. Apa kehendak Tuhan dan dengan siapa kita berjodoh nanti semuanya adalah benar rahasia-Nya. Sama halnya seperti Lussi dan Reihan. Mereka berdua akhirnya memutuskan menikah tanpa tahu kapan tepatnya mereka berdua menjalin kasih. Tahu-tahu saja Olivia menerima undangan dari tangan sahabatnya dengan cengiran kuda khas Lussi. Reihan, anak semata wayang Elok itu adalah bekas cinta pertama Olivia dulu saat mereka sama-sama masih dibangku SMA. Begitu banyaknya hal yang terjadi sehingga cinta itu kini telah berubah menjadi cinta antar saudara. Olivia dan Reihan tumbuh bersama sejak kecil. Ke mana-mana mereka selalu bersama. Mungkin karena alasan itulah benih bernama cinta mekar dihati Olivia. Ditambah lagi sifat Reihan yang penuh perhatian menambah kesan spesial dimata Olivia. Kedua orangtua mereka adalah teman satu kampus. Tapi sayangnya Olivia tidak pernah tahu bagaimana rupa dan kasih sayang dari Sang Mama. Olivia hanya mengenal pelukan Elok dan Ambar hingga saat ini. Sedangkan Sang Papa, Olivia tidak pernah tahu di mana rimbanya.
“Mamaaaaaaaa ....”
Dua anak laki-laki berparas serupa berlarian menyerbu ke arah Lussi dan langsung membuat gaduh suasana kediaman Elok pagi itu. Lussi menghujani kedua anak laki-lakinya itu dengan ciuman lembut yang membuat mereka tertawa karena geli.
“Habis dari mana sama Papa?” tanya Lussi pada salah satu anaknya.
“Dali keliling-keliling, Ma,” jawab anak Lussi serempak dengan riang.
“Sekarang mandi sama Mama dulu yuk. Nggak malu tuh sama Anti Via kalau Aro sama Ara bau acem. Tuh lihat! Anti Olivia sudah cantik.”
“Anti Via?” ulang Si Kembar kemudian menoleh secara bersamaan ke arahnya.
Olivia menahan tawa ketika melihat kelucuan kedua anak kembar Lussi dan teman kecilnya itu. Devandro Lureih dan Deliandra Lureih.
“Anti Viaaaa ....”
Devandro—Sang Kakak menghambur ke pelukan Olivia kemudian bergelayut manja.
“Anti Via kenapa tidak pelnah main ke lumah Alo? Alo kan kangen,” protes Devandro.
“Iya, Anti. Anti Via halus seling-seling ke lumah Ala juga,” tambah Deliandra.
“Pekerjaan Anti banyak jadi belum sempat ke rumah Aro sama Ara. Tapi sekarang Anti Via kan ke sini main sama kalian.”
Devandro mengangguk cepat lalu kembali memeluk Olivia erat-erat. “Alo sayaaaaang sama Anti Via.”
“Ala juga sayang ....”
“Dari semalam mereka merengek-rengek minta ke kamarmu. Sampai Bapaknya harus turun tangan baru mereka mau diam.”
Olivia memeluk Devandro dan Deliandra sama eratnya sehingga membuat bocah gembul itu menggeliat. Kemudian selang beberapa saat Reihan muncul dengan kaos penuh lumpur dan keringat. Tentu saja wajahnya juga tidak kalah berlumpur.
“Aro, Ara, mainnya nanti lagi ya. Sekarang mandi dulu. Papa ada perlu sama Anti Via.”
“Tapi Alo masih mau main sama Anti Via, Pa,” protes bocah gembul itu.
“Kalau mandinya sama Mama, mau?” Lussi bangkit dari duduknya lalu berusaha mengambil alih dua anak kembarnya dari pelukan Olivia.
Namun sayangnya bocah gembul itu tidak mau melepaskan dekapannya dan malah semakin bergelayutan manja pada Olivia.
“Ala saja yang mandi sama Mama. Alo masih mau di sini.”
Deliandra menggeleng cepat sambil menarik tangan mungilnya yang sempat diraih Lussi dan beralih semakin mendekatkan tubuh gembulnya pada Olivia karena merasa keberatan.
“Ala juga mau di sini sama Alo dan Anti Via. Ala masih mau main sama Alo.”
Devandro Sang Pembangkang, dan Deliandra Sang Pengikut. Kombinasi yang kompak.
Namanya juga anak kembar. Apa-apa pasti maunya berdua, batin Olivia.
“Aro, Ara, kalian mau Papa marah?” Reihan tiba-tiba meninggikan suara. “Nggak Papa ajak keliling naik sepeda lagi, mau?”
Seketika kedua bocah kembar itu menatap Reihan dengan mata berkaca-kaca.
“Jangan malah-malah, Papa,” kata keduanya bersamaan.
See? Menggemaskan sekali, kan? Terlebih lagi Lussi jadi ikut-ikutan melotot karena tidak terima ketika kedua anak kembarnya dibuat menangis bahkan oleh ayah kandung mereka sekalipun. Olivia hanya menahan senyuman sembari mengusap punggung kecil yang masih dengan setia merangkulnya itu.
“Gimana kalau Aro sama Ara mandinya sama Oma?” tawar Elok—mengambil jalan tengah atas semuanya. “Biar Mama di sini menemani Anti Olivia. Aro sama Ara pastinya nggak mau kalau Anti Olivia di sini sendirian terus dimarahi sama Papa, kan?”
Si Kembar bertukar pandang ke arah Reihan dan Olivia secara bergantian lalu menggeleng bersamaan. Tentu saja tingkah laku mereka berdua membuat Olivia juga Lussi tidak bisa lagi menahan tawa. Elok menggandeng tangan Si Kembar kemudian pergi meninggalkan reunian yang sesuangguhnya.
Reihan menyandarkan tubuhnya pada punggung kursi kebesarannya sambil melipat kedua lengannya di dada. Ia sama sekali tidak peduli baju dan wajahnya yang kotor karena terkena lumpur. Tatapan matanya hanya fokus ke arah Olivia tanpa berniat untuk berpaling barang sedetik pun. Olivia melirik ke arah Lussi dan sahabatnya itu hanya menggeleng pertanda jika ia juga tidak tahu. Reihan berdehem dengan napas beratnya.
“Jadi selama ini kamu ke mana saja, Via?” tanya Reihan seraya mengubah posisi duduknya. Interogasi dimulai. “Apa yang membuatmu sengaja menghilang selama enam bulan terakhir ini?”
What? Menghilang? Batin Olivia.
“Menghilang ke mana maksudnya” Olivia balas bertanya. Oh ya, satu sifat Reihan yang sejak dulu paling dibenci Olivia. Reihan terlalu suka ikut campur dengan melontarkan pertanyaan mengintimidasi seperti ini. “Aku nggak ke mana-mana, Rei. Ada banyak hal yang kukerjakan kemarin. Biasalah pembukaan cabang baru,” papar Olivia menjelaskan.
“Tapi tanpa kabar apa-apa? Kamu harusnya tahu seberapa khawatirnya Mama dan Budemu di Lamongan sana. Kamu bahkan nggak ada kabar sama sekali. Aku tahu kalau aku memang nggak berhak ngomong kayak gini, tapi mau gimana lagi? Kamu kelewatan.”
Olivia menarik napasnya. “Aku sudah menjelaskan semuanya ke Tante Elok kemarin. Budeku juga sudah. Kalau tadi kamu berpikir kamu nggak punya hak, seharusnya memang nggak ada hak. Ini hidupku, Rei. Aku bukan anak kecil yang apa-apa harus selalu minta izin sama kamu. Aku sudah cukup dewasa menentukan jalan mana yang akan aku pilih nanti. Mulai sekarang berhenti mencampuri kehidupanku.”
“Tapi tetap saja pekerjaan nggak bisa kamu jadikan alasan untuk nggak memberi kabar, Via. Kamu egois namanya.”
Kali ini Olivia yang menghela napas beratnya. “Kalau begitu aku pulang,” kata Olivia tiba-tiba seraya bangkit dari sofa dan menyambar tas yang kebetulan memang Olivia letakkan di sana sejak semalam. “Aku sengaja datang ke sini karena ingin berbicara santai dengan kalian. Tapi sepertinya percuma. Waktuku terbuang sia-sia. Aku pamit. Tolong titip salamku untuk Tante Elok dan kedua putramu.”
“Aku belum selesai bicara, Via,” protes Reihan tidak terima.
“Maaf, Rei. Bagiku pembicaraan ini sudah selesai.”
Olivia mengakhiri pembicaraannya kemudian pergi dan memacu mobilnya menjauhi rumah Elok dengan segera.
***
“Kamu banyak berubah ya, Via,” kata Lussi diseberang sana.
Perdebatan sengit Olivia dengan Reihan tadi siang tampaknya mengundang rasa penasaran Lussi. Buktinya istri sahabat kecil Olivia itu sampai rela meneleponnya untuk meluruskan apa yang menurut Lussi bisa diluruskan.
“Selama enam bulan ini apa yang telah menimpamu, Via? Kamu yang lemah lembut nggak pernah sekalipun mengeluarkan kata-kata seperti tadi siang. Olivia yang kukenal selama ini pergi ke mana? Jujur, aku kaget!”
Olivia tidak menjawab—hanya diam dengan posisi yang sama ketika ia menerima telepon.
“Via, sifat bapermu kumat lagi,” cetus Lussi tiba-tiba. “Kamu selalu begitu tiap kali sindrom ikut campur Reihan kumat. Kamu seolah-olah seperti nggak membutuhkan saran orang lain. Kalau kamu nggak cerita, kami berdua mana tahu.”
“Aku nggak apa-apa, Lu,” sahut Olivia setelah diam beberapa saat.
“Via ....”
“Lu, I’m fine ....”
Hening. Hanya ada helaan napas yang Olivia dengar dari seberang.
“Listen, Via!” Lussi menjeda perkataannya sebelum kembali melanjutkan. “Hidup itu nggak semudah membalikkan telapak tangan. Kamu bukan Tuhan. Satu-satu, Via.”
Olivia kembali tidak bergeming.
“Baiklah kalau kamu tetap nggak mau bilang. Tapi tolong jawab satu pertanyaanku. Did you miss him? Atau masih mengingatnya sampai sekarang?”
“Dia siapa?” timpal Olivia cepat, secepat degup jantungnya saat menerima pertanyaan itu.
“You know what I mean.”
Olivia tahu ke mana arah pertanyaan Lussi. Makanya ia memilih jawaban seperti itu. Bagi Olivia lima tahun adalah waktu yang cukup untuk seseorang belajar melupakan. Dan Olivia cukup yakin kalau sudah tidak ada lagi istilah kangen dalam kamusnya.
***
Makasih sudah membaca karya saya.
Ditunggu krisan yang membangun ya readers.
Semoga ke depannya saya bisa update lebih terjadwal.
xoxoxo
Olivia melesatkan mobilnya menuju ke sebuah hotel di kawasan Jalan Ahmad Yani setelah mendapatkan pesan singkat dari Yusa. Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna, Olivia disambut dengan senyum dan sapaan ramah seorang bellboy di depan pintu masuk. Olivia melenggang penuh percaya diri menuju meja resepsionis—berharap ia tidak membuat Yusa menunggu lama. “Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” kata petugas resepsionis ramah.“Selamat pagi. Bisa tolong dengan Bapak Yusa?”
“Sudah siap?” Olivia dan Lana saling bertukar pandangan satu sama lain. Yusa menghampiri meja Olivia beberapa saat setelah meeting selesai—membuat Lana juga ikut ternganga tidak percaya. “Kenapa kalian berdua malah bengong?” tanya Yusa heran ke arah Olivia dan Lana.
Muslimin tengah bersenandung di area pantry ketika Olivia masuk ke ruang kerjanya. “Pagi, Mbak Via ....” sapa laki-laki yang berusia tidak jauh dari Olivia itu. Muslimin membawakan segelas air putih dan meletakkannya di atas meja Olivia. “Hari ini bahkan jauh lebih pagi dari hari biasanya ya, Mbak,” sahut Muslimin membuka obrolan sambil sesekali mengelap meja kerja Olivia. “Iya nih. Kerjaanku sedang banyak.” Olivia mengeluarkan notebook dari dalam tas miliknya, dan memulai pekerjaan yang sempat ia tunda kemarin. “Ruanganku biar nanti aku bersihkan sendiri saja, Mas Mus,” ta
Suara lift terbuka bahkan suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas di telinga. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas hari ini. Seperti biasa Olivia selalu menjadi penghuni pertama yang menginjakkan kaki di lantai ini setelah Muslimin. Arloji ditangan masih berada di angka enam ketika Olivia tiba di kantor. “Hari ini datang pagi lagi, Mbak,” sapa Muslimin dan langsung dibalas anggukan oleh Olivia.
Benar apa yang menjadi ketakutan Olivia kemarin. Beberapa pasang mata menatapnya dari segala penjuru. Terutama area pantry, di mana semua gosip apapun akan bisa kalian dengar di sana. Mata semua staf perempuan pagi ini berubah seperti mesin scanner yang bersiap melihatnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sungguh menakutkan sekali penggemar dari seorang Yusa. Dan sekarang di sinilah Olivia berada. Di sebuah cafe yang telah menjadi langganan hampir semua staf di kantornya sambil memerhatikan segala gerak gerik perempuan di depannya. Listya yang tengah sibuk dengan buku planner miliknya
Dante termenung dengan selembar foto ditangannya. Olivia—perempuan yang memporak-porandakan perasaan seseorang dalam hitungan detik entah kenapa sulit sekali untuk Dante lupakan. Senyum hangat nan manja perempuan itu seolah mencuri segalanya. Tidak hanya hati Dante, bahkan jiwanya pun juga ikut tercuri sampai saat ini. Hampir lima tahun berlalu, namun betapa sulit bagi Dante menghilangkan jejak Olivia dihatinya. Olivia secara tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Ke mana pun Dante berusaha mencari sosoknya, kabar Olivia seolah tidak pernah ada di dunia ini. Hidup Dante seakan kosong ketika tahu Olivia memilih untuk pergi meninggalkannya. Tiba-tiba rahang Dante mengeras—masih setia memandangi foto ditangannya. Ada perasaan kesal tercampur rindu saat ia melihat foto ditangannya. Tidak hanya senyum
Lussi melebarkan matanya ketika Olivia muncul kembali di rumah mertuanya dengan wajah kalut yang bahkan Lussi yakin Olivia sendiri pasti tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang. Olivia menangkap sinyal keterkejutan dari diri Lussi. Apalagi Olivia datang dengan kucuran airmata yang sudah jatuh tanpa permisi dipipi tirusnya.“Kamu kenapa?” Lussi bertanya heran sembari mengusap punggung lembut Olivia. “Kenapa, Via? Bilang sama aku,” kata Lussi lagi mencoba menenangkan.“Dia datang, Lu.”
Dante mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Hampir semalaman Dante terjaga dari tidurnya. Siapa yang menyangka dibalik tubuh letihnya semalam, perempuan yang selama lima tahun terakhir ini memenuhi hati, otak, dan pikirannya, tiba-tiba saja muncul di depan kedua matanya. Ingin rasanya Dante berlari dan memeluk tubuh perempuan itu secepat yang ia bisa seandainya langkahnya tidak terhalang lalu lalang pelanggan malam itu. Dante bahkan ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang juga. Dirinya ingin berteriak bahwa pencariannya selama lima tahun ini terbayarkan. “You so look happy today,