Olivia melesatkan mobilnya menuju ke sebuah hotel di kawasan Jalan Ahmad Yani setelah mendapatkan pesan singkat dari Yusa. Setelah memarkirkan mobil dengan sempurna, Olivia disambut dengan senyum dan sapaan ramah seorang bellboy di depan pintu masuk. Olivia melenggang penuh percaya diri menuju meja resepsionis—berharap ia tidak membuat Yusa menunggu lama.
“Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?” kata petugas resepsionis ramah.
“Selamat pagi. Bisa tolong dengan Bapak Yusa?”
“Maaf dengan Ibu siapa dan keperluannya apa?” tanya petugas resepsionis itu lagi.
“Dengan Olivia Zukerna. Saya sekretarisnya Bapak Yusa.”
“Baik. Ditunggu sebentar.”
Olivia mengangguk pelan sembari melayangkan pandangannya ke sekitaran interior hotel.
“Silahkan menunggu di lobby Ibu.”
“Terima kasih ....”
Olivia menyandarkan tubuhnya dan berlama-lama dipunggung sofa. Arloji ditangannya telah menunjukkan pukul 09.30 pagi—waktu yang terlalu telat untuk ke kantor. Olivia mengambil ponsel miliknya dari dalam tas. Mengecek beberapa postingan terbaru diinstagram hampir menjadi rutinitasnya setiap pagi. Tidak perlu waktu lama untuk membuat Olivia terlarut di dalamnya. Berbagai postingan menggemaskan Lussi bersama dengan kedua jagoannya tentu tidak luput dari mata Olivia. Foto terbaru dari Si Kembar adalah bersepeda bersama Reihan. Entah sejak kapan kehadiran Si Kembar menempati satu ruang dihati Olivia seperti anaknya sendiri. Bahkan memori ponsel Olivia pun hampir seluruhnya didominasi oleh foto-foto lucu Si Kembar. Apakah ini adalah bentuk dari dirinya yang menginginkan hadirnya anak? Entah. Olivia bahkan belum tahu akan melepas masa lajangnya kapan.
“Via ....”
Yusa tiba-tiba menampakkan sosoknya tepat di depan Olivia. Membuat Olivia sedikit kaget sekaligus menganga dibuatnya.
Ya Tuhan, ini orang atau bukan? Batin Olivia.
Ini bukan pertama kalinya Olivia melihat Yusa mengenakan setelan kantor serapi ini. Ini juga bukan pertama kalinya Olivia dibuat terkesan karena penampilan atasannya itu. Penampilan Yusa tidak pernah ada yang salah. Hanya saja setelah hampir satu minggu tidak bertatapan langsung di kantor entah kenapa ketampanan Yusa semakin bertambah. Olivia bahkan tidak bisa membayangkan reaksi mereka yang berada di kantor setelah melihat ini. Benar-benar berbahaya.
“Apa aku terlihat aneh?” tanya Yusa berusaha mengambil alih obrolan.
“Oh ... Ah ... Iya, Pak? Maksud saya tidak.”
Duh, kenapa juga aku jadi ikut-ikutan gugup? Batin Olivia.
Yusa tertawa. “Kamu kenapa? Mau sarapan dulu di sini?”
Olivia menggeleng cepat. “Bisa kita ke kantor sekarang, Pak?”
Dahi Yusa berkerut. “Masih senyaman itu menggunakan bahasa formal denganku, Via?”
Ditanya seperti itu tentu saja Olivia tidak bisa menjawab. “Bahkan cuma kita berdua saja?” lanjut Yusa kemudian. Olivia masih tidak menjawab. Ia hanya tersenyum sebagai pengganti jawaban. Seperti yang pernah Olivia jelaskan pada Yusa sebelumnya, ia jauh merasa nyaman menggunakan bahasa formal ketimbang mengikuti rekan-rekannya di kantor.
Yusa mengambil tas yang tengah dijinjing Olivia kemudian meraih punggung tangan Olivia dan menenggelamkannya ke dalam genggaman tangannya sendiri.
“Pak?” tanya Olivia sedikit protes.
“Nanti saja protesnya. Sekarang ayo kita berangkat ke kantor.”
Dan Olivia hanya bisa menurut pasrah mengikuti Yusa.
***
“Sumpah demi apa itu orang apa bukan?”
“Ya Tuhan, aku rela datang subuh kalau pemandangannya setiap hari begini.”
“Aduuh, Si Bos bikin tambah deg-deg ser.”
See? Belum ada satu jam Olivia dan Yusa menginjakkan kaki di kantor, tapi tingkah teman-temannya sudah seperti orang kehabisan oksigen. Lana, Adel, dan Listya atau lebih terkenal dengan sebutan tiga dara menor adalah geng rumpi yang paling berpengaruh dan terupdate seantero kantor. Tidak ada berita yang luput dari penglihatan mereka bertiga. Status? Tentu saja mereka masih sama-sama lajang. Karir? Tentunya mereka ahli dalam bidangnya masing-masing. Cantik? Pastinya. Rumpi? Jelas tidak perlu ditanya. Lana adalah kepala bagian dari divisi keuangan yang membawahi Listya sebagai asistennya. Sedangkan Adel ada di bagian divisi pemasaran yang berperan sebagai ujung tombak penjualan. Jika bukan mereka siapa lagi, kan? Mereka bersama-sama memegang peranan penting untuk kemajuan kemakmuran hidup semua staf. Jika hasil penjualan bagus otomatis keuntungan yang didapat perusahaan akan meningkat drastis yang berpengaruh pada stabilnya cash flow perusahaan. Gaji para staf pun akan terealisasikan tepat waktu. Bahkan bonus pun tidak hanya sekedar wacana saja. Sekarang kenapa mereka bertiga harus merasa tidak aman dengan posisinya di kantor? Menginterogasi pula.
“Kalian kok bisa datang barengan sih, Via? Bukannya Mas Yusa baru balik dari Semarang itu lusa ya?” tanya Lana memulai pertanyaan.
“Iya. Kok jadi kamu enak sih nempel terus ke mana-mana sama Si Ganteng,” sambung Adel.
“Eh tapi, kamu sebenarnya ada rasa sama Mas Yusa nggak sih, Via?” tambah Listya
“Aduduuh, satu-satu dong kalau bertanya, Mbak. Aku sampai bingung harus menjawab yang mana dulu,” kata Olivia sengaja menjeda mereka kemudian menegak habis segelas air putih yang ada di atas meja Lana.
“Lagipula kenapa sih Mbak-Mbak kok bisa suka ya sama atasan sendiri? Laki-laki tampan di kantor kita juga masih banyak loh, Mbak,” tukas Olivia.
“Tapi yang high quality single di kantor ini cuma dia, Via. Lagipula perempuan mana sih yang nggak naksir sama Mas Yusa? Dia itu sudah anak orang kaya, tampan, baik, pintar lagi. Aduh ... almost perfect pokoknya dia itu. Sepertinya cuma kamu deh yang nggak merasa gitu.”
Perkataan Lana yang menggebu-gebu langsung diberi anggukan mantap oleh Listya dan Adel bersamaan.
“Jadi kamu tuh sebenarnya enak loh, Via. Kamu bisa kerja sekaligus pendekatan sama Mas Yusa. Aku lihat dia juga responnya bagus ke kamu,” tambah Listya.
Olivia tertawa. “Begini deh Mbak Lana, Mbak Tya dan Mbak Adel. Kalau aku boleh jujur aku tuh agak capek ya diinterogasi terus kayak gini. Mbak-Mbak tahu tugas sekretaris itu apa saja, ke mana saja, dan harus bisa menjaga rahasia juga. Kalau Mbak penasaran kenapa kami bisa datang berdua karena Pak Yusa yang meminta aku menjemputnya. Nggak ada hal yang patut kami sembunyikan kok dari kalian atau semua staf. Karena memang cuma sebatas itu. Mbak-Mbak tolong mengerti juga dong posisiku.”
“Jadi maksud kamu kami ini menyebalkan, gitu?” sambung Adel karena merasa tersinggung.
“Itu Mbak Adel yang bilang loh ya bukan aku. Sudah ya, Mbak-Mbak ngobrolnya disambung nanti. Ada meeting penting setelah ini. Mari Mbak Lana.”
Olivia meninggalkan bilik kaca Lana dan bergegas kembali menuju mejanya. Perasaan lega merayap dalam dadanya. Seharusnya sudah dari dulu Olivia ingin berkata demikian, tapi ia masih menghormati mengingat mereka jauh lebih senior daripada dirinya. Olivia bergabung dengan perusahaan ini dua tahun lalu dan tahun ini adalah tahun ketiganya. Masih banyak sekali yang harus Olivia pelajari di sini, terutama dari Lana. Di antara Listya dan Adel, Lana adalah salah satu staf paling senior bahkan sebelum perusahaan milik Yusa dikenal banyak orang. Dahulu perusahaan berbasis IT masih tergolong aneh dan tidak menjanjikan. Dengan kepiawaian serta kecakapan dari seorang Yusa Jayadiningrat, perusahaan ini melejit hanya dalam kurun waktu dua tahun saja bertepatan saat Olivia awal mula bergabung. Segalanya seperti dipermudah. Hanya sekali klik dan segala macam bentuk transaksi bahkan laporan keuangan sekalipun dapat terselesaikan dengan waktu sepersekian menit. Bahkan Yusa juga mulai melebarkan sayapnya ke negara tetangga. See? Jadi pikirkan saja sehebat apa laki-laki yang bernama Yusa itu dimata para staf? Olivia mendadak mengerti kenapa atasannya itu bisa diperebutkan oleh kebanyakan perempuan di kantornya.
“Sudah selesai fotocopy-nya?”
Kemunculan Yusa secara tiba-tiba di ruangan fotocopy membuat Olivia kaget seketika. “Are you, ok?” tanya Yusa lagi. Kali ini bahkan wajah Yusa juga mendadak ikut-ikutan berubah aneh. “Aku nggak yakin kamu bisa membawakan meeting kali ini. Akan kuminta Lana untuk menggantikanmu,” cetus Yusa melanjutkan.
“Saya hanya kaget karena Bapak tiba-tiba muncul di sana. Bapak tidak perlu meminta Mbak Lana untuk menggantikan saya,” jawab Olivia cepat.
“Kamu yakin?” Yusa balas bertanya sembari menaikkan sebelah alisnya. “Maafkan aku, tapi entah kenapa aku merasa nggak yakin kamu bisa memandu presentasi kali ini. Ada baiknya kamu istirahat saja. Next time bisa ikut lagi.”
“Tapi, Pak?” Olivia menyela merasa tidak terima.
“Olivia ....” panggil Yusa penuh penekanan. “Sejak tadi aku memang sudah merasa ada yang aneh denganmu. Kamu nggak seperti biasanya. Istirahat, ok?”
Yusa berlalu meninggalkan Olivia yang masih bungkam menatap kepergiannya.
Kenapa hari ini semuanya berantakan? Batin Olivia.
Saran dari Yusa langsung Olivia laksanakan. Disaat semua rekan kerjanya ambil andil dalam meeting, Olivia hanya duduk bersandar dibelakang meja kerjanya. Sebetulnya pikiran Olivia sedikit terusik dengan perkataan Lussi semalam. Tanpa disadari ia kembali memikirkannya.
Ah, nanti juga hilang sendiri, batin Olivia.
Sekarang Olivia hanya berharap resume yang telah dipersiapkan olehnya tidak mempersulit Lana di dalam sana. Ya, itu saja.
Nggak usah mikir yang nggak perlu, Via, batin Olivia.
“Sudah siap?” Olivia dan Lana saling bertukar pandangan satu sama lain. Yusa menghampiri meja Olivia beberapa saat setelah meeting selesai—membuat Lana juga ikut ternganga tidak percaya. “Kenapa kalian berdua malah bengong?” tanya Yusa heran ke arah Olivia dan Lana.
Muslimin tengah bersenandung di area pantry ketika Olivia masuk ke ruang kerjanya. “Pagi, Mbak Via ....” sapa laki-laki yang berusia tidak jauh dari Olivia itu. Muslimin membawakan segelas air putih dan meletakkannya di atas meja Olivia. “Hari ini bahkan jauh lebih pagi dari hari biasanya ya, Mbak,” sahut Muslimin membuka obrolan sambil sesekali mengelap meja kerja Olivia. “Iya nih. Kerjaanku sedang banyak.” Olivia mengeluarkan notebook dari dalam tas miliknya, dan memulai pekerjaan yang sempat ia tunda kemarin. “Ruanganku biar nanti aku bersihkan sendiri saja, Mas Mus,” ta
Suara lift terbuka bahkan suara detik jam di dinding terdengar begitu jelas di telinga. Terlalu pagi untuk memulai aktivitas hari ini. Seperti biasa Olivia selalu menjadi penghuni pertama yang menginjakkan kaki di lantai ini setelah Muslimin. Arloji ditangan masih berada di angka enam ketika Olivia tiba di kantor. “Hari ini datang pagi lagi, Mbak,” sapa Muslimin dan langsung dibalas anggukan oleh Olivia.
Benar apa yang menjadi ketakutan Olivia kemarin. Beberapa pasang mata menatapnya dari segala penjuru. Terutama area pantry, di mana semua gosip apapun akan bisa kalian dengar di sana. Mata semua staf perempuan pagi ini berubah seperti mesin scanner yang bersiap melihatnya dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Sungguh menakutkan sekali penggemar dari seorang Yusa. Dan sekarang di sinilah Olivia berada. Di sebuah cafe yang telah menjadi langganan hampir semua staf di kantornya sambil memerhatikan segala gerak gerik perempuan di depannya. Listya yang tengah sibuk dengan buku planner miliknya
Dante termenung dengan selembar foto ditangannya. Olivia—perempuan yang memporak-porandakan perasaan seseorang dalam hitungan detik entah kenapa sulit sekali untuk Dante lupakan. Senyum hangat nan manja perempuan itu seolah mencuri segalanya. Tidak hanya hati Dante, bahkan jiwanya pun juga ikut tercuri sampai saat ini. Hampir lima tahun berlalu, namun betapa sulit bagi Dante menghilangkan jejak Olivia dihatinya. Olivia secara tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Ke mana pun Dante berusaha mencari sosoknya, kabar Olivia seolah tidak pernah ada di dunia ini. Hidup Dante seakan kosong ketika tahu Olivia memilih untuk pergi meninggalkannya. Tiba-tiba rahang Dante mengeras—masih setia memandangi foto ditangannya. Ada perasaan kesal tercampur rindu saat ia melihat foto ditangannya. Tidak hanya senyum
Lussi melebarkan matanya ketika Olivia muncul kembali di rumah mertuanya dengan wajah kalut yang bahkan Lussi yakin Olivia sendiri pasti tidak tahu seperti apa wajahnya sekarang. Olivia menangkap sinyal keterkejutan dari diri Lussi. Apalagi Olivia datang dengan kucuran airmata yang sudah jatuh tanpa permisi dipipi tirusnya.“Kamu kenapa?” Lussi bertanya heran sembari mengusap punggung lembut Olivia. “Kenapa, Via? Bilang sama aku,” kata Lussi lagi mencoba menenangkan.“Dia datang, Lu.”
Dante mengerjapkan kedua matanya berulang kali. Hampir semalaman Dante terjaga dari tidurnya. Siapa yang menyangka dibalik tubuh letihnya semalam, perempuan yang selama lima tahun terakhir ini memenuhi hati, otak, dan pikirannya, tiba-tiba saja muncul di depan kedua matanya. Ingin rasanya Dante berlari dan memeluk tubuh perempuan itu secepat yang ia bisa seandainya langkahnya tidak terhalang lalu lalang pelanggan malam itu. Dante bahkan ingin berteriak sekencang-kencangnya sekarang juga. Dirinya ingin berteriak bahwa pencariannya selama lima tahun ini terbayarkan. “You so look happy today,
“Terpaksa??!!” Nada bicara Dante tiba-tiba berubah meninggi ketika mendengar alasan yang menurutnya tidak masuk akal dari mulut Lussi. Untung saja kedua bocah kembar mereka tidak terganggu dengan nada bicaranya barusan. “Om Dante jangan mala-mala.”