Glagah terbangun saat matahari menyusup dari balik tirai. Dia melihat Diara masih terlelap. Dengan pelan, dia beranjak bangun dan segera mengambil laptopnya. Semalam ada notifikasi email masuk dengan prioritas tinggi.
Selamat malam,
Ini file dari hasil audit PT. Daya Cipta, ada beberapa catatan merah yang perlu digaris bawahi. Tolong di kroscek.
Hormat saya,
Sastra
Sebuah file disertakan dan Glagah harus membukanya.
Sastra adalah salah satu tim auditor anonim Prana Jiwo, dan keakuratannya tidak perlu lagi diragukan.
Glagah mengetahuinya dari Laut yang selalu mengandalkan Sastra untuk audit perusahaan besar. Glagah mengikuti instingnya sebagai Prana Jiwo yang selalu berpikir kritis, penuh perhitungan dan jangka panjang.
“Apakah ada hal penting? Sehingga kamu tak membangunkanku?” tanya Diara seraya memeluk Glagah dari belakang.
“Hm .... Ada laporan yang harus kulihat. Aku harus bekerja untuk menghidupimu bukan?” kata Glagah membuat Diara tertawa.
“Kamu lupa, aku masih punya tabungan untuk berhura-hura?” bisik Diara membuat Glagah tertawa.
“Uang itu kan uangmu sendiri, Napta memberikannya padamu, jadi aku tak berhak ikut menggunakannya. Kecuali, kamu mentraktirku.” Glagah mengerling untuk menggoda Diara.
“Kantor Napta, akan kita apakan?” tanya Diara duduk di samping Glagah.
“Kita pikirkan nanti, atau kamu bisa menyewakannya. Flatmu, apa tidak sebaiknya kamu jual? Pajak sekarang mahal, dan lagi pula akan berisiko kalau kamu membiarkannya tanpa pengawasan.” Glagah melirik Diara yang terlihat berpikir.
“Kamu, mengauditku?” selidik Diara jengah, membuat Glagah semakin tertawa.
Sikap polos Diara kadang adalah hiburan buatnya.
“Aku hanya menganjurkan, sayang. Jika kamu tidak mau juga tak apa.” Glagah mengecup puncak kepala Diara.
“Aku lapar.” Diara kemudian bangkit dan menarik Glagah untuk keluar kamar.
“Baru saja ingin kubangunkan kalian,” kata Sari membuat Diara malu.
“Maaf Bu, Diara kesiangan,” katanya seraya membantu Sari menata meja makan.
“Tidak apa-apa, biasanya Glagah yang suka masak. Kita Cuma akan jadi penikmat,” bisik Sari membuat Diara melirik Glagah.
“Kali ini, Diara tak bisa membantu Bu, Diara tak pandai memasak,” kata Diara.
Sari terkekeh.
“Tak apa, apa gunanya Glagah pintar memasak. Kita bisa bagian mencuci piring, bukankah itu akan adil?” saran Sari yang langsung diangguki oleh Diara dengan semangat.
“Kenapa Ibu malah mendukung dia untuk tak memasak?” protes Glagah membuat kedua wanita itu tertawa.
“Sepertinya, keluarga kita memiliki tradisi, para lelaki yang masakannya paling enak.” Darma bergabung dengan mereka di ruang makan.
“Hari ini, akan ada beberapa kolega yang datang untuk mengucapkan bela sungkawa, karena mereka tak bisa menghadiri pemakaman Nenek,” kata Sari membuat Darma mengangguk.
“Laut sudah mengirimkan beberapa orang agar suasana tetap kondusif. Katanya akan datang juga owner dari PT. Daya Cipta dari Surabaya.” Sari meletakkan nasi dan sayur di meja makan.
“PT. Daya Cipta?” Glagah teringat dengan file audit yang banyak coretan merah dari Sastra.
“Kenapa?” tanya Darma.
“Apakah Ayah mengenal siapa dia?” tanya Glagah.
“Aku mengenal ownernya, tapi bukan penerusnya yang sekarang menjabat CEO,” kata Darma.
“Kenapa?” tanya Sari.
“Hanya ada sesuatu yang aneh pada laporan audit mereka. Kita masih menyelidikinya.” Glagah menyuapkan nasi ke mulutnya.
“Pantau saja, kemungkinan pergeseran kepemimpinan kan bisa membuat perusahaan goyah. Aku berharap, kamu dan Laut, tidak akan melupakan pedoman keluarga kita,” pinta Darma.
“Doakan kami.” Glagah menjawab dengan mulut penuh.
Setelah selesai memakan sarapan mereka, Glagah dan Diara bergegas untuk mandi. Karena kemungkinan sebentar lagi kolega itu akan datang. Tamu masih akan berkunjung sampai seminggu ke depan. Prana Jiwo, adalah keluarga yang disegani.
Laut sedang berjalan menuju ruang kerjanya di kantor kontraktor milik Karya Prawirahardja, Ayahnya. Dualisme yang dilakukannya, terkadang membuatnya pusing. Urusan kantor kontraktor ini, sebenarnya sudah dia serahkan sepenuhnya ke anak buahnya, Amira. Tapi tetap saja dia harus menampakkan wajahnya di kantor untuk menghindari kecurigaan.
“Amira,” sapa Laut kepada wanita cantik yang sedang menekuni laptop di depannya.
“Lho Mas Laut. Ada apa? Ada laporan masalahkah?” Amira kaget, karena tak merasa memanggil Laut untuk datang ke kantor.
“Aku hanya mampir. Aku percaya padamu.” Laut duduk di kursi tamu di ruangan Amira.
“Terima kasih atas kepercayaanmu,” jawab Amira seraya memandangi laki-laki itu tanpa berkedip.
“Aku ingin melihat laporan bulan ini.” Amira kemudian menyerahkan laptopnya.
Insting sebagai Prana Jiwo bahkan membuat Laut mengaudit perusahaannya sendiri.
“Oh ya Mas, hari ini akan ada interview sekretaris baru, Mas Laut ingin ikut bagian?” tanya Amira dijawab dengan gelengan kepala.
“Tidak. Aku percaya padamu.” Laut kemudian berjalan keluar karena tak menemukan sesuatu yang janggal.
Amira menatap punggung Laut dengan lekat, ah laki-laki itu bahkan tak bisa disentuhnya.
Bintang sedang berjalan memasuki kantor saat ponselnya berdering. Laut.
“Ada apa?” Bintang mengangguk kepada semua karyawan yang menyapanya.
“Kita bertemu nanti siang. Aku ada janji temu dengan seseorang di Heritage, ajak saja Diara dan Glagah sekalian.” Bintang membuka pintu kantornya dan duduk di kursinya dengan malas.
Akhir-akhir ini pekerjaannya membuat dia merasa lelah. Banyak hal yang harus dia kerjakan, dia merindukan kehidupan sepinya di Tananger.
“Besok Diara sudah mulai bekerja di sini kan? Tenang saja, aku akan menjaganya. Kalian usut saja semua kemungkinan tentang pelakunya.” Bintang menutup teleponnya.
Berkutat kembali dengan tumpukan berkas yang harus dia cek dan tanda tangani.
Glagah yang menerima pesan dari Laut untuk bertemu di Heritage, segera mengajak Diara untuk bersiap. Kebetulan semua tamu sudah pulang.
“Ayah, Laut mengajak kami untuk bertemu dengan Mas Bintang. Kami minta ijin untuk keluar,” kata Glagah.
“Ya, berhati-hatilah,” kata Sari mewakili Darma.
Mobil mereka membelah kota menuju restoran Heritage milik Hardjo company, perusahaan yang Bintang pegang.
“Mas Laut sudah datang, aku penasaran, apa dia tak ada keinginan untuk menikah?” tanya Diara membuat Glagah tertawa.
“Jangan kepo.” Glagah menggandeng Diara memasuki restoran.
“Aku kan hanya penasaran. Mas Laut dan Mas Bintang bahkan sangat tampan. Apa mereka tak menyukai wanita?” Diara berspekulasi.
“Hush,” kata Glagah membungkam Diara.
Seseorang menabrak Diara tepat di depan pintu ruangan reservasi mereka.
“Maaf,” kata orang itu membantu Diara yang terjatuh.
“Tidak apa-apa,” kata Diara menepis tangan orang itu dan meraih tangan Glagah.
“Maafkan saya kurang berhati-hari, Nona,” kata orang itu lagi.
“Tak apa, Tuan, silakan melanjutkan urusan Anda. Istri saya baik-baik saja,” terang Glagah membuat laki-laki paruh baya itu menundukkan kepalanya dan berlalu dari hadapan mereka.
“Kamu tak apa?” tanya Glagah seraya membersihkan gaun Diara.
“Tak apa, ayo masuk.” Mereka kemudian masuk ke ruangan yang sudah di pesan oleh Laut.
Sementara Bintang masih berada di ruangan lain, bertemu dengan seorang wanita cantik sebayanya.
“Jadi, apalagi yang bisa kamu tawarkan untuk Hardjo Company?” tanya Bintang dingin.
“Saya hanya bisa menawarkan kerja sama untuk proyek yang berada di Jawa Timur saat ini. Mega proyek untuk pengadaan buku bagi seluruh pelajar di wilayah terpencil, agar terjadi pemerataan pendidikan,” terang si wanita yang menatap Bintang balik dengan menantang.
“Baik, tim akan melakukan pengecekan untuk kelayakan berkas dan semua persyaratan. Sekretarisku akan memberimu jawaban dalam waktu seminggu.” Bintang menutup pertemuan itu.
“Terima kasih sudah menjamu saya, semoga harapan kerja sama dari kami dapat bersambut.” Wanita itu tersenyum.
“Baik Nona Sangka. Semuanya, akan diurus oleh sekretaris saya nanti. Kalau begitu silakan nikmati hidangannya, saya masih ada pertemuan lain.” Bintang bangkit.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk menemui saya.” Wanita bernama Sangka itu berdiri dan membungkuk hormat.
Setelah Bintang melewati pintu dan menutupnya, Sangka mengempaskan tubuhnya kembali ke kursi. Mengeluarkan napasnya lega, sikap dingin Bintang sangat mengintimidasi, entah apa maksud dari ayahnya mengusulkan dia bertemu dengan Bintang Sriwedari. Laki-laki penerus Hardjo Company itu sangat dingin, bertolak belakang dengan wajahnya yang tampan.
Seorang lelaki masuk dan duduk di seberang Sangka, tempat di mana tadi Bintang duduk.
“Bagaimana?” tanya lelaki itu membuat Sangka kaget.
“Ah, Paman mengagetkanku. Bintang akan menghubungi dalam waktu seminggu,” kata Sangka.
“Kita harus memastikan dia menerima penawaran kita. Sebelum Prana Jiwo merilis hasil audit dari perusahaan kita.” Lelaki itu mengambil gelas berisi kopi yang ditinggalkan Bintang tanpa meminumnya.
“Apakah Ayah sudah menemui Prana Jiwo?” tanya Sangka penasaran.
“Belum. Hanya Kakekmu yang kemarin ke sana untuk mengucapkan bela sungkawa. Basa-basi tak penting. Penilaian Prana Jiwo sekarang tak bisa dijadikan acuan, setelah anonimitasnya terbuka,” keluh lelaki itu.
“Aku baru saja bertemu dengan dia, Prana Jiwo yang sekarang,” katanya lebih lanjut membuat Sangka berdiri tegak.
“Apakah dia tampan seperti yang diberitakan?”
“Ya, dan sudah menikah,” jawab lelaki itu membuat Sangka meluruh.
“Kamu sudah bukan waktunya mencari laki-laki tampan. Kamu harus mencari laki-laki yang bisa kita pergunakan untuk kepentingan perusahaan.”
“Paman Wira memerintahku untuk mendekati Bintang, agar bisa menjeratnya?” tanya Sangka pada lelaki yang ternyata bernama Wira tersebut.
“Ya, maka lakukan yang terbaik.” Wira menatap Sangka tajam, seketika Sangka mengingat Gama, kekasihnya.
Bintang memasuki ruangan di mana Laut, Glagah dan Diara menunggu.“Maaf, lama menunggu. Ada klien yang insist, dan menyebalkan,” keluh Bintang seraya duduk di kursi.“Mas Bintang bisa kesal juga?” tanya Diara menggoda.“Menurutmu?” Bintang melayangkan pandang sinis, membuat Diara terkekeh.“Besok, aku akan memberimu banyak pekerjaan,” ancam Bintang membuat Glagah tertawa, Diara mati kutu kini.“Belum ada perkembangan apa pun tentang kasus Nenek,” desah Laut membuat ketiga orang itu menoleh padanya.“CCTV pasar tak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bibi bahkan tak melihat pelakunya karena ramainya orang di pasar saat itu,” lanjut Laut membuat Glagah mendesah.“Sepertinya, orang ini mempunyai dendam tersendiri kepada kalian, apalagi dengan karangan bunga yang kamu perlihatkan kemarin,” kata Bintang.“Benar, dia bahkan membisikkan kata &lsqu
Selang berapa lama setelah Bintang dan Diara pergi, seseorang mengunjungi Gita. Sepertinya mereka berselisih waktu hingga tak saling bertemu.“Nona Gita, masih betahkah dirimu di sini?” tanyanya, membuat Gita mengerutkan dahinya. Dia tak mengenal orang ini.“Siapa Anda?” tanya Gita mencoba bersopan santun.“Tak perlu kamu tahu siapa aku, di sini kutawarkan sesuatu untukmu. Aku, bisa mengeluarkanmu dari sini, tanpa syarat.” Orang itu tersenyum pada Gita yang kebingungan.“Tanpa syarat? Untuk kepentingan apa?” selidik Gita tak percaya.“Bagus. Ternyata sedikit darah Prana Jiwomu masih aktif.” Orang itu terkekeh, semakin membuat Gita penasaran.“Aku akan mengeluarkanmu, tanpa syarat. Aku menjamin itu. Aku hanya tak ingin melihatmu menderita sendirian dalam kegelapan. Pikirkan. Aku akan kembali untuk beberapa hari lagi,” kata orang itu, kemudian berpamitan pada Gita yang mas
Seseorang sedang menyesap kopinya dalam-dalam. Pertemuannya dengan Gita hari ini sedikit menemui masalah. Gita sedikit sulit untuk diyakinkan.“Apa aku harus terang-terangan mengatakan, bahwa aku adalah adiknya?” Dia menatap lekat pemandangan di depan kafe itu.“Tapi bila aku mengatakannya sekarang, dia mungkin tak menyukaiku,” gumamnya.Dia mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja dengan gelisah. Kepercayaan dirinya sirna. Menguap. Dunia tak semulus yang dibayangkannya.Kemudian dia menghubungi seseorang.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Tanyanya begitu sambungan telepon direspons seseorang.“Kita harus merunduk. Jangan tergesa. Lakukan sesuai dengan rencana.” Kata-kata orang di seberang sana membuatnya bertambah gundah.Dia semakin tak tahu harus bagaimana, dendamnya yang membara ingin segera dituntaskan, tapi seseorang malah membuatnya harus menahan diri.Dia bukan orang yang
Diara menerima pesan Glagah untuk langsung ke rumah aman.“Ada apa Di?” tanya Bintang melihat Diara mengernyitkan dahinya.“Ehm ... ini kata Glagah kita mau pindah ke rumah aman lagi.” Diara menunjukkan layar ponselnya.“Itu pasti ulah Laut. Aku juga mau ke sana saja, biar rame.” Bintang kemudian mengingat saat mereka sama-sama menghuni rumah aman.“Mas Bintang kan harus nemenin Pak Hardjo,” sergah Diara.“Papa tidak butuh temen, dia sudah banyak temen di rumah,” kata Bintang.“Kita pulang bareng, besok kita langsung ke lembaga pemasyarakatan,” kata Bintang membuat Diara mengangguk lesu.“Kamu gak suka pulang bareng aku?” goda Bintang.“Ih Mas Bintang, bukan gitu. Memangnya Mas Laut kenapa sih menyuruhku dan Glagah untuk tinggal di rumah aman lagi? Kan kasihan Ayah sama Ibu di rumah sendirian,” omel Diara seraya mengikuti langkah pan
Diara terbangun dan mendapati Glagah tak ada di sampingnya, tapi bau harum makanan yang menguar membuat Diara sadar kalau Glagah sedang memasak. Membuatnya menghela nafas lega. Pikiran buruknya kadang membuatnya berpikir yang aneh-aneh. Mengingat hari ini dia harus menemani Bintang ke lembaga pemasyarakatan, membuatnya bangkit dan ke kamar mandi dengan segera.Sementara Glagah sibuk menyiapkan sarapan. Anton membantunya, walau lebih banyak merepotkan sebenarnya.Nasi goreng ikan jambal tersedia pagi itu untuk sarapan. Laut dan Bintang yang sudah rapi berjajar di meja makan.“Diara mana?” tanya Bintang saat tak melihat Diara.“Mungkin sedang bersiap, Mas,” jawab Glagah seraya membagikan nasi ke goreng ke piring masing-masing.“Aku di sini,” kata Diara dengan tergesa menduduki kursinya.“Cepat di makan, Mas Bintang sepertinya sedang terburu-buru,” bisik Glagah membuat Diara menatap Bintang.
Begitu sampai di rumah, Laut bahkan meninggalkannya dan masuk.Glagah dengan tergesa menutup pintu dan mengikuti Laut.“Ada apa Le?” tanya Darma melihat Laut begitu tak sabar.“Apakah, Paman tahu lingkaran pertemanan atau sosialisasi dari Wi--, eh Ibu,” kata Laut tak jadi menyebut Wita karena tatapan tajam Sari.“Kenapa?” tanya Darma penasaran.“Ada seorang perempuan, lebih muda dari Gita, memiliki mata khas bulat, dan dia menjamin kebebasan Gita tanpa penjelasan apa-apa. Aku curiga dia ada hubungannya dengan penusukan Nenek,” papar Laut.“Aku tak pernah lagi berhubungan dengan Wita setelah kejadian dia meninggalkan ayahmu. Dia seolah menghilang ditelan bumi. Apalagi waktu itu Ayah dan Ibu sepakat untuk mengumumkan kematiannya,” kata Darma.“Dia tak mempunyai banyak teman. Bahkan bisa di bilang, Nawang adalah satu-satunya teman dekatnya,” lanjut Darma.&ldq
Gita, meremas kertas itu. Hatinya bergemuruh. Wita, bahkan meninggalkan jejak. Apa dia seorang manusia?Kembali di selnya, yang gelap, Gita membayangkan hari-hari penebusan dosanya untuk keluarga Sriwedari.Sementara perempuan itu menelepon seseorang.“Gita setuju. Lakukan tugasmu. Aku tunggu kabar baikmu,” katanya di saluran telepon.Dia menghela napasnya, semoga ini bisa menjadi jalannya untuk membalas dendam. Kepada semua keturunan Prana Jiwo dan Sriwedari.Dia melangkah keluar dari area Lapas, memasuki mobilnya. Kembali ke tempat persembunyiannya.Laut menerima pesan dari orang yang di suruhnya mengawasi lapas.“Dia pergi sendirian. Harus aku ikuti?” tanya Dani.“Ikuti, kabari aku, di mana dia tinggal,” kata Laut mengakhiri sambungan.Laut berjalan hilir mudik di kantornya. Rencananya berjalan. “Mas, ada telepon dari lapas,” kata Glagah.“Ya. Kirimkan saja lewat paket ki
Sangka sedang berada di kantor. Persiapan untuk berangkat ke Jakarta sudah siap. Mereka harus segera melobi Prawirahardja untuk mendapatkan dana segar. Wira sudah memaksa.“Paman, apakah ini akan berhasil?” tanya Sangka saat Wira masuk ke ruangannya. “Harus berhasil. Kalau tidak, kita harus bagaimana? Maka semua akan berakhir menjadi sia-sia. Kita akan bangkrut,” kata Wira tak kalah cemas.Dia terlalu menuruti seseorang sehingga kini semuanya dia pertaruhkan.Keduanya berangkat menuju bandara dengan sejuta harap. Misi mereka menyelamatkan diri dari kebangkrutan akan semakin berat. Banyak perusahaan menutup pintu kerja sama, terlebih setelah pengumuman Prana Jiwo atas potensi kebangkrutan mereka.Anton masih berkutat dengan pengambilan data di pertanahan. Sementara layar lain menampilkan data yang kemarin diserang oleh Frasa. Belum ada pergerakan sama sekali dari Frasa hari ini. “Gotcha!” teriak Anton mem