Share

Bab 3

Part 3

"Alice … ada apa? Kuperhatikan sejak beberapa minggu ini, kamu berubah. Lebih banyak diam dan melamun. Ada masalah apa? Apakah masih masalah yang sama?" Kania mencecar Alice dengan banyak pertanyaan, semenjak ia melihat Alice berubah sikapnya.

Alice yang posisi duduknya membelakangi Kania, tidak menjawab apapun. Wanita cantik itu masih terdiam seribu bahasa.

Kania yang memperhatikan Alice sejak beberapa minggu terakhir ini, ikut merasakan ada yang tengah dirasakan dan dialami oleh rekan kerjanya tersebut. Alice menjadi lebih banyak menyendiri dan jarang tersenyum seperti dulu.

Senyum manis yang biasa menghiasi bibir tipis Alice, tak lagi nampak terlihat. Beberapa rekan kerja mereka pun bertanya-tanya, namun sungkan untuk menanyakan langsung kepada Alice.

"Lice, kamu baik-baik saja kan?" Kania kembali bertanya. Kali ini nada suaranya setengah berbisik, seraya membelai bahu Alice.

Tiba-tiba Kania terkejut manakala merasakan tubuh Alice berguncang.

Ia pun segera membalikkan tubuh Alice agar menghadap dirinya. Alice awalnya menolak, namun Kania memaksa dengan kuat. Sehingga membuat Alice tak kuasa menolaknya.

Tangis Alice pecah, Kania segera memeluknya erat. Membiarkan rekan kerja yang telah membersamainya selama 10 tahun itu menumpahkan segala sesak di dada.

"Menangislah … jika itu dapat membuat hatimu menjadi lega." Kania berbisik di telinga Alice. 

Beruntung ruangan mereka kali ini agak sepi, karena beberapa anak buah mereka tengah melakukan pekerjaan di lapangan.

Kania menunggu Alice hingga 15 menit lama. Tanpa ada pertanyaan apapun yang keluar dari wanita yang baru saja menikah itu.

Setelah Alice melepaskan pelukannya, Kania segera mengambil air minum untuknya. 

"Minumlah,"

Alice menerima segelas air putih hangat dari tangan Kania. Wanita cantik itu pun segera meneguknya dengan cepat.

"Bicaralah … jika ingin bicara dan percaya kepadaku. Namun bila diammu adalah yang terbaik saat ini, aku akan menunggu waktu yang tepat untukmu menceritakannya." Kania membelai lembut bahu Alice, kemudian menggenggam erat tangannya.

Alice yang telah menganggap Kania seperti adiknya sendiri itu pun segera menghela nafas panjang. Lalu mencoba tersenyum, meski terpaksa dilakukannya.

"Ada apa?" tanya Kania kembali usai melihat senyum Alice mengembang.

Ia tahu jika sahabatnya itu tidak sedang baik-baik saja. Namun ia sangat mengenal Alice, yang tidak terlalu terbuka untuk masalah rumah tangganya.

"Mas Barana mau dinikahkan, dengan anak sahabat mertuaku, Nia." Suara Alice terdengar lirih, namun cukup terdengar di telinga Kania. 

Kania terdiam sesaat, sebelum akhirnya bertanya kepada Alice.

"Kamu tahu darimana? Apa Mas Bara yang bilang kepadamu?"

Alice menggelengkan kepalanya lemah, lalu menjawab, "Ibu mertuaku yang mengatakannya sendiri, Nia. Dia bilang, jika sampai tahun depan aku belum juga hamil, maka ia akan menikahkan mas Bara dengan anak sahabatnya."

"Astaghfirullah …." Kania menutup mulutnya yang terbuka karena terkejut.

"Dan parahnya lagi, Ibu malah marah kepadaku saat ku ceritakan perihal dokter meminta agar kami berdua memeriksakan diri bersama." 

"Ya Allah … ibu mertuamu memang sangat kelewatan ya. Aku tidak habis pikir, dengan apa yang telah ia ucapkan kepadamu. Bahkan selama ini pun, aku selalu tak pernah habis pikir atas perbuatannya kepadamu." Kania menggelengkan kepalanya, sambil terus menggenggam erat tangan Alice.

"Aku tak tahu harus berbuat apa. Terlebih sejak ucapan ibu mertuaku hari itu, sikap mas Bara menjadi sedikit aneh." Alice menatap wajah Alice dengan penuh khawatir.

"Maksudmu?"

"Mas Bara jadi lebih senang, menghabiskan waktu di rumah ibunya. Bahkan di saat pulang kerja pun, dia rela langsung menuju rumah ibu ketimbang menjemputku." Alice mulai menghapus buliran air mata, yang sejak tadi membasahi pipinya.

"Sudah Lice, kamu tenangkan diri dulu. Makanya kalau ada masalah jangan dipikul sendiri. Berbagilah dengan orang yang kamu percaya. Meski ia tidak dapat memberi solusi, minimal ia menjadi pendengar yang baik untukmu." Kania kembali memeluk tubuh Alice dan membelai punggungnya dengan lembut. 

Bagi Kania, yang dibutuhkan Alice saat ini hanyalah pelukan dan telinga untuk didengar semua kisahnya. 

"Ni … tolong bantu aku carikan dokter yang terbaik ya." Alice melepas pelukan Kania, dan langsung menggenggam tangan sahabatnya itu.

Wajahnya terlihat sangat lusuh. Terlihat jelas di sana, jika ia sangat tersiksa dengan keadaannya selama ini.

"Pasti! Aku pasti akan melakukannya." Kania tersenyum dan memeluk tubuh Alice kembali.

"Sekarang segera bersihkan wajahmu. Anak buah kita sudah kembali dari lapangan. Jangan sampai mereka melihat si Mrs. Smile terlihat kusut dan bersedih." 

Alice tersenyum saat mendengar ucapan Kania barusan. Ia pun segera menuju kamar mandi dan membersihkan wajahnya. Setidaknya untuk saat ini hatinya sedikit lega, karena sudah menceritakan semua yang selama ini ia pendam.

**

"Halo Mas, pulang jam berapa hari ini?" tanya Alice pada suaminya manakala melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Aku menginap di rumah ibu." Barana menjawab singkat, namun cukup membuat hati Alice terluka.

Tanpa banyak bertanya lagi, ia pun segera menutup teleponnya dan langsung menangis. Sebenarnya ini bukanlah kali pertama Barana menginap di rumah sang ibu. 

Akan tetapi, karena hal ini terjadi usai Mariam mengatakan hal itu, Alice pun langsung berpikiran yang buruk.

Ia pun segera mengambil jaketnya dan memanaskan motor. Usai mengunci pintu rumah, Alice pun segera meluncur menuju rumah sang ibu mertua.

Jarak antara rumahnya dengan sang ibu mertua hanya berkisar satu jam. Jalanan yang cukup padat, tidak membuatnya memperlambat laju motor yang dikemudikannya.

Alice menghela nafas panjang, sebelum memasuki halaman rumah sang ibu mertua. Matanya nanar mengitari sekeliling rumah, berharap menemukan sesuatu yang selama ini ia curigai.

"Gak masuk, Lice?" tanya salah seorang tetangga yang melihat kedatangannya.

"Eh Bu Urip … iya nih baru mau masuk ke dalam. Kebetulan saya baru saja tiba." Alice tersenyum dan turun dari motornya.

"Sepertinya mereka semua sedang pergi, Lice. Belum lama, kok! Sekitar 15 menit yang lalu." Tetangga yang bernama bu Urip itu berkata sambil mendekati Alice.

"Oooh …." Hanya itu jawaban yang keluar dari bibir Alice, namun sudah mampu menggambarkan kekecewaan dalam hatinya.

"Alice memangnya gak diajak? Udah hubungi Bara belum?" Bu Urip bertanya sambil melihat ke sekeliling rumah.

Alice hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum. Membuat hati bu Urip menjadi terenyuh. Ia pun mengajak Alice untuk mampir ke rumahnya, mengingat jarak yang cukup jauh dan tidak mungkin bagi Alice langsung kembali pulang ke rumah saat ini.

"Minumlah, tenangkan dulu dirimu." Bu Urip menyodorkan secangkir teh hangat untuk Alice.

"Terima kasih, Bu." Alice pun segera meminum teh hangat itu segera, dan menikmati kehangatan yang merasuki dirinya.

"Maaf ya Lice, kalau boleh tahu kondisi kamu sekarang bagaimana?" Bu Urip kembali bertanya. Kali ini dengan sedikit berhati-hati.

"Kondisi? Kondisi apa ya Bu?" 

"Maaf … maksud saya kondisi rumah tanggamu saat ini,"

"Oh itu, Alhamdulilah baik-baik saja Bu. Ada apa ya, Bu?" tanya Alice dengan wajah yang penuh tanda tanya.

"Ibu dengar Bara ingin dinikahkan dengan putri sahabat mertuamu. Apa kamu sudah tahu akan hal itu?" selidik bu Urip perlahan. 

Alice hanya menganggukkan kepalanya perlahan lalu kembali meminum teh hangat buatan bu Urip.

"Wanita itu tadi ke sini. Sekarang mereka pergi bersama-sama." 

Alice pun terkejut dan langsung menyemburkan air teh yang telah berada di mulutnya.

                      ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status