Arbia mempercepat langkahnya ketika memasuki kawasan komplek di rumahnya. Setumpuk berkas yang di pondongnya hampir jatuh berserakan. Dia menengok ke arah kanan dan kiri. Ada kecemasan di raut mukanya yang cantik. Dia berjalan dengan tergesa. Tak sengaja dia menabrak seseorang yang bersinggungan jalannya.
"Eh maaf, Saya tidak sengaja!" ucap Arbia sambil tangannya disatukan di depan dada. Tapi ketika dilihatnya orang yang ada di depannya, secepat kilat Arbia berlari sambil memeluk erat-erat berkas yang ada di tangannya.
Dengan terengah Arbia terus berlari menyusuri jalan sepi itu. Satu tanganya merogoh tas kerjanya. Mecari-cari ponselnya. Agak susah dia menemukan posel di tasnya. Di belakang sosok itu mulai mendekat. Arbia dengan sekuat tenaga berusaha berlari menjauh dari orang itu. Orang yang seharian ini menerornya lewat telpon dan pesan.
Pagi tadi, Arbia mendapatkam bukti berupa surat kabar tahun 2005 silam. Dia mengejar deadline nya untuk Headline yang ia kerjakan kemarin. Kasus 15 tahun silam, yang kini dilimpahkan padanya oleh Praditia selaku bosnya. Untuk diulas kembali supaya jelas dan gamblang. Dan benar saja, ketika Headline itu mulai bergulir di media, orang-orang lama yang terlibat kasus serupa mulai menunjukkan taringnya.
Selain kasus pembunuhan berantai, organisasi 15 tahun silam terlibat kasus geng mafia dan kepemilikan senjata tajam. Di lain itu bergulir kasus suap juga. Entah siapa saja yang terlibat. Yang pasti di benak Arbia, Soepomo Hardiningrat-lah yang digadang-gadang oleh ayahnya sebagai pemimpin organisasi itu.
Berlari sekencang mungkin untuk menjauh dari si peneror, Arbia seperti orang yang membabi buta. Tangannya terus bergerak-gerak mencari nomor seseorang yang akan dihubunginya.
Tut ...
Jaringan telpon terhubung. Tapi ...
"Buk-kk! Akh ... " Arbia meringis. Dia menabrak seseorang lagi. Tapi kali ini, dia sangat mengenal sosok yang ia tabrak. Wajahnya tiba-tiba memucat. Ada kepanikan di sana. Mundur beberapa langkah tapi di belakangnya, seseorang yang menerornya siap siaga. Dalam kebingungan itu,
"Hei! Jangan lari! Peneror itu lari berbalik arah setelah mengetahui sosok yang ada di depan Arbia. Arbia mengatur nafasnya yang tersengal. Dia terduduk sambil terus menepuk-nepuk dadanya.
"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya seseorang itu. Sekembalinya dari pengejaran yang tidak berhasil. Arbia menggeleng lemah. Nafasnya masih tersengal.
"Aku antar pulang." ucap pria itu lagi. Sambil membimbing tubuh Arbia berdiri.
Arbia menatap sosok itu dalam-dalam. "Hari ini, dia bisa sebaik ini. Entah besok, ekspresi apa lagi yang akan ia tunjukkan?"
"Jangan sentuh Aku!" teriak Arbia tiba-tiba. Sosok itu, Arka Abianta. Spontan melepaskan rangkulannya pada bahu Arbia. Dipandangnya cewek cantik itu dengan saksama.
"Sebegitu takutnya kamu sama Aku?" tanyanya kalem. "Apa kamu sudah melupakan Aku , Arbi?" Sesaat Arbia tersentak mendengar pertanyaan Arka. Lamat-lamat dia mengamati wajah Arka.
"Adakah kita saling mengenal sebelumnya?" tanyanya sedikit gemetar dan beringsut mundur.
Arka! Sosok itu mulai menunjukkan muka serius. Dia menatap wajah Arbi dengan tajam.
"Kamu ingat cincin ini?" ucapnya seraya mengangkat 5 jarinya dan menunjuk jari manisnya. "Ini! Ikatan cincin kita sewaktu kecil. Ingatkah kamu? Waktu kita bermain di taman. Aku memberimu cincin mainan berbentuk seperti ini. Aku adalah teman kecilmu. Yang sudah begitu lama mencarimu." suara itu memang milik Arka.
Arbia masih terpana. Seolah tak percaya. Benarkah dia punya teman semasa kecil? Karena efek trauma semasa kecilnya, sebagian ingatan Arbia hilang. Arbia mencoba mengingat masa-masa kecilnya. Sekilas bayangan dua orang anak kecil melintas di benaknya. Ada tawa riang dari bibir mereka. Berlari berloncatan dengan girangnya. Tapi Arbia tidak tahu siapa mereka.
Tiba-tiba kepalanya seperti ditikam pisau. Rasanya sakit sekali.
"Aukh-kh" Dia memegangi kepalanya yang bedenyut-denyut. Tubuhnya sempoyongan. Arka menangkap tubuh kecil itu.
"Arbi! Kamu tidak apa-apa, kan?" Suara panik Arka melihat Arbia kesakitan.
"Jangan sentuh Dia!" Seketika Arka membalikkan badan menoleh ke arah suara itu. Dari arah yang berlawanan terlihat sosok laki-laki tegap melangkah ke arah mereka.
Kapten Axelle, dengan cepat menghampiri mereka.
"Lepaskan dia!" ucapnya sekali lagi sambil menarik tubuh Arbia ke dalam pelukannya.
"Sebaiknya kamu pergi sebelum anak buahku menangkap kamu! Ini kesempatan baik kamu!" Arka berdecih mendengar perkataan dari Axelle.
"Sampai kamu menyakitinya, aku akan bikin perhitungan denganmu!" Jari telunjuk Arka mengarah tepat di muka Axelle. Untuk selanjutnya pria itu sudah menghilang dari hadapan Axelle.
Axelle dengan sigap menggendong tubuh kecil Arbia. Gadis itu terkulai lemah digendongan sang kapten. Matanya samar-samar memperhatikan cowok tampan itu. Dan mengeratkan rangkulannya.
******
"Kenapa setiap pertemuan kita, kamu harus selalu dalam kondisi seperti ini?" ucapnya datar sambil merapikan selimut Arbia dan duduk di sisi pembaringan.
Arbia terbaring lemah. Tapi tatapanya teduh ke arah laki-laki yang selalu jadi super heronya itu. Sudah tak ada lagi untuk menghujat dan saling berdebat pendapat. Apalagi membenci. Yang sekarang Arbia rasakan, tubuhnya lelah sekali. Rasanya seperti tak punya tulang.
Sang kapten mendekatkan wajahnya. "Nggak bisakah setiap pertemuan kita jangan seperti ini? Kamu selalu terluka." bisik Axelle pelan.
Arbia menahan nafas kuat-kuat. Merasakan debar jantungnya yang tiba-tiba meletup. Ketika disadarinya wajah laki-laki itu begitu dekat. Hembusan nafas mereka menyatu. Ini untuk kedua kalinya situasi seperti ini.
"Arbia," bisiknya serak. Wajah mereka sudah menyatu. Axelle mulai menggila. Melupakan status dan kondisi. Diraihnya wajah gadis cantik itu. Dibelainya lembut. Disatukannya bibir itu dengan bibirnya. Disesapnya lembut penuh ketulusan.
Arbia terbuai. Melupakan tentang dendamnya. Tentang rasa bencinya yang begitu kuat. Semakin terpejam semakin dia menikmati sentuhan-sentuhan Axelle.
"Arbi," panggilnya disela-sela sesapannya. Arbia tidak menggubris suara serak itu. Semakin di lelapkannya perasaannya.
"Bolehkah aku menyukaimu?" Sesaat Arbia tersentak. Tapi hatinya sangat bahagia. Dan semakin dia menyesapkan rasanya yang sesungguhnya. Dilingkarkannya tangan mungilnya ke leher sang kapten. Laki-laki itu membenamkan perasaanya dipuncak keinginannya. Kota yang dingin itu, menjadi saksi hati yang bertaut antara benci dan cinta.
Satu jam kemudian,
Suara ponsel di atas nakas berdering. Axelle mengusap lembut kening Arbia. Gadis cantik itu terlelap sesaat.
"Arbi! bisiknya, usapannya turun membelai wajah yang tak pernah bosan dipandang itu.
"Hei!" sekali lagi diusapnya pipi itu.
"Hemm-mm," suaranya terdengar malas.
"Ponsel kamu berdering. Ada yang telpon." Dengan mata masih terpejam tangannya menggapai ponselnya di atas nakas. Axelle hanya tersenyum tipis melihat gadis yang tiba-tiba bersemayam dihatinya itu. Diraihnya ponsel itu lalu diletakkan di telinga sang gadis.
"Hallo, dengan siapa di sana?" Suara orang terkekeh mengejek di seberang telpon. Arbia agak terhenyak
"Nikmati malam terakhirmu bersama dia Nona, karena belum tentu besok kamu bisa menikmati hari-hari seperti ini lagi!" Spontan Arbia membelalakkan mata. Gerakan refleknya membuat Axelle yang bertelanjang dada bangkit mendekatinya.
"Kamu siapa? Mau apa? Dari siang kamu menggangguku terus, mau kamu apa?" Suara Arbia dalam kepanikan. Axelle merapikam selimut yang menempel di dada gadis itu. Punggung telanjangnya membuat Axelle menelan salavinanya.
"Ada apa? Siapa yang nelpon?" tanyanya sambil mendekap gadis itu. Arbia terguncang. Entah kenapa air matanya jatuh sendiri.
"Tenang, tenang. Ada aku di sini." Usapannya di punggung gadis itu mampu membuat Arbia sedikit melunak.
"Ceritakanlah, ada apa?"
Akhirnya Arbia menceritakan awal mula kejadian hari ini. Bermula dia dilimpahkan tugas oleh pimpinan direksi untuk mengerjakan Headline yang bertajuk tentang kasus pembunuhan 15 tahun silam. Sampai pada hari ini dia menemukan berkas-berkas organisasi yang terlibat dengan kasus masa silam itu.
Hingga dirinya tiba-tiba menerima pesan singkat berkali-kali dari si peneror gelap. Sepulang lembur kerja dia diikutu si peneror. Akhirnya terjadilah musibah. Dilain itu pertemuannya dengan Arka dan berakhir di ranjang dengan Axelle.
BERSAMBUNG
Mari membaca
Arbia tak menyangka, kalau dia benar-benar jatuh di pelukkan sang kapten. Begitu mudahkah? Rasanya baru kemarin dia sangat membenci laki-laki tampan itu. Terus bagaimana dengan ambisinya, mengungkap kasus pembunuhan kedua orang tuanya? Itu beda cerita. Kebenaran tetap harus diungkap. Kecupan itu mendarat mulus di kening Arbia. Pagi itu dengan gagahnya Axelle membukakan pintu buat tuan putrinya. Hari ini, hari pertama dia mengantar kekasihnya. Dari dalam ruangan kerja, karyawan riuh rendah bergosip. Pemandangan indah pagi ini, menjadi bahan gosipan mereka. Dengan langkah ringan Arbia memasuki tempat kerjanya. "Hemm-hem!" Mereka berdehem meledek Arbia. Arbia bukannya tidak tahu, tapi sengaja bersikap cuek bebek. "Udah ada yang move-on ni dari sang editor." Ledek mereka kompak. Ada senyum simpul di bibir sensual Arbia. Gadis itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya. Dia kembali membuka Headline kemarin. Setidaknya hari ini dia sudah bisa meng
Baru saja Arbia menghenyakkan tubuhnya di kursi kerjanya, ponselnya bergetar. "Arbi!" Sang editor di jaringan telpon. "Iya, Pak!" jawabnya tegas. Semenjak kejadian kemarin yang di hotel Buana Arbia merasa canggung dan tidak nyaman dekat dengan bosnya. "Deadline, siaran langsung di Jl. Cempaka, pusat perbelanjaan mall, terjadi penyanderaan oleh teroris. Kamu cepat kesini, bawa camera perekam!" Secepat kilat Arbia menyambar cameranya. Tanpa menghiraukan pertanyaan teman-temannya. Tugas dari bosnya langsung merupakan tantangan tersendiri buat Arbia. Apalagi kalau sudah menyangkut perampokkan dan teroris itu adalah tantangan buat adrenalinnya. Tidak sampai 15 menit, Arbia sudah memarkirkan motor kebesarannya. Dengan tergesa dia berlari ke arah keramaian. Yang ternyata sudah banyak banget pihak polisi dan wartawan di sana. Matanya mengerjap nggak percaya melihat siapa yang ditodongkan pistol di pelipisnya. "Kapte
Dari peristiwa itu, kapten Axelle menyempatkan diri, menjenguk Arka Abianta. Kali ini, dia bukan untuk menangkap seorang pimpinan mafia atau sejenisnya, tapi dia akan menjenguk karena sifat manusiawinya masih berjalan normal. Setidaknya, seandainya, waktu itu tidak ada Arka, mungkin dirinya sudah tak bisa bertemu dengan orang yang baru beberapa hari dipacarinya. Saat ini, Arbia Squilla, sedang memandangi wajah tirus yang mulai pias itu. Sudah hampir setengah jam dia duduk di sisi pembaringan rumah sakit itu. Tapi si empunya tempat tidur, belum juga sadar dari tidur panjangnya. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba menyeruak ke hati gadis muda ini. Dicobanya, mengingat kenangan masa kecilnya, yang benar-benar hilang dari memorinya. Padahal, sebagian masa lalunya waktu Sekolah Menengah Pertama, masih jelas terbayang dibenaknya. Ketika pertama kalinya, dia merasa suka pada kakak kelasnya, dan dari semenjak itu, Arbia tidak pernah ingin merasakan pacaran itu se
Pelukan itu seketika terlepas, tatkala terlihat seseorang itu berada tepat di depan pintu ruang rawat Arka Abianta. Baik Arka dan Arbi sama-sama terkejut mengetahui ada orang yang sudah berdiri diujung pintu. Dengan gugup, Arbi beranjak berdiri menyambut kedatangan orang yang sudah sangat dikenalnya itu. Sedangkan Arka sudah kembali bersikap normal setelah beberapa saat menguasai dirinya. Kapten Axelle, berjalan tegap ke arah Arka Abianta, pandangannya lurus ke depan tanpa menghiraukan keberadaan sang kekasih. Wajahnya terlihat begitu angkuh dan dingin. Arbia menelan salivanya, menyadari perubahan sikap sang kekasih. Dia yakin perubahan sikap Axelle dipicu rasa cemburu melihat dirinya berpelukan dengan Arka sang mafia. Tepat di depan pembaringan Arka, sang kapten berhenti, menatap wajah yang terlihat pias itu. Dengan masih bergeming, laki-laki bertubuh six-pack itu mengamati setiap pergerakkan yang dilakukan oleh sang mafia. Seorang mafia yang masih b
"Arbi! Tolong, Headline nya, Please ...! Suara itu terdengar dijaringan line telpon yang tersambung di meja kerja Arbia Siquilla. Suara yang terdengar menyentak dengan nada marah mutlak. Arbia hanya menarik nafas kesal. Bukannya dia nggak mau mengerjakan Headline itu dengan cepat, tapi dia sengaja mengulur waktu untuk mengumpulkan bukti-bukti yang akurat, setelahnya baru dia akan meluncurkan Headline itu ke seluruh media surat kabar lengkap dengan bukti beserta orang-orang yang tersandung di dalamnya. "Dikejar deadline ya,Kak?" sapa OB yang sudah berada di sampingnya, menaruh segelas minuman dingin dan sekotak kecil dissert pesanannya. "Eh, Virza, makasih ya," sambil tangannya merogoh kantung sakunya dan menyelipkan selembar uang kertas berwarna merah ke tangan anak muda itu. Pemuda itu terkesiap dengan muka terkejut, tapi akhirnya tersenyum kalem. "Makasih ya, Kak." balasnya. Arbia hanya tersenyum tanpa menoleh, matanya fokus ke layar laptop yang ada
Hai ini jadwal Headline yang Arbia kerjakan akan diluncurkan. Gadis itu sudah bersiap dari pagi untuk menerbitkan Headlinenya. 5 menit yang lalu, dia mendapat telpon langsung dari sang kekasih, tidak bisa mengantar karena ada tugas mendadak di luar kota. Agak nyesek juga mendengar sang kapten meninggalkannya ke luar kota, meski nanti malam pun kalau tugasnya selesai juga bisa pulang ke rumah. Kapten Axelle, hari ini bertugas menangkap peneror disalah satu rumah petinggi negara yang masih berkaitan dengan kepemilikan senjata tajam dan kasus uang negara. Peneror itu anak dari pejabat itu adalah anak dibawah umur yang masih berusia 8 tahun, dan peristiwa ini sama persis yang dialami Arbia tatkala dia berumur segitu. "Drtttt ..." "Arbi! Apa kamu siap menerbitkan Headline kita hari ini?" "Siap, Pak! Tapi mungkin, Saya sedikit terlambat berhubung kendaraan Saya ada masalah!" seru Arbi menjawab telpon dari bosnya. Dia meliha
"Mama!" Teriak Arka sambil berlari menubruk wanita yang dia panggil mama itu. Pria muda itu mengguncang badan wanita separuh baya yang sedang berbaring di tempat tidur. Ada dokter dan perawat di sekelilingnya. Ada juga asisten rumah tangga yang sudah mengabdi lama di rumahnya. "Bi ...! Mama, kenapa? Kenapa Mama ada di tempat ini?" tanyanya pada asisten rumah tangga mamanya dengan panik. "Iya Den, nyonya sakit. Biar pak dokter saja yang menjelaskannya." jawab wanita yang sudah berumur sekita 50 tahunan itu. "Dok, ada apa dengan Mama, Saya?" Masih dengan kepanikan maksimal, Arka bertanya sama dokter yang entah kapan datangnya di situ, di rumah lamanya. "Nyonya Syailla, mengalami syok ringan, beliau pingsan. Tapi, jangan khawatir untuk sementara kita tunggu kesadaran." jelas dokter itu. "Syok ringan, Dok? Tapi mama, Saya dalam keadaan tidak sadar diri, bahkan kondisinya begitu lemah. Apa iya, cuma syok ringan?" Arka semakin garang melihat sikap d
Ternyata untuk sampai ke tempat di mana, ditemukan titik GPS ponsel Arbia Siquilla, tidaklah mudah. Kapten Axelle harus menempuh waktu yang panjang untuk mencari alamat tempat terpencil itu. Suasana malam yang sudah hampir larut semakin mempersulit pencarian alamatnya. Beberapa kali dia sempat salah jalan dan memutar arah lagi untuk kembali ke tempat semula. Jalan menuju alamat yang dituju harus melewati jalan yang berkelok-kelok seperti jalan kampung yang di penuhi batu terjal. Alangkah jauhnya penculik itu membawa kekasihnya. Apakah ini bertujuan untuk menghilangkan semua bukti yang sudah dikumpulkan Arbia. Hari inipun Headline yang bertajuk Pembunuhan Berantai 15 Tahun Silam, itu batal diterbitkan. Seolah semua sudah direncanakan. Kasus 15 tahun silam ini, sengaja diulas kembali untuk mencari tahu siapa anak dari korban pembunuhan itu. Apakah ini ada hubungannya dengan pekerjaan Arbia? Tidak ada satupun yang tahu bahwa Arbia adalah anak dari korban p