"Kamu HRD di sini??" Mas Habib menatapku seakan tidak percaya.Aku sendiri sebenarnya tidak percaya akan bertemu mereka hari ini. Bertemu dengan dua orang ini adalah sesuatu hal yang sebenarnya tidak kuharapkan. Luka yang mereka torehkan di hati ini bahkan belum kering. Tapi aku berusaha untuk menutupi luka itu dengan bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Karena aku juga menyadari bahwa tidak ada gunanya menahan seseorang yang memang berniat ingin pergi. Hati ini mengikhlaskan dengan segenap jiwa terhadap apa yang telah terjadi. "Tidak mungkin dia HRD di sini Mas! Jangan percaya dengan bibirnya yang terbukti suka berbohong ini! Palingan kamu di sini hanya sebagai petugas kebersihan, kan?" Laila berkata dengan kasarnya.Aku sendiri sebenarnya tidak percaya sosok Laila ternyata sedemikian kasar, sungguh berbanding terbalik dengan tampangnya yang terlihat lembut. Seperti ini rupanya sifat asli wanita pilihan mantan suamiku ini. Lihatlah betapa dia berusaha meyakinkan mas Habib k
Bab 35Habib"Apaaa? Amira sudah sembuh dari sakitnya?" Ibuku membawakan mata ketika kuberi kabar itu."Iya, Bu. Dia sudah sehat. Bahkan dia sudah bekerja sekarang." jelasku lagi."Tidak mungkin!" Kelihatannya Ibu tak suka dengan kabar tersebut."Tapi kenyataannya itu yang kulihat Bu," ucapku meyakinkan."Bagaimana bisa dia sembuh? Apa dia memakai jasa orang pintar?" Terdengar Ibuku seperti menyimpan kecurigaan."Aku tidak tahu Bu.""Lalu di mana dia tinggal sekarang?" Tanya ibu kemudian."Aku tidak tahu di mana persisnya dia tinggal. Aku bertemu dengannya di tempat dimana dia bekerja," "Kerja apaa?" Ibu kembali nampak penasaran."Mbak Amira kerja apa?" Elia juga tak kalah ingin tahu."Dia bekerja di kantornya Pak Ardhi,""Haaa? Dia kerja di sana?" Elia kaget."Yang benar saja kau, Habib!" Ibu mencoba menampik. Mungkin dikiranya aku sedang bercanda."Aku serius bu," ucapku."Kalau begitu bagaimana caranya?" Ibu bertanya-tanya, dimana aku sendiri tidak tahu apa jawabannya."Ya aku jug
"Jadi enak jangan sembarangan bicara! Aku ini istri ayahmu! ingat ibu!" Tanpa menunggu lama aku menghardik anak kurang ajar yang berdiri di hadapanku ini."Ya memang benar kamu adalah istri Ayahku! Tapi bukan Ibuku!"Aku semakin dibuat geram dengan jawaban memuakkan Yoona. Dari kecil bibirnya tak pernah diajari sopan santun dalam berbicara. Sungguh Yoona anak kurang beruntung dilahirkan oleh wanita seperti Amira yang tidak tahu bagaimana cara mendidik seorang anak dengan baik. "Anakmu memang sangat menjijikkan, Amira!" Kupandang Amira dengan rasa jijik."Aku tak lebih menjijikan daripada dirimu!" Yoona memang tak pernah kehabisan kata-kata untuk melawanku."Jangan kira aku takut padamu, Laila! Asal kau tahu aku bisa saja mendorongmu! Atau membuat luka cakaran di wajahmu! Awas saja, kalau kamu menyakiti ibuku, aku benar-benar akan melakukannya!"Aku terdiam. Aku bergidik dengan ancaman Yoona. Anak ini cukup mengerikan. Terbayang olehku bagaimana dulu dia mengerjaiku saat di rumah saki
"Yoona kamu habis bicara sama siapa?" Aku bertanya."Sama ayah," Yoona menjawab.Aku memperhatikan raut wajahnya yang nampak muram."Ibu lihat Yoona tampak sedih, memang apa yang telah ayah katakan?" aku kian menyelidiki."Rupanya Laila memberikan laporan palsu pada Ayah, hingga membuat ayah marah besar padaku," anak itu menjelaskan dengan raut wajah yang jauh dari kata ceria."Lalu? Apa kamu sudah coba jelaskan pada ayahmu tentang kebenarannya?""Sudah Bu. Tapi ayah lebih percaya perempuan itu," Sudah kuduga. Beginilah sifat laki-laki kebanyakan, selalu menukarkan anak di urutan kedua atau bahkan yang terakhir dalam prioritas hidupnya. Mau mengatakan sedih tapi ini memang kenyataan. Aku merangkul pundaknya. Aku kenal betul bagaimana kondisi anak ini ketika sedang dilanda kesedihan. "Bisa Yoona ceritakan kesedihan Yoona sama ibu?" Aku berujar lembut.Yoona menggangguk."Tentu,"Mulailah Yoona bicara. Menceritakan dari awal hingga akhir penggalan cerita yang menjadi sebab musabab ke
HabibKutatap ponsel ini dengan hati yang menanggung pilu. Aku tahu status ini sudah bercerai, tapi apakah pantas seorang Amira berkata demikian padaku? Mengapa Amira tidak menerimaku bekerja di sana? Padahal seandainya saja Amira mau berpikir lebih panjang, mungkin dia tak akan lupa akan jasa yang pernah kuberikan padanya. Walau bagaimanapun buruknya dia memandangku saat ini, tapi dia pernah menggantungkan hidup denganku. Apa dia lupa masa-masa itu?Tidak patut bagi seorang Amira mengabaikan aku dengan cara seburuk ini. Dia tak mengerti bagaimana kondisiku sekarang yang bisa dikatakan dalam kondisi sulit. Sudah sekian lama aku mencari pekerjaan belum ada yang cocok sama sekali, lebih tepatnya belum diterima. Seharusnya sebagai seorang yang pernah menjalani hidup bersama, Amira harus punya hati untuk menerima lamaran kerja aku. Sebegitu sulitnya bagi Amira untuk melakukan hal kecil tersebut? Benar-benar tidak mempunyai rasa terima kasih.Padahal sebelumnya kupikir Amira tidak akan b
Satu lagi kekecewaanku bertambah terhadap Laila. Aku sanggup menjual perhiasan ibuku demi untuk memberinya uang, akan tetapi ternyata Laila menggunakan uang-uang tersebut dengan membeli barang-barang yang menurutku tidak terlalu penting.Seumur-umur Aku menikah dengan Amira, Amira tidak pernah menghambur-hamburkan uang secara berlebihan seperti yang dilakukan oleh Laila.Ini bukan maksud membanding-bandingkan. Akan tetapi antara Laila dan Amira memang memiliki perbedaan yang kentara. Aku berkata begini karena aku memang merasakan perbedaan tersebut.Aku tahu Laila memang cantik, tapi tidak seharusnya dia berlaku kurang ajar. Apalagi sampai memberi perintah pada orang tuaku seolah orang tuaku bukan sosok yang harus dihormati. Apabila ku tegur, dia malah main mengancam dengan membawa-bawa nama abahnya. Ini yang membuat situasiku sulit. Mengapa ya kalau dipikir-pikir rasanya hidup bersama Laila lebih membuatku kesusahan daripada ketika dulu masih bersama Amira. Dulu memang Amira tidak
"Ibuuuu...!" Kekhawatiranku sedikit mulai berkurang ketika aku lihat ibu telah bisa membuka kelopak mata."Bu, Ibu sudah siuman. Syukurlah...," aku memeluknya erat.Namun sesaat kemudian, aku menyadari bahwa Ibu tidak menanggapi ucapanku. Aku menatap Ibu beberapa saat."Ha... Habib....," suara Ibu terdengar aneh.Mataku menyipit tatkala kudapati kenyataan bahwa wajah Ibu terlihat tidak simetris. Bicaranya tidak terdengar sempurna, tidak jelas, dan yang pasti ini tidak seperti biasanya."Ibuuu?" Kepanikanku mulai naik satu tingkat lagi.Sepertinya Ibu ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terlihat tidak bisa menyampaikan keinginan beliau."Kita harus membawa ibu ke rumah sakit!" ucap ucapku cepat. "Bawa saja, Mas!" tanggap Laila."Kamu ikut?""Tidak."Aku kembali dibuat termangu."Kenapa tak ikut, Dik? Kalau kamu tak ikut bagaimana aku bisa membawa ibu ke rumah sakit? Siapa yang akan membantuku nantinya?ujarku padanya."Kamu bisa minta bayar taksi, Mas! Di rumah sakit ada dokter, p
Bab 41Ibu mertuaku stroke? Aduh ini tidak bisa kubayangkan. Tentu saja aku tidak menginginkan hal ini terjadi. Sebab, jika mertuaku sakit, suamiku pasti akan menghabiskan waktu lebih banyak Bersama sang ibu. Dan juga tentu kami akan kerepotan sekali. Ini nih definisi orang tua merepotkan.Dalam kekacauan ini, mataku mendapati satu sepeda motor berhenti tepat di depan rumah.Elia? Dia ke sini? Apa maunya? Ck ck ck"Ada apa El?" Tanyaku cepat."Mbak, keadaan Ibu semakin memburuk. Dokter bilang kita terlambat membawanya ke rumah sakit. Oleh karena ini kita sebagai anak beliau, mau tidak mau harus saling topang menopang untuk membiayai ibu. Supaya beliau bisa kembali sehat seperti sedia kala."Apaa? Dia bilang harus topang menopang dalam membiayai ibunya?"El, Mbak tidak bisa berbuat banyak dalam hal ini. Karena Mbak sendiri tidak mempunyai cukup uang. Kamu tahu sendiri kalau selama ini kakakmu itu nganggur. Tentu saja kami tidak punya apa-apa. Jadi bagaimana mungkin kami bisa ikut mem