Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Langkah kaki berayun pelan. Nyaris tidak tak terdengar. Suara deru napas berhembus sedikit memburu setiap kali kakinya menapaki jejak jalan bertanah basah diguyur hujan. Awan berwarna abu-abu begitu setia kawan mengiringi langkah kaki tak beralas itu dengan rintik hujan.Telinga gadis itu, begitu terganggu oleh teriakkan orang-orang yang menyuarakan agar dirinya untuk segera dihukum mati. Entah bagaimana dia begitu dibenci oleh orang-orang yang saat ini memandangnya jijik, semua berawal dari berita para wartawan yang meliputi kasus besar yang telah ia perbuat. Berita itupun akhirnya tersiar kemana-mana, dari mulut ke mulut, hingga di hati orang-orang menaruh dendam dan kebencian padanya akibat membaca berita kesadisannya."Beri hukuman mati ... jangan diberi ampun!" teriak salah seorang dari gerombolan masyarakat yang menyaksikan tertangkapnya gadis itu."Dasar pembunuh gila! Gak punya otak. Kau pantas mati, tempatmu di neraka!" teriak lainnya begitu membencinya."Perempuan laknat! Man
Malam, jam sudah menunjukan di angka 12 malam. Seharusnya begitu tenang. Seharusnya malam ini menjadi sunyi. Hari di mana orang-orang pergi tidur setelah seharian bekerja. Namun, terdengar suara anak kecil yang menyayat hati, parau dan terdengar pilu di sebuah rumah kontrakkan kecil di salah satu desa di kota Bandung. "Ampun Mah, maafkan aku Mah. Aku janji gak akan ngompol lagi!" Jeritnya sambil menangis, memohon ampun dan berusaha menutup kepalanya dari sabetan sapu lidi ibunya itu. "Alah ... janji mulu tiap hari. Tapi mana? Kamu tetap saja mengompol," teriak wanita itu terus memukuli anaknya yang baru berusia 4 tahun. Ia begitu bersemangat saat memukuli bocah perempuan yang lugu itu. "Mamah sudah capek ngebilangin kamu agar berhenti mengompol dan pecahin barang-barang di rumah, tapi kamu tetap saja melakukan itu, Dina! Mamah juga benci sekali sama ayah kamu yang pergi meninggalkan kamu yang nakal ini sama Mamah!" "Sudah pukul aja, biar dia ngerasain kalau kita capek, Mah, tiap har
Gadis itu mengingatnya, mengingat bagaimana dia di perlakukan buruk oleh kedua orang tuanya. Bahkan, ia termasuk gadis yang tidak bisa membaca dan juga tidak bisa menulis hingga sekarang. Dia juga tidak tahu bagaimana dirinya bisa menjadi seorang pembunuh, psikopat yang sangat sadis. Tapi dia tidak pernah ingat melakukan apapun. Semua tanpa sadar, tidak ada yang tersimpan di kepalanya. Hingga ia seperti orang bodoh yang lupa ingatan. Seperti kajadian tadi, saat penangkapan dirinya, ia sangat terkejut ketika tangannya sudah berlumur darah dan memegang pisau, korban pun dalam keadaan terikat tali dengan lidah menjulur keluar dan terpotong. Dia histeris, seolah menjadi orang kehilangan akal, gila, stres dan tak berprikemanusian. Anggapan-anggapan itu membuat dia seakan-akan menjadi tersangka utama pada pembunuhan tadi. Psikopat sejati yang sadis tanpa rasa iba terhadap korbannya. Gadis itu teringat, bagaimana ia menjadi pribadi yang dingin dan tidak lagi ceria seperti sebelum penyiksa
"Hiaaat!" Dina menatap sangat serius, tajam penuh dendam. Tangannya mengepal, giginya bergemerutuk. Ia sudah sangat kesal harus tiap hari dimarahi bocah-bocah nakal di hadapannya itu. Kali ini, dia tidak mau berdiam diri lagi. Sejujurnya, Dina bukan anak yang pandai berkelahi. Tetapi, perudungan dan sikap keras kedua orang tuanya membuat ia bisa bertahan saat harus berhadapan dengan orang. Seperti kali ini, dia pun nekat ingin melawan 4 anak laki-laki sendirian. Keempat anak laki-laki itu maju menyerang Dina. Dan bocah perempuan itu bersiap untuk melawan. Namun, "BERHENTI!" Suara teriakkan seorang wanita terdengar melengking. Dina menoleh, dan keempat anak laki-laki itu berhenti. Wanita itu menghampiri Dina dan kelima bocah-bocah laki-laki itu. "Tino, Dede, Azhar, Ryan dan Fadil, sedang apa kalian?" Wanita itu lalu menoleh pada Dina. "Kalian mengganggu Dina lagi?" tanya wanita berseragam guru itu dengan mata melotot. "Tidak bu, kami hanya ingin beli kuenya, tapi dia malah marah-m
"Ayo masuk!" ajak Dina. Bocah itu menurut saja layaknya kerbau dicocok hidungnya. Lalu, Krieeeet. Blaaam. Pintu tertutup rapat. Azhar celingukkan, tidak ada curiga sedikitpun. Ia mengamati sekelilingnya, ruangan gelap dan pengap di bumbuhi aroma bau busuk menyeruak ke dalam rongga hidungnya. "Tempat apa ini? Kenapa kita harus bersembunyi di tempat ini?" "Supaya tidak ketahuan!" Lagi-lagi senyuman mengerikan itu tampak di bibirnya. Dina menyambar besi yang tergeletak di dekat tembok. Lalu ia mengangkatnya tinggi-tinggi. Sialnya, Azhar menoleh ke arahnya. "Aaargh!" teriak Azhar, ia terjatuh karena kaget. "Mau apa kamu?" "Ssst!" henti Dina, tangannya berada di mulutnya sendiri. Ia jalan mendekati Azhar sambil, "Jangan berisik!" Berkata pelan. Gedebuk. Namun pukulan Dina meleset. Azhar bergegas bangun dan berlari. "Larilah sampai jauh. Aku akan terus mengejarmu!" gumam Dina sangat menakutkan. Kaki kecil itu berlari namun sayangnya, Gubrak. Azhar terjatuh. Kakinya tersandung k