Bella berjalan congkak, lalu duduk di hadapan mereka sambil melipat tangan di depan dada. Lucunya, bukannya pria itu duduk bersebrangan dengan Leona, mereka justru duduk berdampingan hingga membuat kepala Bella nyaris meledak.“Kenapa memanggilku ke sini? Mau menyampaikan undangan pernikahan kalian padaku?” Bella menatap nyalang pada keduanya, lalu menunjuk ke arah wajah Leona. “Atau mungkin kamu sedang hamil setelah menjual tubuhmu pada lelaki ini?”Meski selama ini berusaha tegar, melihat Bastian dan Leona duduk berdampingan seperti ini, ditambah lagi teringat aktivitas bergumul mereka itu membuat hati Bella mendadak nyeri.Leona belum menyahut, membiarkan Bastian mengambil alih alur perbincangan di depan sahabat yang ditikamnya beberapa tahun terakhir.“Kamu melihatnya saat itu, aku nggak bisa berdalih lagi. Tapi setidaknya, dengarkan penjelasan kami dulu. Bukannya kami sengaja mengkhianatimu, kami terpaksa melakukan ini karena-”Bastian tergagap saat Leona mencubit sisi pahanya.
Suara mesin mobil terdengar memasuki pelataran ketika senja. Arumi mengintip dari jendela kamarnya yang mengarah ke pelataran. Netranya memindai Hermawan dengan binar menggoda."Aku harus bisa jadi Nyonya Hermawan berikutnya."Berdandan dengan cantik, menggenakan daster batik sebatas paha, Arumi siap dengan kendalinya. Wewangian juga disemprot ke tubuhnya.Lekas dia keluar untuk pergi ke dapur. Membuatkan teh pada majikan untuk menarik perhatiannya."Mau ngapain, Rum?" tanya si bibi ketika melihat Arumi begitu sibuk mencari cangkir pada rak."Mau buatin teh untuk Bapak."Si bibi mendelik heran. "Siapa yang suruh?""Nggak ada, inisiatif aja. Sekalian aku mau ngobrol sama beliau. Aku, kan, baru bekerja hari ini untuk jadi pengasuh Bu Mayang."Selesai dengan secangkir teh, Arumi dengan gesit membawanya ke ruang tengah. Hermawan dan Mayang sedang bercengkrama di sana. Wanita itu tak menaruh curiga sedikit pun dengan pakaian Arumi, juga gestur. Arumi sengaja membungkuk untuk membiarkan tua
Januari, 2013."Aku menyukai Mirza. Bisa berikan hadiah ini untuknya?"Arumi tersenyum getir, memandangi kotak kado yang diberikan sahabatnya, Bella. Pandangan keduanya terpatri pada teman sekelasnya yang sedang duduk di kursi sudut. Pemuda tampan yang mengisi jam istirahat sekolah dengan membaca sebuah buku pelajaran. Sesekali dinaikkannya kacamata yang membingkai netra hitamnya."Untukmu!" kata Arumi, tepat setelah dia tiba di hadapan Mirza.Mirza belum bergeming, mendapati kado yang diyakini berisi buku-buku hanya dari bentuknya saja. Lekas dia membuka. Matanya memindai sampul dari buku berjudul Laa Tahzan yang sudah sejak lama dia cari. Juga buku agama yang lain."Ini...""Ini dariku. Sepertinya cocok untukmu," ujar Arumi, menyadari bahwa Mirza yang cukup alim ini, tentu tertarik pada buku pemberiannya.Darinya, tak mengatakan bahwa itu dari Bella.Awal di mana Mirza hanya mematri pandangan pada Arumi, setelah hari itu. Mengabaikan Bella yang diam-diam menaruh hati, tetapi dikhian
“Masih juga tanggal 15, udah gajian aja, Mas!”Mata Arumi berbinar saat Mirza, suaminya itu meletakkan amplop cokelat di atas meja. Cukup tebal hingga membuat wanita cantik berdaster batik itu meneguk ludah.Mirza menatap nanar pada sang istri. Bukannya membuatkan teh setelah menyambutnya pulang, peluh keringat yang menempel di kemejanya saja diabaikan Arumi. Uang terus yang dia tagih. Suaminya itu terlihat murung. Wajah tampannya terlihat kusam karena sering beradu dengan panasnya mesin di pabrik.“Banyak sekali, Mas Mirza? Tau aja kalau anak kita ini ngidam pizza sama burger yang sering kulihat di tivi-tivi itu, loh.”Lembar uang merah itu dia bagi menjadi beberapa bagian. Mengatur sedemikian rupa agar cukup dihabiskan dalam sebulan.“Aku lagi hamil enam minggu. Perlu minum susu dan makan yang bergizi lainnya. Kamu harus rajin kerja, Mas! Kalau nggak cukup duit kerja di pabrik, cari sambilan lain. Ngojek, misalnya. Masa depan kita masih panjang. Ini aja aku stop dulu untuk skin care
Lepas pembicaraan itu, Mirza masuk ke kamar dan melihat sang istri tidur memunggunginya. Dia menghela napas lega karena Arumi tak mengancam dengan mengemasi barangnya. Berniat pulang ke kampung meninggalkan Tangerang di mana Mirza mengadu peruntungan di kota ini.“Rum.”Mirza duduk di tepi kasur, mengusap sisi paha sang istri dengan lembut. “Jangan patah semangat, ya! Bantu aku dengan doa aja biar dapat kerjaan. Aku juga nggak mau anak kita menderita nantinya.”“Ya kalau gitu, cari kerja!” Arumi berbalik, tidur telentang sambil menyenter tajam wajah sendu Mirza. “Apa, kek! Mikir! Pokoknya bulan depan, aku harus dapat uang lagi,” keluh Arumi sambil menarik selimut sebatas kepala.Suara adzan menyela keresahan hati Mirza. Dia membuka kemeja sebab gerah dan lengket. Harus menyegarkan diri sebelum melaksanakan fardhu ashar.“Mas Mirza!”Suara Arumi mengejutkan. Tiba-tiba istrinya itu duduk dan bersemangat bicara. Lekas Mirza berbalik, mengambil handuk untuk digantungkan pada bahunya.“Ken
Seno mengikuti gerak langkah dari ketukan heels si cantik bertubuh langsing itu. Rambut pirangnya terurai menutupi punggung yang berbalut gaun merah darah. Heels setinggi tujuh senti begitu padu di kaki jenjang cantiknya.“Ada yang mau saya bicarakan, Mas. Duduk!” pinta Bella, mempersilakan Seno duduk di sofa seberangnya.Seno duduk sungkan sebab Bella selalu ramah pada setiap pegawai rumahnya. Senyumnya saja membuat para lelaki di rumah itu berdebar karenanya.“Saya dapat laporan, katanya Mas Seno minta setengah gaji di muka, benar?” tanya Bella.Seno mengangguk malu. Kalau bukan karena Arumi, dia enggan mengiba seperti ini. Uang gajinya tentu sudah untuk istri dan anaknya. Sebab kasihan pada Mirza, terpaksa dia meminjam uang ekstra pada majikannya ini.“Iya, Non. Untuk bapak saya di kampung.”“Baik, nanti saya transfer. Gaji bulan depan sisanya ya, Mas.”Seno mengangguk syukur. Saat Bella beranjak, tiba-tiba Seno teringat pada Mirza yang sedang menganggur di sana. Kali saja Mirza bi
Sukma mengangguk saja, kembali meneguk sirup jingga pada gelas kristal.“Memangnya kerja apa, sih? Sampai tampang jadi syarat utama? Memangnya mas-mu itu bakal diterima?” keluh Siti.“Iya, dong! Mas Mirza, suamiku itu ganteng,” ujar Arumi dengan penuh bangga. “Sukma bilang, kerjanya di permodelan gitu. Ya, kan? Padahal part time, tapi gajinya aja sampai lima juta.”Arumi bersikap jumawa di depan para temannya, sedangkan Sukma menyimpan tawa di balik senyum di bibir merah meronanya.“Iya, yang ganteng kayak Mirza itu jadi prioritas, sih! Badannya bagus, proporsional. Gantengnya alami. Agak kucel aja karena kerjanya nguli. Dipoles dikit juga kinclong kayak aktor Korea.” Sukma lanjut berkata.Begitu tenang para wanita ini bergosip di pagi hari. Entah jika tugas rumahnya sudah beres semua. Arumi pun puas menikmati hidupnya hasil dari tumpukan uang yang dia dapat belakangan ini.Sore harinya, Arumi duduk santai di ruang tengah sambil mengumpul uang arisan yang dia peroleh. Pesangon dari Mi
Mirza tiba di rumah sekitar pukul sepuluh malam. Arumi yang tadinya duduk santai di depan televisi, terkejut melihat tampilan lusuh suaminya itu. Pakaiannya kucel dengan bekas noda lumpur. Masih lembab setelah bermandikan hujan tadinya.“Kamu apa-apaan, sih, Mas? Kamu nyari kerja yang bener, ya! Aku nggak mau kamu jadi tukang gali gorong-gorong atau mungutin sampah jalanan!” Arumi memekik sambil menarik-narik krah sang suami. Mirza tak menyahuti. Sia-sia rasanya berdebat dengan Arumi. Masih terasa nyeri luka akibat sabetan belati tadi. Akan tetapi, pedulikah istrinya ini? Dirinya menepis tangan Arumi, masuk ke kamar karena harus membersihkan dirinya sebelum sholat isya.Arumi pun tak puas dengan sikap Mirza. Lekas ditariknya tangan sang suami ketika berhasil mencekalnya masuk ke dalam toilet kamar.“Mas! Udah mulai berani kamu nyuekin aku, ya! Jangan bikin aku malu sama temen-temen arisan dan tetangga kalau kamu kerja nguli dan keliatan gembel gini!” tukas Arumi, geram.Mirza sedikit