“Sayang, nanti kita telepon ayah, ya, Nak!” ujarku sambil menciumi pipinya dan kubawa dia ke kamar belakang.Kututup pintunya. Kupeluk Alika sambil berbaring di atas ranjang. Gadis kecilku menggeliat dan menatapku heran. Air mata ini terus mengalir. Sakit, sesak dan tak tahu harus mengadu pada siapa lagi sekarang. Kuraba gawai yang tak bernyawa ini. Gawai ini ponsel lama yang hanya bisa menerima panggilan telepon dan sms. Belum bisa akses internet.Semenjak menikah, gak pernah aku memakainya. Kusimpan saja di dalam lemari karena ini kubeli waktu lajang dulu dari hasil nguli. Baru ketika Mas Yasa pergi, kupergi ke counter dan membeli kartu sim. Aku sudah menghubungi pada nomornya kemarin agar dia menghubungi balik. Sepertinya telepati di antara kami masih terpatri. Ponsel jadulku berdering. Mas Yasa menelpon. Dengan binar bahagia aku segera mengangkat panggilan darinya. Berharap mendapat kabar baik dari seberang sana. “Hallo, Assalamualaikum, Mas!” sapaku.“Wa’alaikumsalam … kalian
“Mira, Ibu kasih tahu! Mela di sini memang numpang tidur. Namun bukan numpang, tepatnya ini memang rumah Mela karena rumah ini dibangun dari hasil ibu menjual tanah … tapi asal kamu tahu, dia tak pernah merepotkan kami. Mela tidak menumpang makan seperti yang kamu tuduhkan! Justru semua nasi dan lauk pauk yang kami makan itu hasil dari jerih payah Mela berjualan! Bukan dia yang numpang tapi Ibu dan Bapak yang selama ini numpang makan rejekinya Mela!” Aku menoleh. Ibu datang dan menjabarkan semua itu pada Mbak Miranda. Dulu dia tidak pernah berbicara seperti itu karena takut Mbak Miranda yang memang bukan anak kandungnya akan tersinggung. Benar saja, Mbak Miranda meletakkan semua makanan itu kembali ke atas meja dengan setengah dibantingnya. Dia menoleh pada Ibu.“Jadi, ibu mau bilang kalau aku selama ini meski rumah terpisah tapi tetap numpang makan di sini? Jadi ibu kini mau banding-bandingkan Mela sama aku, kalau Mela itu lebih baik di mata Ibu?” ucapnya dengan napas naik turun se
Iseng kuklik gambar mic pada gawai jadulku yang sering error sendiri. Eh, tapi ini ada beberapa file rekaman? Apa tidak sengaja tertekan waktu aku terjatuh akibat ulahnya? Coba nanti aku periksa usai shalat maghrib saja.Gegas kutunaikan tiga rakaat. Kulakukan dengan khidmat. Rasanya ada kedamaian menyusup pada relung kalbu setiap kali lantunan kalimat suci itu terucap perlahan dari bibirku. “Robbighfirlii warhamnii wajburnii warfa’nii warzuqnii wahdinii wa’afini wa’fu ‘annii.”“Wahai Tuhanku! Ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupkanlah segala kekuranganku, angkatlah derajatku, berilah rezeki padaku, berilah aku petunjuk, berilah kesehatan padaku dan berilah ampunan kepadaku.”Kuhayati setiap bacaan shalat yang kulantunkan dengan khidmat. Memohon pada sang pemilik kehidupan. Kadang ingin menyerah dan pasrah, tapi setiap kali menghayati setiap makna dari rangkaian kalimat yang setiap lima kali sehari aku lantunkan, hati ini segar kembali. Selalu ada pucuk harapan yang terbayang indah
“Fina, boleh pinjam pengeras suara?” Aku menoleh pada Safina. Dia mengangguk. Beruntung dia memang cukup aktif dan dipandang juga dalam setiap perkumpulan ibu-ibu. Jadi tidak ada yang berani menentangnya juga. Bisa dikatakan Safina ini salah satu kader dari kampung kami.“Bismillah …,” gumamku lirih ketika mengeluarkan gawai jadul dari saku gamisku. Kutekan file rekaman yang tadi sudah kuperiksa. Meski tidak lantang, tapi cukup terdengar jelas percakapan yang terjadi sebelum kejadian menjijikan itu kualami.Obrolan antara aku dan Mas Hasim mulai terdengar. Semua hadirin kini terdiam dan mendengarkan. Sementara Mbak Miranda memandangku penu kebencian.“Astagfirulloh! Istighfar, Mas! Aku ini adik iparmu!” terdengar suaraku mengawali rekaman ini. “Sebentar doang, Mel! Lagipula kamu baru punya anak satu, pasti rasanya beda!” Kali ini ucapan Mas Hasim terdengar jelas. “Mas, jangan macam-maca atau aku akan teriak?!” Nada suaraku penuh ancaman.“Kamu jangan sok jual mahal gitu, Mel! Mas b
Dia menarik jilbabku hingga lepas. Seringanya tampak menyeramkan dibawah remang cahaya rembulan.“Kita bersenang-senang di sini saja, adik iparku yang manis!” bisiknya di dekat telingaku. Disibaknya rambutku dengan kasar. Satu tangannya masih sibuk hendak melepaskan gamis yang kukenakan. Aku masih berusaha mencari cara agar bisa terlepas dari bekapannya. Semakin jijik ketika dia sudah mulai menjamah bagian dari tubuhku. Sedikit kesempatan tangannya terangkat. Aku berteriak semampuku.“Tolooo-“ Mulutku kembali dibekapnya. Tenaganya sangat luar biasa hingga aku tidak bisa berkutik sama sekali. Bugh!Suara pukulan keras kudengar diiringi dengan tubuh Mas Hasim yang terjungkal. Ketika kulirik tengah berdiri seseorang dalam remang. Aku menutup bagian tubuhku yang terbuka dengan kerudung yang tersampir pada semak. Lelaki itu kembali memburu Mas Hasim dan menghadiahinya sebuah pukulan. Aku masih terisak. Otakku seakan berhenti berjalan hingga saat tampak Mas Hasim berlari dan menyalakan s
“Mas, Yasa … cari kami segera!” batinku memanggil namanya. Diluar masih terdengar suara obrolan mereka. Aku menggendong Alika yang masih terlelap. Tidak kubiarkan dia bangun takutnya nanti tidak mau kuajak berangkat. “Mel, mau pergi ke mana malam-malam begini?” Ibu semakin kencang menangis. “Sudahlah, Bu! Yang jelas sekarang aku harus pergi! Nanti kalau aku sudah punya tempat tinggal, aku akan memberitahukan alamatnya pada Ibu,” ucapku. Hatiku sudah terlanjur sakit atas sikap Bapak yang bahkan tidak bertanya dan tidak hendak mendengarkan pembelaanku. “Ya Allah, cucu Ibu ….” Ibu kembali menangis sesenggukan sambil menciumi wajah Alika. Aku pun sebetulnya bingung mau pergi ke mana. Hanya membawa sedikit uang untuk berjualan sayuran nanti di tempat baru dan sedikit tabungan untuk biaya makanku. Bahkan belum ada jatah untuk mencari kontrakan juga. Hati remuk redam membayangkan Alika harus meringkuk bersamaku di emperan. Terkena sapuan dinginnya angin malam. Sepedih ini nasib kita se
“Mas, pamit ya, Dek! Tunggu Mas ke sini jemput kamu sama Alika! Biaya dokter biar Mas yang bayar nanti! Mas pergi! Assalamu’alaikum!” ucapku pada Mela---istriku. Setelah semua kejadian itu dan kemurkaan Bapak Mertuaku yang sudah pada puncaknya, aku tidak punya pilihan. Malam ini aku harus merelakan luka tergores pada hati istriku---Mela. Ya, aku tahu, dia sangat terluka atas semua kejadian ini.“Wa’alaikumsalam! Mas …,” lirihnya. Tampak tatapan matanya yang tergenang cairan bening mengantarkanku. Aku melangkah perlahan membawa tanggung jawab besar dalam pundakku. Aku sudah berjanji akan menjemputnya dengan kendaraan terbaik yang kumiliki dan membawanya pulang pada rumah masa depan kami. Menyusuri jalanan berkerikil kecil yang menghubungkan jalanan kampung dengan jalanan raya yang ada di depan sana. Pulang ke Surabaya, kali ini tujuanku.Ya, meskipun tak pasti apakah keluarga besar masih menerimaku. Namun aku sadar, ada restu Ibu yang harus kupinta. Meskipun dulu berkeras dia menola
POV YASAAku duduk di posko security sambil meluruskan kaki. Perjalanan panjang tadi cukup melelahkan. Suara halus seorang perempuan menyapaku.“Mas Abi ‘kan? Masih inget gak sama aku? Ini Yesa, Mas!” ujarnya dengan netra berbinar. “Yesa? Kamu yang dulu jadi model itu ‘kan?” tanyaku mengingat-ingat.“Iya, Mas! Aku Yesa adiknya Mas Ilham! Btw ngapain di sini? Mas Ilham ada lho di rumah! Ayo maen, Mas! Kasian dia lagi gabut baru putus ama ceweknya!” ucapnya. Ilham, teman kuliahku dulu. Dulu aku sering main ke rumahnya waktu kuliah hingga kenal dengan Yesa---adiknya, yang waktu itu baru masuk semester satu kuliah.Aku berpikir sejenak, sepertinya tidak ada salahnya aku mampir ke rumah Ilham sekalian numpang istirahat sebentar. “Oh, Ilham ada di rumah, Yes? Ya udah Mas mampir bentar, deh! Rumahnya masih yang lama ‘kan?” tanyaku sambil menoleh padanya. Wanita itu mengangguk. Lalu aku berjalan mengikutinya. Kami mengobrol ringan hingga tiba di depan rumah dua lantai miliknya. "Hay, Bro