Deg! Satu benturan lagi terasa mengenai dada. Maksudnya apa dari semua obrolan yang tak sengaja kudengar ini? Apakah perhatian yang Mas Laksa tunjukkan itu hanya sebatas karena amanat Mbak Keysa? Lalu kenapa Mbak Keysa mengamanatkan seperti itu. Kenapa Mas Laksa harus menikahiku? Aku dan dia pun tak berteman dekat. Justru dia temannya Mbak Rahma. Lalu kenapa harus aku yang dia pilih untuk menggantikannya? Tante Ros tak menimpali lagi sehingga setelah beberapa detik, aku memutuskan untuk berjalan menuju mereka kembali. Aku duduk di tempat semula. “Ahm, Ma. Sudah agak malam. Aku nganter Rara pulang dulu, ya!” “Oke.” Tante Ros tersenyum. “Pamit pulang dulu, ya, Tante!” Aku bangkit dan mencium punggung tangannya. “Oke, hati-hati.” Hanya itu yang terucap. Namun, segini saja aku sudah merasa syukur. Tak ada hinaan, tak ada cemoohan dan tak ada makian seperti yang sudah aku bayangkan. Mas Laksa mengantarku pulang. Dalam benak sebetulnya muncul beragam pertanyaan. Namun, entah kenapa a
Acara sudah mau dimulai. Rasa iba karena keluhan Mbak Rahma tadi pagi, perlahan berubah kesal. Sampai siang semua keluarga dari pihak suami Mbak Rahma sudah datang, tetapi tak ada satu pun yang membantu di dapur. Aku dan Ibu yang kelelahan berdua. Sementara itu, semenjak mendengar perkataan Ibu jika Mas Laksa akan melamarku, sikap Mbak Rahma berubah ketus dan tampak uring-uringan. “Ibu! Rara! Ini bekas makannya angkutin, dong!” Kudengar suara Mbak Rahma memekik dari ruang tengah. Ibu sudah hendak melangkah, tetapi aku menahannya. “Kenapa, Ra?” Ibu menatapku dengan garisan wajah lelahnya. “Biar saja, Bu. Toh mereka juga gak ngapa-ngapain dari tadi. Datang terus ngopi, makan, masa piring bekas mereka sendiri pun harus kita yang beresin. Biar, biar saja.” Akhirnya Ibu menurut. Kebetulan kami memang masih sibuk membuat bingkisan untuk para tamu nanti yang datang. “Ra, Rara!” Kudengar kali ini Mbak Rahma memekik memanggilku. Aku pun mengabaikan panggilannya. Tetap fokus membungkusi
Pertemuan yang Mas Laksa janjikan pun akhirnya usai juga. Tante Rose dan Om Seno---ayahnya Mas Laksa baru saja undur diri. Mbak Rahma yang memang tetap kuundang, wajahnya ditekuk sepanjang acara. Sesekali dia melirik barang-barang yang dibawa keluarga Mas Laksa. Beberapa parcel tertata di ruang tengah. Isinya memang tak muluk-muluk hanya buah tangan ringan seperti buah-buahan dan daging yang sepertinya mahal dari supermarket. Ada juga beberapa set pakaian lagi dan cincin mas putih yang disematkan dijemariku sebagai pengikat. Selain Mbak Rahma dan Mas Iwan, Ibu juga mengundang Pak RT dan salah satu tetangga. Setidaknya tak terlalu sepi hanya kami berdua. Ibu tak memiliki kerabat di sini. Kakak satu-satunya sudah meninggal juga. “Pak RT, silakan dibawa!” Ibu memasukkan beberapa buah-buahan yang kelihatannya mahal itu ke dalam plastik. Ada buah, biskuit dan juga susu cair. Begitu pun untuk Pak Hamid---tetangga yang lain. Ibu membekalinya dengan beberapa kudapan yang dibongkar dari parc
“Ahm, rupanya ini alasan keluargamu membatalkan perjodohan kita, Mas?” Perempuan itu mendekat dengan mengayunkan kaki jenjangnya yang terekspose sempurna. Dia hanya menggunakan mini dress tanpa lengan dengan potongan belahan dada rendah sehingga sebagian gunung kembar yang harusnya tertutup itu terlihat sebagian. Mas Laksa tetap santai. Menoleh sekilas, bahkan dia malah menusukkan lagi garpu pada steak yang tadi sudah dipotongnya lalu menyuapiku lagi. “Wah, gak nyangka ketemu di sini, Vio. Lagi ada acara?” tanya Mas Laksa. Dia hanya melirik sekilas dengan tenangnya. Mengabaikan tatapan sinis perempuan yang kini sudah menarik satu kursi di hadapan kami. “Mas, jadi dia perempuannya?” Bukannya menjawab, wanita itu kembali melontarkan pertanyaan pada Mas Laksa.Mas Laksa menoleh dan menyimpan garpu yang tadi dipegangnya. “Iya, Viola. Kenalkan ini Humaira---calon istriku.” Mas Laksa menatap tajam perempuan itu. “Ck! Kamu itu sadar gak, sih? Kamu itu gak selevel sama dia, Mas. Kamu itu
“Astaghfirulloh, Mas. Itu ‘kan Virna.” Reflek aku menarik tangan Mas Laksa dan mendekat. Virna tengah duduk di area dekat security dan meraung-raung menangis. “Sudah, sudah, Vir! Malu.” Mas Rustam tampak berusaha menenangkan perempuan itu. “Mohon maaf atas ketidak nyamanan, Mas dan Mbaknya. Kami akan segera tindaklanjuti kasus hipnotis dan penipuan ini. Mohon jelaskan di area mana kejadiannya biar kamu bantu check di CCTV.” Security tersebut tampak berusaha menangani kondisi. “Masalahnya, tadi Virna ke toilet perempuan, Pak. Di sana ‘kan gak ada CCTV, pas sudah jalan ada sekitar sepuluh menit dan kami mau makan. Saya baru sadar, kok dia gak bawa kantung belanja. Pas gitu, Virna juga tampak baru sadar, ponselnya dia gak ada, terus dompet, atm dan perhiasan yang baru kami beli juga raib.” Astaghfirulloh … kasihan sekali nasibnya. Jangan-jangan tadi ada orang yang membuntuti dia ketika dia pamer-pamer perhiasan. “Ra, ayo! Nanti keburu sore.” Suara Mas Laksa mengalihkan fokusku. “Ok
Ingin rasanya aku meminta penjelasan itu padanya. Namun, tidak sekarang. Aku rasa timingnya tidak tepat kalau sekarang aku bertanya padanya. Dia tengah terkena musibah. Bayinya masih dirawat di NICU dan juga sedang ada masalah keluarga. “Bu, aku sedih banget. Apa bisa Rara ke sini buat nemenin aku?” pintanya. Aku menautkan alis. Kenapa juga aku harus dibawa-bawa dalam masalahnya. “Kok jadi minta Rara sih, Rahma?” Ibu terdengar heran. Aku juga.“Semua keluarga Mas Iwan tak mengacuhkanku lagi, Bu.” Lagi-lagi dia terisak. Hening. Aku dan Ibu saling bertukar pandang. “Gimana, Bu? Aku benar-benar seperti hampir mau gila dan depresi.” Suaranya meninggi. “Adik kamu seminggu lagi mau nikah, Rahma. Dia tak boleh pergi ke mana-mana. Ibu tak mengijinkan dia.” Suara Ibu terdengar jernih.“Kok Ibu tega, kenapa Ibu pilih kasih? Aku butuh teman, Bu! Aku bisa-bisa gila kalau setiap hari Mas Iwan berlaku seperti ini.” Dia makin histeris. Aku dan Ibu, lagi-lagi saling lempar pandang. Aku menggel
Aku terkesima menatap kucing malang yang kesakitan itu. Nampaknya dia keracunan karena dari mulutnya tampak ada busa keluar. Aku yang shock, seketika hanya mampu luruh dan gemetar. Tangisku pecah tertahan. Ingin rasanya keluar dan membangunkan semuanya, tetapi sejak siang tadi kulihat Ibu tampak begitu capek mengatur semuanya sendiri. Dia yang mengurus ini dan itu, walau Mas Laksa sudah mengirim orang untuk mengontrol dan mengarahkan, tetapi tetap saja Ibu mau memastikan semuanya berjalan lancar. Mas Laksa, iya … Mas Laksa. Lekas aku mengambil gawai dan menghubunginya. Tak perlu menunggu lama, baru saja aku menelpon, dia sudah mengangkatnya. Bisa jadi, dia pun sama sulit tidur sepertiku. “Assalamu’alaikum, Mas ….” Aku terisak. Rasanya kaki saja lemas dan masih gemetar. Tiba-tiba saja aku begitu takut pada sosok Mbak Rahma. Entah kenapa feelingku, Petty keracunan minuman yang katanya susu itu. Di antara rasa takut yang menjadi. Lekas aku menuju pintu dan menguncinya dari dalam. Aku
Pak Tomo pun kulihat beranjak dan meninggalkan Mbak Rahma juga. Setelah itu, aku gegas mengguyur tubuhku dengan air hangat yang sudah disiapkan Ibu. Sedikit lebih segar. Tak lama-lama juga aku mandinya karena sudah siang. Setelahnya, lekas masuk kembali ke kamar dan melihat Mbak Rahma yang tengah duduk di atas tempat tidurku dan matanya mengedar mencari-cari sesuatu. Aku pura-pura tak acuh. Hanya ingin tahu apa yang ingin dia katakan. “Wah cantiknya adik Mbak. Pasti tidurnya nyenyak ya karena minum susu semalam? Sayangnya cuma satu itu. Kalau ada dua, pengen juga lah Mbak minum biar bisa istirahat nyenyak kayak kamu.” Dia tersenyum dan wajahnya tampak tak menunjukkan apa-apa. “Oh, memang susu yang Mbak buat itu bisa buat tidur nyenyak, ya?” Aku melirik ke arahnya. Hanya ingin melihat ekspresinya.“Katanya, iya. Buktinya kan iya. Kamu juga sampai bangun sesiang ini. Gak biasanya.” Dia bicara dengan ringan. Aku yang sudah duduk di kursi yang sudah disiapkan MUA menoleh. “Kok katanya