Kukecup keningnya lama. Perempuan yang namanya kini mulai memenuhi relung hati itu kubaringkan di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sekali begitu menggemaskan dan bikin kangen.“Jangan banyak gerak, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas.” Bukannya menjawab, sepasang bola bening itu hanya menatapnya dengan berkedip-kedip saja. Ada senyuman terkulum pada bibir merahnya yang tampak ranum. Kalau sudah begini, rasanya dunia ingin kuperintahkan saja untuk berhenti berputar. Perlahan aku menunduk, memangkas jarak untuk menyentuh bibir ranumnya. Dia tak menolak, sepasang mata itu berubah menjadi teduh. Amarah dan rasa bencinya sepertinya sudah berlari dan kini bahkan tangannya perlahan mengalung pada leherku.Krieeet!Suara daun pintu membuat aktivitasku berhenti begitu saja. Bersamaan dengan itu suara yang sangat kuhapal terdengar.“Laksa … bisa Mama bicara.” “Ahm, iy--Iya, Ma.” Sedikit gugup. Wajah Rara tampak merona, mungkin ada rasa malu ketika ketahuan sedang ber
“Iya, Om … semoga Viola segera bisa mendapatkan kebahagiaan.” Laksa menjawab datar. “Hanya saja, kebahagiaan dia itu, kamu, Laksa … tolonglah datang … Om mohon … anggap saja ini permintaan Om yang terakhir. Datanglah ke sini dan kuatkan dia … dia butuh kehadiran kamu, Laksa … dia butuh kamu.” Laksa menghela napas kasar. Ada rasa kemanusiaan yang tersentil, tetapi ada sebuah perasaan yang kini harus aku kedepankan juga yaitu perasaan istrinya, Humaira. “Maaf, Om. Saya tidak bisa. Ada perasaan istri saya yang harus dijaga.” Sambungan telepon diputus sepihak oleh Om Wisnu, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Laksa tak ambil pusing. Dia langsung beralih pada setumpuk pekerjaan dan mengabaikan hal-hal yang menurutnya tak penting. Termasuk urusan Viola. *** Di tempat yang berbeda. Ibu menatap Mbak Rahma. Tubuhnya yang kurus kering tampak memprihatinkan. Kondisinya mentalnya perlahan membaik karena bantuan dari Rara yang mengkover biaya berobat pada psikolog. Ha
Bab 54 Sembilan bulan kemudian. Sosok ringkih bertubuh kurus itu menatap dengan air mata mengembun. Dia tak berani menghampiri kerumunan yang ada di sebuah rumah yang baru saja selesai di renovasi. Duduk di tepi jalan dengan wajah tertutup sebagian kerudungnya. Dia pun berpura-pura memunguti botol-botol minuman bekas agar tak dicurigai. Segerombolan para Ibu melewatinya sambil membawa tentengan dengan wajah sumringah. Mereka sibuk mengobrol sambil tertawa-tawa. “Gak nyangka, ya? Nasib Si Rara mujur banget. Dulu kita kira paling kalaupun ada yang mau, duda tua yang istrinya udah metong. Eh, malah dapet duda kaya yang tajir melintir dan tampannya gak ketulungan.” “Iya, bener. Bikin iri aja, ya. Ini bingkisannya juga pasti mahal ini harganya … udah kaya, suami ganteng, anak cantik, duit banyak, beuhh … mau dong diperkosa.” “Hush!” Lalu mereka bergelak tertawa. Perempuan yang tengah menyimak obrolan itu menghela napas panjang. Ada senyuman terukir tipis. Lalu dia pun beranjak meni
“Perempuan ini sudah tak perawan, Tam. Apa yang kamu harapkan dari wanita yang pernah gila dan ternoda seperti dia, hah? Jauh langit dan bumi kedudukan kita dengannya. Ibarat kata, dia itu lumpur dan kita ini berlian. Sampai kapanpun, gak akan sepadan. Jangan mimpi dapetin restu Mama pokoknya. Titik ”Deg! Aku baru saja berdiri dan hendak menyapa perempuan yang akan menjadi mertuaku, ketika kalimat yang menghujam ke dalam dada itu terlontar begitu saja. “Please, Ma. Rara gadis baik-baik, Ma. Aku mencintainya.” Mas Rustam meraih jemariku. Seolah takut kehilangan. “Mama tetap gak akan restuin kamu, Tam. Sekarang semua pilihan ada di tangan kamu. Kamu pilih dia atau Mama? Andai kamu pilih dia, jangan mimpi dapet hak waris lagi dan semua toko yang Mama miliki akan jadi hak adik kamu semuanya!” Ibu Windari bersedekap dengan angkuhnya. Genggaman tangan Mas Rustam memudar. Seiring dengan itu, sakit yang menghujam kembali kurasakkan. Menusuk begitu dalam. “Maaf kalau kehadiran saya buat
"Aidan!” Suara seorang lelaki yang baru keluar dari minimarket memekik cemas. Dia gegas berlari dan meraih tubuh mungil yang menangis itu. Dia menggendongnya dan lantas menghampiriku. Wajahnya tampak terkejut dan kaget luar biasa. “Hu--Humaira?” Dia menyebut namaku. Tampak sekali kaget dan terkejut ketika melihatku.“M—Mas Laksa?” Mataku sudah berkaca-kaca. Bukan karena bertemu dengan dia yang dulu pernah berarti lalu pergi, tetapi rasa sakit kurasakan pada kaki semakin menjadi. “Mbak Tini! Tolong jaga Aidan!” Dia menghampiriku. Lantas mengulurkan tangan. Aidan---anak lelaki yang mungkin usianya sekitar tiga tahunan itu langsung berpindah pada gendongan perempuan berpakaian suster yang datang menghampiri dengan wajah pucat pasi. “M—Maaf, Tuan! S—saya tadi ke toilet! J—Jangan pecat saya, Tuan!” Suaranya bergetar. Mas Laksa berdiri kembali dan menatap wajah perempuan perempuan yang meraih Aidan. Tatapannya dingin, wajahnya sama sekali taka da senyuman. Namun perlahan dia menghela n
“Ahm, dia bukan istri saya, Dok. Istri saya sudah meninggal, Dok.” Dia menjawab dengan senyum kecut. Aku menoleh terkejut, “J--jadi, Mbak Kesya sudah meninggal? Rasanya waktu terakhir ketemu masih sehat-sehat saja.” Namun, hanya mampu kuucap dalam diam. Karena setelah itu pun fokusku teralihkan untuk menjawab pertanyaan dokter yang memeriksa kakikku yang selain terkilir juga ada luka goresan. Pemeriksaan dokter pun usai, Mas Laksa pergi ke apotek sebentar untuk menebus obat buatku. Ada satu obat anti nyeri, salep dan sisanya aku tak paham. Katanya semua di minum sehari tiga kali. Setelah itu, mobil langsung melaju dan menuju ke rumahku yang berada tak jauh dari sini. Mobil terhenti di depan rumah. Rumahku tak besar, hanya ada dua kamar. Namun, semenjak aku dan Mbak Rahma besar, dulu Bapak merombak bagian teras depan dan menjadikan kamar itu untukku. Masih terdiri dari setengah dinding permanen saja, bagian atasnya dibuat dari triplek. “Makasih sudah nganter sampai rumah, Mas.” Ak
“Biar Ibu saja yang buka, Ra.” Ibu bangkit dan melangkah ke arah pintu. “Assalamu’alaikum, Bu!” Suara perempuan terdengar. Rupanya Mbak Rahma---kakak seayah tapi beda ibu yang datang. Aku menunduk. Selalu sakit jika melihat dia. Bagaimana tidak, dialah orang yang menggantikanku menikah dengan Mas Iwan setelah aku kehilangan segalanya. “Wa’alaikumsalam!” Kami menjawab serempak. Aku mencoba bersikap biasa ketika wajahnya menyembul. Benar saja, dia bersama lelaki yang hampir saja menjadi suamiku dulu. Mas Iwan melirik sekilas ke arahku, aku memilih menunduk. “Sehat, Mbak?” Aku bangkit dan menyalaminya, memasang wajah tersenyum. Seperti biasa dia memelukku. “Mbak sama Mas Iwan baik, Ra. Dedek juga baik.” Dia mengusap perutnya setelah pelukan kami terlepas. Perih rasanya, seolah dia hendak menunjukkan kebahagiaannya di depanku. Ah, itu hanya perasaanku saja. Mungkin karena luka di dalam sini masih lebar menganga.“Semoga jadi anak soleh, Nak!” tukasku seraya mengusap perut besarnya.A
“Mbak, jawab, Mbak! Apa Mbak tahu sesuatu mungkin … kejadian dua setengah tahun lalu kan terjadi di villa Mas Laksa … apa Mbak tahu sesuatu?” Aku mendesaknya. Entah kenapa tiba-tiba feelingku mengarah ke sana. “Mbak gak tahu apa-apa, Ra. Tadi itu, Mbak cuma kaget saja. Kok bisa ada Mas Laksa di sini. Maklum kita ‘kan orang gak punya. Sekalinya ada orang kaya yang mampir berasa aneh.” Dia menjawab sambil terkekeh. “Yakin gak ada yang Mbak tutup-tutupin?” Aku menyipit. “Ya ampuuun, Humaira. Harus gimana lagi cara Mbak jelasinnya! Lagian sudah dua setengah tahun lalu. Sudah gak usah diungkit lagi. Kamu sudah harus move on, Ra. Harus sudah melupakan masa lalu.” Mbak Rahma berucap seperti biasa. Itulah yang akan dia katakan setiap kali aku menanyakan kejadian dua setengah tahun lalu. Lalu dia menepuk pundakku dan berjalan pergi. Aku masih mematung sendirian ketika suara deru motor terdengar menjauh. Mbah Rahma bahkan langsung pulang dan tak menemuiku lagi. Aku juga sudah lelah. Lekas