Aku dan Mas Hanan baru saja sampai di kampung saat jam makan siang. Perjalanan dari kota ke kampungku memakan waktu 5 jam. Kedatangan kami disambut hangat oleh Bapak dan Ibu. Sebelum berangkat tadi, aku memang sempat menghubungi Ibu, memberitahu kedatanganku bersama Mas Hanan."Alhamdulillah, kalian sampai juga dengan selamat! Ayo, masuk. Istirahat dulu, kalian pasti capek," sambut Ibu memelukku. Aku membalas pelukan hangat Ibu yang sangat ku rindukan itu, setelah itu beralih pada Bapak juga.Aku dan Mas Hanan digiring masuk oleh Bapak dan Ibu. Aku mempersilahkan Mas Hanan istirahat di sofa lebih dulu, sedang aku ikut Ibu ke dapur untuk menyiapkan makan siang.Beruntung rumah ini sudah direnovasi, bayangkan kalau belum? Pasti Mas Hanan akan risih berada disini. Aku meninggalkan Mas Hanan bersama Bapak disana, biarkan saja mereka berbincang-bincang dulu."Wah, Ibu masak banyak banget. Nay jadi kangen makan masakan Ibu," seruku saat melihat di meja makan sudah penuh dengan masakan Ibu.
"Bagaimana bisa kamu malah berpikir begitu? Kami tidak ingin Nayma dinikahi secara siri. Memangnya dia istri kedua?" protes Bapak, Ibu mengangguk setuju. Raut wajah orang tuaku sudah berubah, dari yang awalnya bersahabat menjadi lebih sangar."Apa jangan-jangan karena ini keluargamu tak ada yang datang? Apa kau ingin menikahi putriku secara diam-diam, hah?" hardik Bapak dengan muka memerah. Dia sudah berdiri dari duduknya, aku jadi takut luar biasa menyaksikan kemarahan Bapak.Ibu ikut berdiri, dia menenangkan Bapak yang tampak emosi. Kutatap Mas Hanan dengan tajam, tapi lelaki itu hanya diam dengan wajah datar."Pak, dengar dulu penjelasan Mas Hanan. Jangan emosi begini, Pak," kataku mencoba menengahi."Benar apa yang dikatakan Nayma, Pak. Malu kalau didengar tetangga ribut-ribut begini," timpal Ibu ikut menenangkan. Bapak menghembuskan napas kasar, kemudian beristighfar dengan lirih.Kami kembali duduk setelah Bapak tenang. Bapak menatap Mas Hanan dengan tajam. "Sebelumnya saya moh
Mas Hanan memegang bahuku, kemudian menatapku penuh harap. Aku tak sanggup jika harus mengecewakan laki-laki ini. Dia saja bisa meninggalkan keluarganya demi aku, kan? Lagian Bapak dan Ibu tak akan sanggup marah denganku lama-lama. Aku anak mereka satu-satunya, mana mungkin mereka sanggup kehilanganku seperti yang Bapak Katakan tadi.Aku memutuskan mengangguk. Aku akan tetap menikah dengan Mas Hanan di kota. Aku yakin, setelah aku menikah dan punya anak, Bapak dan Ibu pasti akan memaafkan. Biarlah sekarang mereka marah dulu. Lagian kemana lagi kucari laki-laki yang royal dan tampan seperti Mas Hanan? Apalagi aku sudah diperaw*ni oleh Mas Hanan, mana ada laki-laki yang mau lagi padaku, kan?"Terimakasih banyak, Yank. Mas janji akan terus membahagiakanmu," janji Mas Hanan. Lelaki itu menatapku. Bisa kulihat ketulusan dari bola mata lelaki itu, aku yakin tak akan menyesal mengambil keputusan ini."Jangan pernah tinggalkan aku, ya, Mas? Aku udah nggak punya siapa-siapa lagi setelah ini. B
[Seharusnya, jadi perempuan itu mahalan dikit, Nay. Pernikahan itu kalau bisa sekali seumur hidup, itu pun kalau tak ada PELAKOR yang akan menggoda suamimu. Masa iya nikah cuma pake kebaya dan riasan wajah yang tipis begitu? Aku yang otw janda aja ogah diajak nikah sederhana. Ya, kali nikah cuma dihadiri empat orang? Itu nikah atau rapat keluarga?]Darahku mendidih membaca pesan Aluna. Emosiku memuncak hingga ke ubun-ubun. Benar-benar perempuan sialan. Berani-beraninya dia menghinaku. Dengan menahan geram, aku membalas pesan darinya.[Yang penting halal, kan? Dari pada kamu, ditinggalkan hanya demi perempuan lain. Itu artinya, kamu itu tak berharga sedikit pun di hati Mas Hanan.]Aku berharap Aluna sakit hati dengan pesanku ini. Ingin sekali kulihat perempuan itu hancur sehancur-hancurnya. Lihat saja! Setelah ini, tak akan kubiarkan Mas Hanan bertemu dengan putri mereka lagi."Yank! Dari tadi mainin ponsel terus. Mending sekarang kita beres-beres," tegur Mas Hanan menepuk pundakku. Ak
[Darimana kamu tau tentang kontrakan baru kami? Kamu sengaja memata-matai kami, ya? Keliatan banget, kalau kamu itu belum bisa move on. Kasihan banget.]Aku membalas pesan Aluna. Aku yakin sekali, dia pasti sedang memata-matai kami. Kalau tidak, dari mana dia bisa tau tentang rumah ini? Dasar perempuan gatal. Sudah diceraikan, masih juga ngejar-ngejar.[Kontrakan baru? Jadi, Mas Hanan mengakui rumah itu sebagai kontrakan kalian? Nggak salah?] Aku semakin bingung membaca pesan Aluna selanjutnya. Memangnya kenapa jika Mas Hanan mengakui rumah ini sebagai kontrakan? Apa salahnya? Dari pada ngontrak ngakunya rumah pribadi, kan?[Maksudmu apa? Apanya yang salah? Orang rumah ini memang kontrakan baru kami, kok! Kamu itu jangan sombong, mentang-mentang punya rumah besar. Abis ini Mas Hanan juga sudah janji bakal beliin aku rumah yang lebih besar dari punyamu itu.] Aku sengaja memanas-manasi Aluna. Biar saja dia kebakaran jenggot. Dia pasti tidak senang melihat kebahagiaanku dengan Mas Hana
Tengah malam, aku tersentak dan baru sadar jika aku ketiduran di sofa. Kuraih ponsel dan melihat jam, sudah jam tiga? Tapi kenapa Mas Hanan belum juga pulang?Emosi yang tadi sempat melebur karena aku ketiduran, tiba-tiba bangkit kembali. Saat ingin menghubungi Mas Hanan, terdengar deru mesin mobil berhenti dihalaman rumah. Aku segera bangkit, kulangkahkan kaki keluar dan membuka pintu.Mas Hanan sempat berjingkat kaget saat pintu kubuka. Ku lempar tatapan tajam padanya. Dia tampak salah tingkah dan membalasku dengan senyuman."Kenapa kamu baru pulang jam segini, Mas? Kamu sudah lupa kalau punya istri? Kamu lebih mentingin mantanmu itu dibanding aku istrimu?" Aku langsung mencecarnya. Mas Hanan terdiam mendengarku, mungkin dia sadar akan kesalahannya."Ingat, Mas! Istrimu sekarang ini aku, bukan lagi Aluna. Tapi kenapa kamu lebih mementingkan dia?" sambungku dengan perasaan kesal luar biasa. Aku berteriak didepannya, entah suaraku bisa terdengar hingga rumah tetangga atau tidak aku pu
Tatapan mata Pak Fahmi masih saja tajam menatapku. Aku bingung, harus bagaimana menjelaskannya? Alasan apa yang harus kulempar pada lelaki itu? Arrghhh! Lagian siapa pula yang kurang kerjaan dengan menyebarkan foto pernikahanku dengan Nayma?"Kau tak ingin menjelaskannya?" ujar Pak Fahmi masih tetap datar."M-maaf, Pak. Tapi ... dari mana Bapak mendapatkan foto ini?" Aku bertanya penasaran."Kamu tak perlu tau! Yang pasti, ada salah satu karyawan yang memberitahuku. Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan ini? Sudah lupa, kah, dengan peraturan perusahaan ini?" Aku menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana aku bisa lupa? Aku ingat betul, perusahaan tempatku bekerja memang tak membolehkan beristri dua, atau nikah secara diam-diam. Apalagi dengan kasus selingkuh. Peraturan macam apa itu? Entahlah, yang pasti pemilik perusahaan ini beralasan peraturan itu sudah ada sejak dulu."Ta-pi ... saya menikah secara sah, Pak," kelitku membela diri."Saya tau! Kenapa harus menikah disaat percera
Aku turun setelah mobil berhasil kuparkir di halaman rumah. Keadaan rumah masih saja sepi, apa mas Hanan masih tidur, ya?Dengan langkah cepat, aku masuk kedalam sembari memanggil-manggil mas Hanan, tapi tak kunjung mendapat jawaban."Mas!" Aku kembali berteriak memanggil sambil berjalan ke kamar.Ternyata dugaanku benar. Mas Hanan masih tertidur, dan baru bangun saat pintu kamar kubuka."Ngapain teriak-teriak, sih? Kamu pikir kita ini tinggal didalam hutan?!" bentak mas Hanan sembari mengucek matanya.Huhh! Dasar laki-laki. Sebelum dapat, bicaranya itu lembut dan manis sekali. Giliran sudah dapat, tiap hari ngebentak. Dikira aku nggak punya kuping apa?"Aku itu manggilin kamu dari tadi, kamunya malah nggak nyaut. Salah siapa aku jadi teriak?" balasku."Namanya juga orang tidur! Gimana mau nyaut? Kamu itu bod*h apa gimana, sih?" Apa? Enak sekali dia mengataiku bodoh! Karena kesal, kulempar dia dengan tas kecil yang sedari tadi kupegang, dan mengenai kepalanya. Mas Hanan meringis dan