Suara tiga ketukan palu bergema di seluruh ruangan. Saat ini Renata Cahyani yang belum lama menginjak usia dua puluh lima tahun resmi berstatus janda cerai. Setelah menjalani rumah tangga dengan Dhani Adrian yang hanya bertahan satu setengah tahun.Duduk di sampingnya, sang mantan suami tersenyum lebar setelah mendengar putusan hakim. Rena berusaha keras memasang wajah datar.Bagaimanapun juga, Rena pernah sangat mencintai pria itu. Tidak mungkin ia tak merasa sakit hati."Makasih, Sayang- Ups, maksudku Rena. Semoga hidupmu jadi lebih baik tanpa aku."Rena berlalu tanpa sepatah kata pun. Bagaimana bisa orang yang dulu bersumpah setia sehidup semati semudah itu mencampakannya?"Dasar laki-laki nggak tahu diri!"Setiap langkah meninggalkan pria itu, ia kembali teringat kenangan indah saat masih bersama. Ketika pertama kali Dhani mengucap kata cinta di depan banyak orang di kampus mereka berdua menempuh pendidikan.Setelah satu tahun berpacaran, Dhani mengenalkan Rena kepada keluarganya.
"Tujuh ratus juta!"Rena berguling kegirangan selepas menghitung berulang-ulang jumlah nol di rekening. Betapa beruntung dirinya. Bukan hanya mendapat uang melebihi harga jual, si pembeli rumah juga memberi voucher menginap tiga hari dua malam di hotel bintang lima.Mendadak ia berpikir perceraian dengan Dhani bukan sesuatu yang buruk. Jika harus menghabiskan seumur hidup dengan peselingkuh itu mana mungkin dia bisa merasakan semua ini.Rena segera beranjak berganti pakaian setelah mendapat pesan singkat dari si pembeli rumah. Berdandan sedikit untuk sang pembeli yang murah hati."Selamat malam." Suara seorang pria mengejutkan dari belakang. Rena sontak berbalik."Maaf saya pasti sudah mengejutkan. Benar dengan Mbak Rena ya?""Benar.""Saya Bagas Sadewa, pengacara yang dikirim untuk mengurus balik nama surat tanah.""Oh, saya kira bakalan ketemu dengan pembelinya langsung.""Mohon maaf sekali lagi, bos saya sedang ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan."Mari silahkan ke meja yang su
"Maaf," bisiknya. Ricky tak menjawab. Masih sibuk berbicara di telepon.Untung saja Rena tak bisa melihat dalam kegelapan. Wajah Ricky merah padam. Darahnya berdesir oleh sentuhan singkat itu."Mbak tadi ngomong sama aku?" tanyanya sok polos."Nggak, nggak kok. Kenapa mamamu?""Oh, mereka bakalan pulang telat. Air di depan kantornya sedikit meluap."Rena mengintip jam di ponsel muridnya. Sudah lebih pukul sembilan malam. Waktunya anak sekolah untuk beristirahat."Tunggu di sini saja dulu. Tidur di kamar Mbak nggak apa-apa. Nanti Mbak bangunin kalau mamanya sudah datang atau hujannya reda.""Nggak usah, Mbak. Nanti Mbak Rena ketakutan aku tinggalin sendirian di sini." Ricky menyeringai nakal.Ucapannya benar. Rena hanya berbasa-basi menawarinya tidur. Sesungguhnya ia tak suka sendirian dalam gelap, hujan lebat dan berpetir pula!Semakin malam mereka semakin sedikit bicara. Berbanding terbalik dengan hujan yang turun semakin lebat.Kali ini Rena benar-benar menawarkan kamar untuk diguna
"Sudah dengar belum, Bu? Katanya si mbak janda yang itu tuh, semalam berdua-duaan sama anaknya Mbak Ratri.""Masa sih? Kelihatannya kalem gitu. Yang bilang siapa?""Mas-mas ronda semalam mergokin mereka.""Aduh, Bu. Zaman sekarang muka kalem nggak tahu dalamannya gimana!""Haa, namanya juga janda. Lama nggak ada pegang, bocah pun diembat!"Gosip para tetangga sampai juga di telinga Ratri. Ibu muda itu meskipun sering bicara blak-blakan, ia tak mudah percaya omongan orang. Apalagi ia kenal dekat dengan wanita yang tengah digosipkan.Sejak les di tempat Rena, nilai anaknya semakin membaik. Sudah hampir sebulan ini ia tak mendapat laporan negatif dari sekolah. Pun Ricky lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dari pada keluyuran dengan teman-temannya yang urakan.Namun omongan para tetangga tetap membuat telinga panas. Karena anaknya sendiri yang jadi topik utama."Sementara ini nggak usah les dulu ya." Ratri akhirnya memutuskan."Kenapa, Ma? Bentar lagi kan ujian!" Ricky memprotes, "Ja
Rena segera melepaskan tangannya. Ia sendiri terkejut dengan gerakan spontan yang membuat orang salah paham."Maaf, Mas. Saya nggak bermaksud...""Nggak apa-apa.""Tunggu sebentar ya.""Iya, Mbak. Nggak usah terburu-buru. Santai saja."Rena melesat masuk ke ruangan lain. Sibuk memindahkan sesuatu di kantong plastik.Sementara Andi dibuat semakin penasaran. Tingkahnya kini mirip seperti anak remaja yang sedang dimabuk cinta."Kira-kira mau disuruh ngapain ya?" wajah dan telinga Andi memerah seperti kepiting rebus membayangkan hal yang tak pantas.Ia ingin melihat apa yang sedang dikerjakan Rena yang meninggalkannya cukup lama. Tetapi ia memutuskan untuk bersabar. Suami Ratri itu kembali senyum malu-malu melihat kemunculan Rena."Ini ada sedikit masakan buat Mbak Ratri." Rena menyerahkan bungkusan berisi makanan. "Saya sendiri yang masak. Semoga Mbak Ratri cepat sembuh."Rena dapat melihat raut wajah Andi yang penuh kekecewaan."Oh, iya. Terima kasih."Ketika Rena menyerahkan bungkusan
"Rena!"Untuk pertama kali Rena lega mendengar suara itu. Andi berlari kencang ke arahnya sembari melempar barang bawaannya di tengah jalan.Pria tadi terkejut mendengar teriakan Andi lalu spontan merenggangkan dekapan. Rena sontak mendorong pria itu ke belakang sampai mereka berdua jatuh terjengkang.Andi sudah semakin dekat. Pria itu mendorong Rena dan melarikan diri secepat kilat."Berhenti!"Andi tak lagi mengejarnya. Ia memilih untuk membantu Rena bangkit dengan nafas terengah-engah."Mbak Rena, ada yang luka?""Ng- nggak ada," Rena mengusap pipinya yang basah, "Terima kasih sekali," kali ini ia mengatakannya dengan setulus hati."Kenapa Mbak Rena pulang sendiri? Untung saya cepat datang!""Ta- tadi-""Sudah, mari saya antar pulang. Saya ambil barang saya dulu di belakang.""Sa- saya ikut, Mas," Rena mencubit pleat kemeja Andi.Rena masih sangat ketakutan. Tangannya gemetaran hebat. Wanita itu tak menolak ketika Andi menggand
Rena tercengang dengan perubahan sikap Andi yang mendadak. Bisa-bisanya pria yang mengaku ingin menolong kini berbalik menuduh."Mas Andi ngomong apa barusan?"Ayah Ricky itu membenarkan kancing kemejanya yang baik-baik saja, "Mbak Rena, saya sudah bilang kalau saya ini punya istri!"Sang janda melotot padanya lalu memalingkan muka ke arah Lastri yang kian mendekat, "Ini nggak benar, Bu! Bu Lastri pasti juga lihat Mas Andi yang mendorong saya, bukan?"Lastri jelas-jelas menyaksikan keduanya sedang berpelukan tadi. Sebelum ia memergoki mereka. Entah siapa yang memulai ia tak melihatnya.Namun satu hal yang ia tahu selama bertetangga lima belas tahun dengan keluarga Ratri, Andi tidak pernah berbohong. Pria kantoran itu terkenal rajin beribadah, selalu membantu orang yang kesulitan dan tidak pernah sekali pun melirik wanita lain. Setidaknya di kompleks mereka."Bu, saya hanya ingin memberi Mbak Rena makanan untuk balasan waktu lalu Mbak Rena memberi istri s
"Saya boleh bicara?" tanya Rena dengan sikap tenang."Silakan." Pak Ridwan kemudian menghentikan protes warga."Kalau warga di sini nggak nyaman dengan keberadaan saya, maka saya akan segera angkat kaki. Tapi yang perlu kalian ingat, saya sama sekali nggak ada niat buat menggoda suami atau anak-anak kalian!"Rena bangkit dan menatap orang-orang di sekelilingnya. "Kalau suami ibu-ibu tergoda dengan perempuan lain, jangan hanya salahkan perempuannya. Tapi salahkan juga para suami yang nggak bisa menjaga hasrat dan pikiran!"Ucapannya hanya dibalas dengan seringai sinis dan merendahkan. Rena dapat menyaksikan beberapa wanita mengumpat dengan matanya."Atau mungkin ada yang salah dengan sikap ibu-ibu jika suaminya tergoda perempuan lain. Benar bukan, Mbak Ratri?" Rena mengembalikan ucapan Ratri dulu.Mulut Ratri terkatup rapat. Ekspresinya mengeras ketika sadar ia tak bisa menanggapi ucapan Rena.Sesungguhnya Rena ingin tetap diam. Tapi ia tak terima jik