Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
Senandung Jazz mengalun menemaniku berkendara di bawah bulan purnama. Jariku mengetuk setir mobil mengikuti tempo. Sesekali aku ikut bernyanyi dengan menjiwai seolah aku penyanyi terkenal yang sedang berduet dengan penyanyi Jazz berbakat, meski aku tahu betul nada tinggiku lebih cocok untuk mengusir rakun liar dibanding didengar orang-orang. Aku tidak peduli, yang penting aku bisa menunjukkan suasana hati yang sedang kurasakan kini. Radio mobil aku kencangkan hingga mengalahkan rintik hujan yang mengetuk semua bagian sisi mobil. Kilatan petir juga tak aku hiraukan. Aku terlalu bahagia, tidak seperti cuaca sendu di malam ini. Aku baru saja memenangkan Grand Wills Award. Acara bergengsi untuk para penulis yang sudah cukup lama menggeluti bidang kepenulisan sepertiku. (“Sudah kita dengarkan bersama perhelatan Grand Wills Award yang banyak dinantikan oleh penulis dan jurnalistik.”) Senyum terukir di wajah ketika aku mendengar pembawa siaran sedang mengulas kembali acara beberapa jam y
Gemercik air mengalun lembut di telinga yang awalnya berdengung, semakin jelas terdengar. Desir angin menggesekkan ranting-ranting pohon dan menerpa tubuhku yang basah kuyup. Udara dingin menusuk memaksaku tersadar. Aku membuka mata perlahan. Aku berbaring dalam posisi tengkurap dengan wajah mengarah ke aliran sungai. Terdiam sejenak mengumpulkan tenaga. Saat aku gerakkan sedikit tanganku, tubuhku terasa sakit semua. Tapi aku tetap memaksa tubuhku bergerak dan melawan rasa sakit. Aku mendorong tanah untuk setengah berdiri, lalu langsung menjatuhkan tubuh ke posisi duduk. “Aghh sialan.” Aku merutuk pada rasa sakit menusuk di daerah punggung dan bokong. “Pembunuh sialan. Akan aku cari mereka berdua.” Ingatan itu sangat jelas tanpa perlu menunggu apa yang terjadi padaku. Aku bertekad mencari siapa dua orang yang mencelakaiku. Untung saja aku masih hidup, begitu pikirku. “Di mana kacamataku?” Aku memicingkan mata ke sekitar tanah tempat aku berbaring. Pandanganku sangat buram, terut
Mobil memasuki sebuah gerbang tinggi yang dijaga oleh dua pria berseragam. Aku pikir setelah gerbang, akan tampak rumahnya, tapi ternyata tidak. Mobil kembali melaju melewati jalan yang di sebelah kanan dan kirinya ditanami oleh pohon-pohon tinggi. Kegelapan menyelimuti pohon-pohon itu. Tak ada lampu taman apalagi kursi taman. Beberapa menit kemudian, barulah tampak sebuah bangunan berlantai empat. Mobil berhenti di samping kolam yang di tengah-tengahnya terpasang sebuah patung ikan yang mengeluarkan air dari mulutnya membentuk sebuah air terjun. Ada seorang pria yang menunggu di luar air mancur itu untuk membukakan pintuku. Awalnya aku sempat bingung, tapi saat aku melihat ‘Mama’ dan sopirnya keluar setelah dibukakan pintu juga, aku ikut keluar. Aku dibuat menganga setelah melihat lebih jelas bangunan berlantai empat yang disebut rumah itu. Ada sepasang pilar putih di antara pintu masuk berdaun dua itu. Di tiap lantai terdapat jendela. Di puncak atap atau di antara dua pilar itu, t
Dua tanganku diletakkan di atas gagang pintu lalu menekannya ke bawah. Setelah terdengar ‘klik', aku mendorong dua pintu itu sekaligus hingga terbuka lebar. Aroma harum dari bahan-bahan alami seperti vanila bercampur bunga violet menyeruak masuk ke paru-paru mereka ketika pintu tersebut baru terbuka. Terdapat satu kasur berukuran besar yang cukup untuk dua orang dalam satu ruangan tersebut. Tempat tidur itu memiliki atap kelambu dan berada di sisi kiri dari arah pintu. Di ruangan tersebut juga memiliki dua lemari kayu dengan dua daun, meja belajar, sebuah teknologi berbentuk tipis yang tergantung berlawanan arah tempat tidur yang bernama TV, berbagai teknologi lainnya yang tak aku mengerti, dan satu pintu kamar mandi yang berada dekat dengan lemari. Jika aku perhatikan, kamar luas ini tampak seperti gabungan dari dua kamar berbeda. “Ini surga,” gumamku tak sadar saat melihat betapa nyamannya kamar tersebut padahal baru berdiri di sekitar mulut pintu. Eva tertawa sekilas. “Tuan Muda