Apa yang salah dengan menyukai satu wanita pada waktu bersamaan? Tidak masalah dan bukan hal penting dalam hidup Keenan dan Alden.
Keduanya hanya menganggap wanita untuk dimiliki seperti barang dengan nilai yang bisa dibeli. Alden merelakan Shana untuk Keenan saat ini. Biasanya Alden akan menikmati kemudian saat Keenan sudah mendapat mainan baru. Sebuah kerjasama yang sopan, tapi membuat bergidik bagi kaum 'normal'.
Tawaran Seto pada Keenan untuk membantu Siwi, segera diterima dengan antusias. Kebersamaan dengan Shana akan lebih intens lagi. Tetapi, anggapan Keenan salah.
Walaupun Shana telah tidur dengannya, namun tidak semudah itu menikmati tubuhnya setiap saat. Shana ternyata bukan wanita yang sembarangan mengumbar kesenangan jika ada prioritas yang lebih penting.
Keenan harus menelan kecewanya. Tetapi sore itu, Keenan berniat mencoba lagi. Kantor mulai sepi dan Shana masih berkeliaran di kantornya. Dengan harapan yang menggebu, Keenan melangkah masuk tanpa mengetuk pintu.
"Keen! Jangan bikin sport jantung!" seru Shana terkejut bukan kepalang. Keenan tersenyum.
"Kamu menghindar ...," cetus Keenan sambil menyilangkan tangan di perutnya.
"Oh ya? Nggak ngerasa aku," jawab Shana masih berkutat di depan laptopnya. Hasil hitungan harga jual barang dari stafnya dalam bentuk costing card, masih menunjukkan margin yang tidak memuaskan.
"Segila inikah kamu bekerja?" tanya Keenan dengan gemas. Shana terus mengacuhkannya.
"Demi hidup mapan? Oh Iyes! For sure," jawab Shana akhirnya dengan senyum.
"Aku bisa memberimu segalanya, sementara bersenang-senang denganku," rayu Keenan.
Biasanya, wanita yang mendengar ucapan Keenan, akan segera mengiyakan. Shana tergelak dengan tangan terus mengetik tombol angka di keyboard.
"Rayuanmu murah sekali. Berapa lama periodenya sebelum kamu bosan? Sebulan? Tiga bulan?" ejek Shana dengan wajah masih menunjukkan geli akan kalimat tidak berkelas dari Keenan.
"Tergantung bagaimana cerdasnya kamu berperan," jawab Keenan tidak ingin kalah oleh ejekan Shana.
"Maaf ya, Pak. Saya lebih pilih cara ini. Bekerja dan earning my own cash! Tidak perlu menyenangkan pria hanya untuk hidup mewah," tukas Shana menekan tombol enter dengan puas.
"Kan tidak susah?" sanggah Keenan masih ngotot.
"But its annoying ... I'll pass!" Shana mengibaskan tangan menolak tawaran Keenan untuk menjadi kekasihnya. Pemuda itu mendekati Shana dengan cepat dan memutar laptop.
"Apa sih yang kamu kerjain? Nggak kelar-kelar," seru Keenan jengkel.
Shana menghela napas menahan sabar. Telunjuknya menunjuk pada table costing card. Keenan mengambil alih sambil berdiri di samping meja. Dengan cepat matanya menelusuri baris dan kolom faktor penjualan.
Tidak lama kemudian Keenan mengetik dan mengubah beberapa formula atau rumus perhitungan di kolom excel tersebut. Tidak sampai tiga menit, margin melonjak hingga 115%. Keenan memutar kembali laptop menghadap Shana.
"Tidak secerdas yang kupikir," sindir Keenan menggoda Shana dengan tajam. Wanita itu terpana dan semakin kagum pada Keenan. Konyol, gila namun cerdas.
"Pamer," tukas Shana masih tidak ingin melemah di depan Keenan. Pemuda itu akhirnya menyerah dan berjalan mendekati pintu.
"Mau kemana?" panggil Shana heran.
"Pulang, tidur," jawab Keenan terus melenggang ke pintu.
"Terus ini mau diapain?" tanya Shana kembali dengan suara lebih menggoda.
Keenan mau tidak mau menoleh. Mulutnya terbuka saat Shana membuka dengan perlahan celana dalamnya. Gayanya sangat anggun saat melepas segitiga ungu berenda. Shana membuka kedua kakinya dan rok selutut yang ia kenakan terkuak. Keenan serta merta tersenyum.
"Kupikir kau terlalu sibuk," cetus Keenan masih meyakinkan.
"Kau membantu malam ini. Anggap saja hadiah," jawab Shana dengan senyum memabukkan.
Keenan menutup pintu serta menguncinya. Gelora membara tertumpah dalam ruang kotak kantor Shana.
***"Bisa minta tolong?" tanya Siwi pada Alden yang kebetulan lewat. Mereka baru saja selesai makan malam."Jangan yang ribet, aku mau jalan nih," jawab Alden. Siwi menarik napas kesal.
"Please deh. Aku harus ngunjungin anak-anak asuh kita sekarang. Besok mereka butuh dana ini untuk catur wulan baru," balas Siwi sambil menenteng tasnya.
"Jam delapan, Wi. Mereka nggak tidur?" tanya Alden setengah hati mengikutinya.
"Emang mereka bayi yang jam segini dah merem? Udah buruan, keburu malem nih," ajak Siwi.
Keduanya melenggang dengan cepat menuju mobil. Alden membawa mereka ke daerah Radio Dalam yang tak jauh dari Pondok Indah, rumah mereka. Setelah memasuki gang yang agak sempit, Siwi memintanya berhenti. Alden menggerutu dalam hati. Dia khawatir jika mobil sport mahalnya tergores.
"Kamu ada asuransi, ntar tinggal claim kalo tergores," seru Siwi membaca pikiran Alden. Dengan bibir mengerut, pemuda itu mengikuti langkah Siwi memasuki gang yang lebih sempit lagi. Mungkin hanya dua manusia yang bisa lewat.
Setelah menyusuri dua puluh meter gang yang agak becek, mereka tiba di sebuah halaman yang cukup luas. Rumah bertingkat dua itu mirip dengan rumah kos-kosan.
Halaman itu pun tampak penuh dengan jenis sayuran dan buah. Pohon mangga dan jambu air yang tumbuh di halaman membuat rumah itu tampak teduh dan menyenangkan.
Siwi mengucapkan salam dan disambut oleh puluhan anak-anak yang baru selesai mengaji dan belajar. Alden membaca plank sederhana yang tertulis dekat pagar masuk.
RUMAH HARAPAN"Masuk, Mbak Siwi!" seru seorang wanita separuh baya dengan baju muslim tanpa hijab. Suaranya sangat ramah dan menyenangkan.
"Makasih, Bu Atin," sambut Siwi masuk dan meladeni anak-anak yang memberi salam padanya.
Alden dengan kikuk turut mengangsurkan tangannya pada anak-anak tersebut. Barulah pemuda itu tersadar.
Panti Asuhan!
Rasa bersalah mulai menyerangnya, saat menyaksikan kehidupan anak-anak tersebut yang harus berbagi segala hal dan tinggal di tempat sesempit ini.
"Maaf, baru malem gini dateng," ucap Siwi dengan ramah dan mengenalkan Alden. Wanita yang bernama Atin menyambut uluran tangan Alden dengan lembut.
"Kami yang selalu merepotkan," jawabnya.
"Ini dana untuk sekolah anak-anak." Siwi mengangsurkan amplop tebal yang berisi jutaan rupiah. Atin tampak sungkan.
"Mbak Siwi, yang dana bulan kemarin masih ada. Kenapa diberi lagi?" tanya Atin dengan segan dan rikuh.
Siwi menjelaskan supaya dipergunakan untuk membeli meja belajar dan sepeda. Atin mengangguk dengan haru.
"Oh iya, ini ada laporan untuk bulan lalu. Kemudian jika berkenan, minggu ini kami akan mengadakan syukuran karena Tian dan Bima lulus tes UMPTN. Masuk universitas negeri," ujar Atin sambil mengulurkan kertas pengumuman.
Siwi tampak terharu. Alden menyimpan perasaannya dalam-dalam. Tiba-tiba seorang anak kecil usia dua tahun berlari menghambur ke pangkuan Alden.
"Apak ... pak ... pak ...," panggilnya dengan suara cadel.
Alden terkejut dan tidak menyangka. Mata balita lelaki itu sangat besar dan jernih. Kulitnya bersih dan pipinya gembul.
Hati Alden tersentak.
Atin mencoba mengambil anak itu, namun berakhir dengan tangisan. Alden ingin membuatnya berhenti menangis, tapi bagaimana caranya?
"Gendong dia, Al," pinta Siwi. Alden gugup dan mengiyakan.
"Namanya Ren," kata Atin sambil mengembalikan Ren pada Alden.
Pemuda itu mengangguk dan mulai memeluk Ren dalam rengkuhannya. Ren tampak mulai mengantuk dalam ayunan Alden yang semakin membuatnya nyaman. Siwi memberitahu untuk menyerahkan Ren pada Atin.
"Lima menit lagi," jawab Alden. Siwi terkejut namun tersenyum haru. Ren akhirnya terlelap. Alden mengikuti langkah Atin menuju kamar.
Saat masuk ke ruangan berukuran 4x4 meter itu, batin Alden kembali diguncang oleh kenyataan pahit. Balita ini akan berbagi kasur ukuran besar dengan lima balita lainnya.
Seorang gadis yang menjadi salah satu asisten Atin mengambil Ren dan meletakkan dengan hati-hati. Langkah Alden terasa berat saat meninggalkan tempat tersebut.
Sepanjang perjalanan pulang, Alden terdiam.
"Kamu mendadak kalem," tanya Siwi.
"Tega kamu, nyiksa aku," jawab Alden dengan suara tercekat.
Siwi tersenyum dan mengelus kepala Alden dengan penuh sayang.
"Hari ini, Tuhan menyentuh hatimu," bisik Siwi dengan lembut. Alden tidak bereaksi.
Wajahnya mengeras bukan karena marah. Namun karena ada sakit yang merayap secara perlahan di dalam hatinya. Anak-anak itu butuh uluran tangan, dan ia baru menyadari.
Sudah berapa tahun mereka bertahan? Butakah nuraninya selama ini?
Ada sisi lain yang saat ini hadir dalam diri Alden. Yang pasti, bukan bagian dari hidupnya selama ini!Vero menata dengan rapi setiap tangkai bunga di vas. Sudah lima vas terisi dan menghiasi beberapa sudut rumah. Berkat kelincahan tangannya, rumah Seto tidak pernah terlihat dingin dan hambar. Selalu ada nuansa hangat yang menyentuh tiap sisi rumah mewahnya di kawasan Pondok Indah tersebut.Siwi sudah berpamitan sejak pagi tadi ke kantor. Mertuanya, Eyang Widari sudah kembali ke Salatiga. Terkadang ia merasa kesepian. Namun semenjak Siwi hadir kembali, Vero mulai merasakan keceriaan.Siwi sangat pandai membuat keluarganya berkumpul. Seto, ayahnya, bahkan sanggup meninggalkan seluruh pekerjaannya demi memenuhi permintaan putrinya untuk makan malam.Vero tidak pernah menganggap Siwi anak tiri. Namun perlakuan Widari yang dari semula tidak menyukainya, membuat Vero tidak sempat mengasuh Siwi sejak ibunya meninggal."Biar Siwi tinggal bersamaku!" tegas Widari yang terlalu membanggakan Miana, menantunya yang meninggal karena kanker ot
Terkadang sulit memulai sebuah kisah yang apik dan menarik dalam hidup. Jika kita terjebak pada kehidupan yang jauh dari kemudahan, maka kita cenderung tertelan dalam perjuangan untuk bertahan.Namun, memiliki hidup yang bergelimang harta juga tidak gampang. Keenan dan Alden bukan hanya dua pemuda yang hidup dari keberuntungan memiliki leluhur yang kaya raya. Mungkin ada jutaan manusia seperti mereka. Sayangnya, kebanyakan dari mereka, mengawali kisah dengan cara yang monoton seperti pendahulunya.Apa yang membuat Keenan dan Alden menarik? Mereka menempuh kehidupan yang jauh lebih liar dari leluhur mereka hanya untuk mencari sesuatu hingga ke titik PUAS. Pencarian jati diri? Mungkin. Atau, ada sesuatu yang baik, terjadi di balik keliaran hidup mereka? Sepertinya Alden sudah memulai menuju ke arah tersebut."Ini bantuanku untuk mereka," ucap Alden mengulurkan sebuah amplop cokelat pada Siwi."Apa ini?" tanya Siwi heran.Tan
Sejak proposal kerjasama yang mereka ajukan bersambut baik dengan Mercure, Shana dan Siwi sibuk menyiptakan berbagai rencana. Shana merekrut perancang muda yang berbakat. Dalam waktu tiga bulan awal mereka harus menampilkan performa terbaik."Masih ada yang kurang. Desain ini bagus, tapi terlalu modern. Seni tradisional batiknya tenggelam," keluh Siwi. Ya, mengangkat batik sebagai bahan material utama, Siwi berharap pilihannya akan menjadi sesuatu yang unik dan berbuah sukses."Gimana sama yang ini?" tanya Shana. Siwi masih menggelengkan kepalanya."Ada satu desainer yang cukup menarik simpatiku. Tapi dia karyawan Eyang. Namanya lupa, dia menciptakan kemasan yang apik untuk kopi Eyang sampai sekarang laku diimpor ke Belanda," ucap Siwi sambil berpikir keras."Bisa dipinjem nggak?" tanya Shana sambil membereskan kertas berisi gambar terpilih di meja."Dia kesayangan nenekku, Shan. Aku nggak yakin," jawab Siwi kecut.
Indira datang sedikit terlambat dari biasanya. Untuk menghemat ia naik sepeda dan jarak dari rumah ke kantor memakan waktu yang lumayan jauh."Kamu keringatan banget sih!" tegur Erna.Indira mengangguk dan bergegas ke kamar mandi. Dengan secepat mungkin ia berganti baju dan kembali ke ruangan."Naik sepeda lagi?" tanya Erna sebelum ia masuk kantornya."Biar sehat, olahraga," jawab Indira cepat. Erna mencibir dengan kesal."Kenapa nggak bilang kalo bokek, sih?" gerutu Erna sambil merogoh tasnya dan mencabut beberapa lembar. Ia melesakkan ke dalam kantong Indira yang mencoba berkelit."Kalo kamu nggak terima, berarti egois. Kakekmu butuh ini," ancam Erna. Indira berdiri dengan bibir bergetar."Maturnuwun ya, Er," bisik Indira lirih sekaligus menahan malu. Erna menepuk lengan Indira dan tersenyum tulus.***Makan siang setengah jam lagi. Indira membuka dengan pelan tasnya. Empat lembar lima
Indira menarik amplop putih dan merobeknya. Raut wajahnya pias. Banyak sekali uang ini? batin Indira terkejut.Hatinya makin kesal. Ia tidak butuh belas kasihan! Setelah menebus obat, ia bergegas pulang. Ketika melewati warung, Indira membeli semua kebutuhannya dengan sisa uang miliknya. Gadis itu hanya mengambil sejumlah yang ia berikan pada Alden sebelumnya, dari amplop tersebut.Begitu tiba di rumah, Indira mengintip kamar kakeknya. Masih terlelap. Indira kembali keluar dan menerjang malam menuju rumah Widari."Lho? Mbak Indi, kok tumben?" sapa Haris satpam rumah bosnya. Indira tersenyum ramah dan bertanya apakah Alden ada."Baru aja pulang. Sebentar saya panggil, Mbak," jawab Haris dan Indira mengucapkan terima kasih.Gadis itu memilih duduk di pos satpam sambil memeriksa handphonenya."Indira?" seru Alden dengan wajah senang. Indira mengangguk datar dan meraih tangan Alden serta mengembalikan amplop putih t
Alden kembali ke Jakarta dengan semangat yang membara. Tekadnya untuk serius menekuni tugasnya di perusahaan kini bulat. Ia dan Keenan akan bekerja dengan sebaiknya. Semoga usaha Alden menjadi bantuan yang sangat berarti untuk Indira.Entah kenapa Indira sangat mencuri simpati dan perhatiannya. Bukan dalam cara biasa seperti ia tertarik pada lawan jenis. Namun timbul rasa ingin melindungi, yang mendorong Alden hingga ia sendiri bingung akan perasaan tersebut."Al, produksi dari desain Indira sudah diproses. Jika ini berhasil, kamu harus stand by di Salatiga dan mendirikan kantor khusus untuk mengembangkan berikutnya!" seru Siwi pagi ini."Seserius itu?" tanya Alden."Tidak ada yang kuanggap sepele dalam hal apa pun. Menciptakan rumah mode akan membuat Indira nyaman dan bekerja maksimal," jawab Siwi yang didukung oleh Shana.Keenan hanya terdiam membisu di sebelahnya, dengan wajah terpaku pada laptop. Di layar menampilkan de
Pertemuan pagi itu dengan beberapa pemilik ruko, akhirnya berbuah baik. Shana menemukan lokasi yang tepat untuk rumah mode mereka.Tidak terlalu sulit untuk mencapai kata sepakat. Nilai kontrak ruko dan rumah yang mereka ditempati, masih terbilang sangat terjangkau dan murah.Tanpa menawar, Shana membayar dan mendapatkan surat perjanjian kontrak selama lima tahun."Saatnya pindah ke rumah baru!" seru Shana dengan riang.Alden tersenyum dengan antusias. Bukan karena keberhasilan mereka mendapatkan tempat dengan mudah, namun karena Indira akan mendapatkan pekerjaan yang baik ke depannya nanti."Kamu mau kemana lagi?" tanya Shana heran."Kamu pulang aja ke hotel dengan mobil sewa itu. Aku naik taxi, ada seseorang yang harus kutemui," pamit Alden meninggalkanShana yang terpaku dengan perasaan kesal. Kenapa terbersit perasaan tidak suka atas ucapan Alden barusan? Cemburukah ini? Shana menyangkal d
Seharusnya Alden menemui Indira untuk menggabarkan berita gembira. Tetapi saat ia menelepon Keenan untuk mengajak Indira, tiba-tiba Keenan berdalih. Indira masih mengerjakan proyek terakhir sebelum bekerja sepenuhnya untuk Alden. Dengan hati kesal Alden memilih membantu Shana."Semua sudah mereka sediakan. Kita tinggal nempatin aja kok," balas Shana saat Alden menawarkan bantuan untuk menyiapkan rumah yang akan mereka sewa nanti."Ok, aku akan ngambil koper," sahut Alden dengan gontai. Shana memandang Alden dengan pandangan menyelidik. Sikap loyo Alden pasti berkaitan dengan gadis yang sering ia dengar, Indira."Kamu kecewa ...," cetus Shana sambil mengunci koper miliknya. Alden yang sudah membuka pintu kamar hotel untuk keluar mendadak berhenti."Keenan ingkar," sahut Alden."Sepenting itukah gadis tersebut? Maksudku, kalian memperebutkan Indira?" tanya Shana.Alden bagaikan tertampar dan menoleh. Bukankah terl