ELA Ela merasa hidupnya dilingkupi kebahagiaan akhir-akhir ini. Tentu saja selain karena kehidupan pernikahan seumur jagungnya yang berjalan begitu luar biasa, dilingkupi cinta kasih, canda tawa dan kegiatan making love yang begitu hebat; hal lain yang membuat Ela begitu bersemangat menjalani hidup adalah karena karirnya di bidang baru bersama The Fine Art Galleria begitu menantang namun penuh ilmu dan pengalaman baru! Seperti proyek yang saat ini sedang Ela geluti. Dia mendapatkan kepercayaan sebagai event manager untuk pameran mendatang yang akan digelar dalam waktu tiga bulan ke depan. The Promising Young Indonesian Artists: Art Regeneration Beyond the Time dipilih sebagai tema annual exhibition tahun ini dari Fine Art Galleria. Tentu saja Ela masuk di tengah-tengah, karena persiapan ini sudah digodok sekitar delapan bulan yang lalu, atau mendekati satu tahun selepas acara The Annual Exhibition tahun lalu sukses diselenggarakan. Ela sekarang memegang peranan yang cukup k
“Ela, tolong pelankan suaramu,” tegur Mbak Rengganis yang rupanya cukup kaget dengan retaliasi dari Ela atas tuduhan yang diucapkan Inggrid barusan. “Mbak Rengganis, ini tuduhan nggak berdasar! Aku jelas-jelas udah bilang ke Inggrid dan dia confirm. Bahkan setelah tim legal kasih konfirmasi ke aku, aku pun langsung teruskan ke Inggrid via email,” bantah Ela dengan jelas. Dia menggelengkan kepalanya, tak percaya jika Inggrid akan menjegalnya dengan cara picik dan klise seperti ini! Menyabotase dan menjelekkan dirinya di depan Mbak Rengganis. Apa kabar jika di manut tadi dan keluar dari ruangan. Mungkin fitnahnya bisa lebih dahsyat lagi jika dibandingkan dengan dusta yang dengan
“Kamu nggak capek pulang malam terus setiap hari gini?” Ela menoleh ke arah Mas Dipta yang sedang mengiris baby pokcoy, nanas segar dan timun jepang di atas talenan kayu untuk dijadikan jus buah.“Nggak apa-apa, aku senang kerja, Mas. Apalagi sekarang aku ada proyek baru lagi. Bantu Mbak Rengganis merencanakan soiree.” Ela berjalan pelan menghampiri sang suami sebelum akhirnya memeluk tubuh besar Dipta dari belakang dan menghidu aroma menyenangkan khas Dipta.Suaminya telah tiba di rumah setengah jam lebih cepat darinya. Tadinya Dipta ingin menghampiri galeri dan mereka bisa pulang beriringan. Tapi dengan cepat Ela tolak karena lokasi kantor Dipta dan gal
DIPTA“Apa bukti ini cukup untuk gue bawa ke papa dan Bang Hakim, Mas Sultan?” Dipta menimbang sebuah usb flash yang sudah berada di tangannya sejak Mas Sultan dan timnya berhasil mengekstraksi pengakuan dari Grace Hariman. Dipta masih mencari cara terbaik bagaimana langkah terbaik agar keluarganya masuk dalam perangkap yang Dipta ciptakan dan menggunakan bukti ini sebagai alat tawar dalam memeras Rahmat Trihadi. “Tapi masih ada satu ketakutan gue, Mas, dari masalah ini,” ujar dirinya diliputi keraguan. Mas Sultan melirik sekilas ke arahnya sebelum kembali menyesap scotch kesukaannya di bar langganan mantan atasannya dengan tenang. “Tell me,” perintahnya. “Masalah video gue dan Ela yang masih belum jelas juntrungannya. Gue khawatir itu sudah ada di tangan Dhanu, dan dia nggak akan segan-segan memakai video itu sebagai alat tawar negosiasi dengan keluarga Dharmawan.” Dia mengungkapkan salah satu ketakutan terbesarnya. “In the end, tetap Ela yang akan dirugikan dalam pusaran politi
“Kamu yakin nggak apa-apa kalau aku ikut masuk nanti?” Pertanyaan yang dilontarkan Ela sebelum Dipta menghentikan mobilnya di depan pintu masuk The Swordfish membuatnya sedikit tersenyum. “Nggak masalah, aku pun sudah bilang dengan Mas Sultan. Nero dan Raka juga tidak mempermasalahkan itu. This is your case, Sayang. Sudah pasti kamu harus tahu langkah-langkah yang akan diambil untuk menuntaskan kasus ini.” Dipta menjawabnya sambil menarik tuas ke posisi parkir, membuka seat belt-nya dan membantu Ela melepaskan seat belt miliknya. “Tunggu sebentar ya, biar valet yang bantu untuk parkirkan mobil. Makin malam makin menggila club ini, bakal susah cari spot parkir.” Dipta keluar dari mobil, sedangkan di sisi Ela sudah berdiri petugas klub yang membantu membuka pintu di sisi istrinya dan menunggunya turun sebelum menutup kembali pintu mobil. Sang valet sudah bersiaga saat Dipta turun dan tersenyum ramah saat Dipta memberikan kunci mobilnya. “Silakan menuju meja valet untuk proses selan
“Apa kabar, Nero? Thanks a lot for hosting us here,” balas Mas Sultan sambil memeluk singkat Nero dan menepuk punggung pria itu sebagai tanda sapaan yang hangat.“No problem, lo udah pernah ketemu Raka dan Darius sebelumnya? Sama ini head tim Alfa gue, Reza. He will monitor and leading the case dari pihak kami,” ujar Nero memperkenalkan orang-orang yang ada di dalam President Suite The Swordfish.Setelah Mas Sultan berjabat tangan dengan tim Nero, kini giliran Mas Sultan yang memperkenalkan mereka kepada Ner
“No problem, but bear with me kalau saya menceritakannya berantakan, it’s always hard to recall such memories,” ungkap Ela seraya menghela napasnya.Dipta praktis mendekat dan meraih Ela dalam rengkuhannya. Mengecup puncak kepala istrinya sembari memberikan kekuatan dengan mengusap lengan sang puan. Ela menatap ke arahnya sejenak sebelum mengangguk tipis dan membuang napasnya. Siap untuk menceritakan kembali kronologis kejadian penjebakan malam itu.Setelah Ela menjelaskan tanpa interupsi dari semua orang yang hadir, Dipta menambahkan versinya sendiri serta menjelaskan jika semua ini bermuara pada Dhanu Trihadi–anak Rahmat Trihadi yang sedang mengikuti ko
ELAKepalanya berkunang-kunang dan tubuhnya limbung. Dengan kepayahan dia berjalan merayap menuju president suite yang disediakan untuknya pada acara pertunangannya dengan Dhanu Anggara Trihadi. Pacarnya sejak dia berkuliah yang kini berpotensi menjadi putra RI 1 karena ayah Dhanu merupakan salah satu kandidat calon presiden pemilu mendatang. Merupakan sebuah keajaiban dia bisa memencet lift menuju lantai teratas hotel mewah tempat keluarga besarnya mengadakan pesta malam ini. “Ibu Ela, kamarnya di sini.” Sayup-sayup dia mendengar suara seorang perempuan yang berbaik hati menuntun dirinya. “Oh, terima kasih. Kepala saya begitu sakit,” ujar Ela dengan lirih. Mungkin jika tidak ditopang oleh penolongnya ini, bisa-bisa wajahnya terjerembab di lantai hotel bintang lima ini. “Iya, saya bantu untuk sampai ke kamar,” balas penolongnya. Pandangannya tak dapat fokus, dan dia tahu ada yang salah dalam dirinya. Namun sayangnya dalam keadaan seperti ini otaknya seperti berhenti bekerja dan