“Kata dokter, ia terus memanggil nama kamu Reina. Ayah juga tidak tahu apa yang telah terjadi.” Danny merasa sangat bersalah karena tidak bisa menjaga putranya. “Apakah Reina boleh masuk, Ayah?” tanya Reina lagi. “Nanti setelah dokter ke luar, ya?” jawab Danny tak semangat. Reina mengangguk lemah. Ia berdiri dengan resah. Regan mendekati Danny dan mengajaknya berbicara. Mungkin ia bisa mengetahui apakah ada yang sengaja mencelakai Rafa atau memang murni kecelakaan biasa. Amel melihat Reina sendirian. Ini adalah sebuah kesempatan untuknya mengatakan sesuatu kepada adik tirinya tersebut. “Setelah ini ada yang ingin aku bicarakan kepadamu, Reina. Penting!” ujar Amel berkata lirih. Reina mendongakkan kepalanya. “Maksud kakak apa? Reina tidak mengerti.” “Sudahlah, jangan berlagak sok polos. Nanti kamu juga tahu sendiri.” Amel berlalu meninggalkan Reina seraya menyenggol bahu adiknya tersebut dengan sangat keras. ‘Apasih maunya? Keterlaluan banget Kak Amel!’ Reina mengelus lengan ba
Reina masih betah berdiam diri. Hal itu membuat Regan merasa serba salah. Padahal ia sudah berusaha bersikap lembut dan berusaha menarik perhatian Reina kembali.“Kamu masih marah? Masih tidak percaya denganku, Sayang?” Regan berjongkok di bawah Reina. Lelaki itu menggenggam erat tangan milik istrinya.Reina merasa bersalah. Ia merasa egois telah menuduh Regan yang tidak-tidak.“Aku tahu kamu masih belum yakin dengan semua penjelasanku. Tapi aku bisa pastikan jika aku tidak menyentuh Kimberly lebih jauh. Aku benar-benar hanya mengantarkan dia ke tempatnya.”“Bagaimana Pak Regan bisa tahu kalau dia tinggal di hotel?” tanya Reina ketus.“Apakah kamu ingat saat Ayah masih di rumah sakit? Aku melihatmu berpelukan dengan Leon. Di saat itu Papa dan Mama memintaku untuk datang ke acara makan malam. Dan ternyata aku dijodohkan dengan Kimberly. Aku terpaksa mengantarkan dia pulang. Tetapi aku menolak perjodohan itu.”Reina mendongakkan kepalanya. Ia cukup terkejut mendengar penuturan lelaki di
“Mungkin apa, Pak Regan? Reina juga ingin tahu.” Wanita itu semakin merasa penasaran. Regan justru menggedikkan bahunya. “Aku juga tidak yakin. Lebih baik kita ikuti saja apa kemauan mereka. Tetaplah di sisiku.” Regan menautkan jemarinya. Ia genggam erat tangan milik Reina. Reina merasakan kenyamanan. Setidaknya ia tidak akan merasa takut jika nantinya akan disalahkan. Mereka pun berjalan beriringan hingga saat tiba di depan pintu, Mama Claudia dan Papa Justin berdiri menghadang mereka. “Dari mana saja kalian? Kenapa jam segini baru pulang?” tanya Linda dengan suara begitu lantang. Ia tidak peduli meski di rumah itu sekarang banyak orang. “Di kantor pun tidak ada,” imbuh Justin ikut menimpali. “Kami dari rumah sakit, Pa. Rafa terkena musibah,” jawab Regan tegas. Sementara Reina hanya diam menunduk di samping Regan. Ia tak berani ikut campur dengan ikut berbicara. “Menyusahkan sekali keluargamu itu!” Claudia semakin berapi-api. “Oh, ya. Mulai hari ini kami akan tinggal di sini.
Regan tertidur begitu lelap, hingga tak sadar pagi telah datang. Tangannya meraba tempat di sebelah. Dan kosong. Sang istri tidak ada di sampingnya. “Reina?” Regan mengedarkan pandangannya. “Sayang, kamu di mana?” Regan menggeliatkan tubuhnya. Tubuhnya terasa lebih ringan. Kepalanya tak pusing lagi. “Ke mana istri kesayanganku? Pagi-pagi sudah meninggalkan aku begitu saja.” Regan berjalan menuju kolam renang. Berharap di sana ia menemukan keberadaan sang istri. Namun nyatanya tidak ada siapa-siapa. Lelaki tampan itu terlanjur ingin menikmati air di kolam renang itu. “Tidak apa. Sebentar saja.” Setelah beberapa menit lamanya, Regan ingin kembali ke kamarnya. Bersamaan dengan itu, Alice datang menghampirinya. Matanya tak berkedip menyaksikan tubuh kekar milik kakaknya. “Alice ... ngapain kamu ke sini?” tanya Regan merasa heran. “Nyariin Kakak, lah. Habis ditelpon nggak diangkat-angkat!” kesal Alice berpura-pura. “Kenapa nyariin kakak? Ada masalah?” Regan memilih untuk duduk. “T
Perubahan raut wajah Regan sangat terlihat dengan jelas. Namun Alice tidak tahu apa masalahnya. “Apa yang terjadi kepadanya?” Alice keheranan. Ia berpikir sejenak hingga sesaat kemudian bunyi klakson sudah bersahutan. Alice segera berlari mengejar kakaknya. Buru-buru ia masuk mobil dengan napas yang ngos-ngosan. Setelah mobil Regan bercampur dengan kendaraan lain di jalan raya, lelaki tampan itu mengendarai mobilnya dengan sangat kencang. Ia harus segera tiba di mansion dan menemui istrinya. “Kak Regan kenapa sih?! Apa yang terjadi? Alice takut, Kak! Pelan-pelan bisa nggak sih!” protes Alice. Hampir saja mobil kakaknya itu menyenggol seorang pengendara roda dua. “Diamlah, Alice!” bentak Regan yang seketika membuat gadis itu bungkam. Alice merasa terkejut. Tidak biasanya Regan membentaknya seperti itu. Gadis itu menahan diri untuk tidak menangis. Regan sadar jika dirinya salah. Tidak sepantasnya ia marah dengan Alice yang tidak tahu apa-apa. Lelaki tampan itu menepikan mobilnya
Dengan penuh rasa percaya diri Regan bermain catur bersama Sam. Ia yakin bisa menang dan mengalahkan pamannya tersebut secara mudah. Beberapa waktu berlalu. Regan hampir saja menang. Namun kedatangan sang notaris mengejutkan keduanya. “Lihat itu, siapa yang datang!” ujar Sam. Lelaki paruh baya itu bermain curang. Hingga membuat Regan gagal menang. “Wah, Paman Sam curang! Kenapa bisa jadi begini?” Regan terheran-heran. Padahal tinggal selangkah lagi dia akan menang. “Akui saja kekalahan kamu, Regan.” Sam tersenyum smirk. Ia berhasil mengelabuhi semua orang. Regan merasa kesal. Gagal rencananya untuk membuat sang istri berteriak minta ampun kepadanya. Lelaki tampan itu melirik Reina dengan wajah masam. Sementara Reina tidak mengerti apa maksudnya. Wanita itu hanya mampu mengangkat bahunya kepada Regan. “Sudah-sudah. Ayo kita temui Bapak Ahmad selaku notaris,” ajak Christian. “Jangan sampai membuatnya menunggu lama.” “Baiklah.” Serentak Regan dan Sam menjawab. Semua yang berada
“Oh, ya?” Regan merasa gemas dengan sikap istrinya. Namun ia masih memeluk erat wanita itu.“Pak, tolong lepaskan! Ini tempat umum!” peringat Reina merasa malu.“Memangnya kenapa? Kamu istriku. Dan aku suamimu. Kita sama-sama saling mencintai.”“Bukan begitu maksud Reina, Pak Regan!” Wanita itu merasa semakin kesal. Mengapa sulit sekali untuk meyakinkan Regan. Ia selalu kesusahan menghentikan aksi Regan yang seenaknya.Lelaki yang maunya menang sendiri. Merasa dirinya yang paling benar.Regan menyadari kegelisahannya istrinya. Meski hal itu membuatnya semakin merasa gemas.“Ya sudah. Baiklah. Yang penting kamu jangan kabur-kaburan lagi. Pokoknya kita harus berangkat ke kantor sama-sama.”Regan melerai pelukannya. Kemudian menggenggam erat tangan Reina seperti biasanya.Tidak dapat dipungkiri. Sebenarnya Reina merasa nyaman merasakan pelukan hangat dari suaminya. Namun situasi dan tempatnya salah.“Jangan marah lagi, ya?” lirih Regan memperdalam tatapan matanya.“Iya, iya ... Reina jug
Tepat pukul tiga sore. Regan keluar dari ruangannya dan mengajak sang istri untuk pergi ke suatu tempat. “Kenapa Pak Regan tidak mengatakan ke mana kita akan pergi?” tanya Reina penasaran. Saat ini mereka sudah berada di dalam mobil dan bersiap untuk berangkat. “Anggap saja sebagai kejutan, Sayang. Nanti kamu akan tahu sendiri. Jangan marah, ya?” Jemari Regan mengelus lembut kepala istrinya. Reina mengangguk saja. Kemudian tidak ada lagi percakapan di antara keduanya hingga ponsel Reina berbunyi. Sebuah pesan dari mantan sahabat. [Reina, kenapa tidak pernah membalas pesan-pesanku? Kamu sombong ya, sekarang. Pasti kamu sengaja mengganti nomor kamu. Tapi sayang sekali aku bisa mengetahuinya dengan cepat.] ‘Karin? Dari mana dia dapat nomorku?’ Reina merasa kesal. Sebenarnya ia tidak mau lagi berurusan dengan Karin. “Dari siapa, Sayang? Sepertinya serius banget,” tanya Regan yang mendadak kepo maksimal. “Em ... bukan siapa-siapa, Pak Regan. Tidak penting.” “Ada yang mencoba menga