Yang perlu dipersiapkan Pijar saat menikah hanyalah jiwa dan raga. Segala hal yang perlu dilakukan untuk pernikahan sudah ada ahlinya masing-masing yang menangani. Kebaya untuk akad nikah dibuat langsung oleh Crystal, perhiasan di desaign langsung oleh Moza. Pijar hanya perlu datang untuk mencoba dan berkomentar.Tidak terasa hubungan Elang dan Pijar sudah melangkah lebih dekat menuju pernikahan. Mengambil keputusan untuk menikah bukan hal yang mudah untuk Pijar, tetapi memikirkan kehilangan Elang juga tidak bisa diterima oleh hatinya. Maka dari itu, keputusan untuk menikah dengan Elang akhirnya diambil dan menjadikan Elang sebagai tambatan hatinya yang terakhir.“Bagaimana rasanya setelah mengambil keputusan besar itu?”Malam ini Pijar bertemu dengan Rio dan mengatakan kalau dia akan menikah dengan Elang. Setelah lama tidak bertemu dengan Rio, Pijar muncul dengan membawa serta kabar baik. Rio tidak menanggapi dengan skeptis karena dia tahu jika perasaan Pijar dari awal begitu dalam u
Elang benar-benar gila sore ini. Dia seperti mendapatkan mainan baru sehingga tidak ingin melepaskan Pijar. Yang lebih membanggakan lagi adalaha tidak ada satu pun orang yang mengganggunya. Tidak ada ketukan pintu atau sejenisnya. Kedamaian itu terasa seperti di surga. Elang mengecup pundak Pijar sebelum menggigitnya. “Bangun, Sayang. Kita belum makan dan aku lapar.” Pijar enggan untuk membuka mata. Dia merasakan kantuk yang luar biasa sampai matanya terasa tak bisa dibuka. “Aku ngantuk. Makan saja sendiri.” Mata boleh tertutup, tetapi telinga yang aktif mendengar, membuat bibirnya sanggup bergumam. “Salah siapa nggak sabaran. Tulangku rasanya lepas semua.” Bukannya marah, Elang justru terkekeh. “Makanya jangan suka menggoda. Aku ini kalau udah berurusan sama kamu nggak akan bisa tahan.” Elang menyangga kepalanya dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya begitu aktif menjamah tubuh istrinya. Mulai dari perut lalu naik ke pundak. “Lang … ih!” Pijar mendorong suaminya itu den
“Aku ini laki-laki. Tahu cara laki-laki lain menatap perempuan yang dia suka. Dan laki-laki tadi melakukannya. Kamu pikir aku akan diam saja? Cih … tentu saja tidak.” “Ya, tapi nggak perlu kayak gitu juga, Lang. Dia itu pasti malu.” “Biar nggak ngelakuin begitu lagi.” Elang mana bisa dikalahkan. Benar atau salah pasti dia tetap akan mencari ucapan yang benar. Pijar tidak ingin berdebat dan memilih meninggalkan Elang di belakang. Elang menyusul, lalu memeluk pinggang Pijar sampai ke dalam ruangan. “Makan, yuk. Laper aku.” “Mau dipesenin apa?” tanya Pijar sambil meletakkan laptop dan juga dokumen di atas meja. Elang sama sekali tidak pernah melewatkan sekalipun makan siang bersama dengan Pijar sejak mereka menikah. “Nasi sambal ayam di tempat biasa.” Pijar segera memesan makan siang mereka sambil duduk di samping Elang. Elang menarik lengan Pijar agar perempuan itu jatuh di pelukannya. Pijar tidak menghindar dan memilih fokus pada ponselnya untuk memesan makan siang mereka. Har
Elang hampir menjatuhkan rahangnya ketika melihat penampilan Pijar. Usia kandungannya sudah 6 bulan. Perutnya sudah terlihat besar, tetapi sepatu tinggi yang digunakan sama sekali tidak pernah tertinggal. Sudah berkali-kali Elang melarangnya untuk tidak menggunakan sepatu berhak tinggi, tetapi pijar terlalu bebal untuk menuruti ucapan sang suami.“Yang ….”“Udah, ya, Mas. Aku udah tahu apa yang akan kamu bilang. Kamu pasti minta aku buat nggak pakai sepatu hak tinggi ‘kan?”Pijar tahu apa yang akan dikatakan oleh Elang, sehingga dia segera menjawab. Saat hamil, Pijar semakin suka berdandan. Sepatu hak tinggi menjadi koleksinya akhir-akhir ini. Pakaian-pakaian cantik berupa dress, tas, dan bahkan perhiasan. Sungguh bukan seperti Pijar yang sebelumnya.“Kamu tahu kamu lagi hamil, Sayang. Kamu boleh beli sebanyak yang kamu mau, tapi jangan dipakai dulu.”Pijar menyeringai. “Mubadzir kalau nggak dipakai,” jawab Pijar dengan santai seolah ucapan Elang bukan apa-apa. Lagi pula, dia sudah ah
“Untuk apa wajah cantik kalian kalau kalian bahkan tidak memiliki kemampuan untuk bekerja!” Suara itu terdengar dingin ketika menatap lima gadis yang tengah menunduk dalam. Di tangan perempuan itu ada sebuah naskah yang digunakan untuk casting anak-anak didik yang akan segera diluncurkan menjadi seorang actris film. Dia mendapatkan rekomendasi dari salah satu penanggung jawab untuk artis baru di infinity. “By, jangan marah dulu.” “Kamu yang akan aku marahin kalau ikut campur urusanku.” Mata gadis yang dipanggil By itu tampak dingin. “Rekomendasi macam apa yang kalian berikan?” Usia muda dengan kemampuan kerja yang luar biasa membuat Ruby disegani oleh banyak orang di sana. Dia bahkan disandingkan dengan sutradara-sutradara senior milik Infinity. “Aku udah menyeleksi sebelum aku serahkan ke kamu. Dan mereka nggak ada masalah.” “Itu menurutmu, tapi tidak menurutku.” Perempuan itu berjalan ke arah laptop dan menonton tayangan ulang yang baru saja diambil. “Seorang artis bukan hanya
Ruby mendengus kesal dengan ucapan perempuan paruh baya tersebut. Apa perempuan itu pikir kalau Ruby kekurangan uang sampai harus menggunakan cara selicik itu untuk mendapatkannya? Sungguh tidak masuk akal. “Kalau kemampuanmu mumpuni dan kamu bisa menguasai semuanya, mari ikut saya agar saya bisa menilainya.” Ruby sama sekali tidak menyinggung ucapan perempuan paruh baya tersebut dan memilih untuk membahas inti dari pembicaraan tersebut. Menatap gadis remaja berusia 17 tahunan itu dengan tegas. “Bakat yang kamu punya akan membuatmu bertahan di dunia entertainment. Kalau kamu mengikuti talent dari Infinity, maka kamu akan tahu mereka bahkan bisa bertahan sampai mereka memutuskan untuk mundur dari hingar bingar dunia televisi. Anda tahu maksud saya.” “Mbak Ruby, tentu saja ini bukan seperti itu. Saya hanya ingin memuluskan jalan putri saya di depan dan sisanya dia pasti akan melakukannya dengan baik.” Perempuan paruh baya itu tampak benar-benar memohon. Tatapannya penuh dengan keingi
Untuk pertama kalinya dalam hidup, seorang Orion Bamantara kehabisan bensin. Masih dalam keadaan tubuh kotor belum mandi, perut lapar, dan mereka harus berjalan untuk mencari bahan bakar untuk kendaraan beroda empat tersebut. Ini sangat memalukan bagi Orion. Dia bahkan harus menutupi wajahnya menggunakan masker. “Kamu harusnya tadi di mobil saja dan tunggu saya.” Orion bersuara memecah kebekuan di antara dirinya dan Ruby. “Nggak mungkin lah saya biarin Mas Orion jalan sendirian. Di daerah sini itu susah cari bensin. Kita masih harus jalan kaki sepuluh sampai lima menit lagi,” jawab Ruby. Padahal, mereka sudah berjalan sepuluh menit yang lalu. Orion berhenti. Dia menoleh ke arah Ruby. “Saya lapar,” katanya dengan wajah lelah. Ruby melihat sekeliling dan ada sebuah kursi di bawah pohon. “Kita makan di sana. Tapi, Mas yakin?” Orion melihat ada sebuah toko kecil. “Kamu tunggu di sini dulu. Saya ke toko itu.” Orion sedikit berlari dan masuk ke dalam toko tersebut. Tak lama dia keluar
“Kamu sudah punya pacar?” tanya Orion kepada Ruby setelah dia melihat orang yang datang menemui Ruby adalah seorang lelaki tampan. Dia tak mendengarkan apa yang mereka obrolkan, tapi dari gerak-gerik tubuh lelaki itu, Elang bisa melihat bagaimana lelaki itu memiliki ketertarikan dengan Ruby. “Nggak punya,” jawab Ruby dengan singkat. “Lalu lelaki itu?” tanya Orion lagi. “Teman lama.” “Sepertinya dia cinta sama kamu.” Langkah kaki Ruby terhenti tepat di depan ruangan casting. Berbalik untuk menatap Orion sebelum menjawab ucapan lelaki itu. “Terima kasih sudah memberikan informasi. Saya masuk dulu.” Ruby masuk ke dalam ruangan sebelum menutup pintunya dengan rapat. Dia tak akan memedulikan siapa pun yang bertanya tentang masalah pribadinya. Ruby menunduk sambil menatap tabletnya sebelum pintu ruangan tersebut kembali terbuka. Lima calon aktris itu muncul dan dia siap untuk menguji. Tidak disangka, Orion ikut di belakang mereka dan duduk di samping Ruby. Kening Ruby mengernyit, teta