"Dirga, biasa aja dong. Jangan begitu, aku kan cowok normal," ucapku dengan wajah kusut. Dirga tersenyum penuh arti padaku, membuat aku salah tingkah. "Sejak kapan kamu jatuh cinta pada Zahra?" tanya Dirga dengan tatapan tajam. "Nggak tahu, Ga. Entah sejak kapan, rasa itu tumbuh begitu saja di hatiku. Mungkin saat dia ikut wawancara di kantor ini, aku juga tak tahu," aku tergelak gugup. Dirga menatapku sambil tersenyum simpul. "Em, aku tahu saat itu. Sewaktu aku mau menyatakan cinta pada Zahra, raut wajahmu berubah, wajar tak menentu. Aku tahu sebenarnya kau sudah menaruh hati padanya, tapi kau tak mau mengakuinya." Aku tercenung sesaat, berpikir kembali perasaan yang terus kubendung selama ini. "Yah, padahal aku sudah berusaha menyembunyikan perasaan ini dan menjaga sikap agar tak seorang pun yang tahu jika aku sebenarnya menaruh hati pada Zahra." "Benar kan?" tanya Dirga. "Mungkin..." aku menjawab dengan ragu. Dirga tertawa. "Raka, Raka, kamu masih saja menyembunyikan perasaanmu,"
Aku berjalan keluar cafe tersebut berjalan dengan langkah gontai. Ternyata Zahra telah dijodohkan dengan orang lain. Apa aku harus menyerah begitu saja? Apa aku harus pasrah pada keadaan dan menerima Briana lagi? Aku tak lagi kembali ke kantor, karena aku tak sanggup untuk bertatap muka dengan Zahra. Ku putuskan untuk mengatakan semua ini pada ibu, ya pada ibuku. Aku segera memacu mobilku di jakanyang padat, aku ingin segera tiba di rumah dan bertemu dengan ibu. Tak beberapa lama aku bertemu dengan ibu dan ingin melepaskan semua bebanku ini. “Eh, eh, kok kusut gitu? Kenapa Nak?” Sapa Ibu dengan senyum hangatnya. Aku nafas dan menghempaskan bobot tubuhku di sofa tepat di samping Ibuku. “Ada apa ayo cerita,” ucap ibu penuh perhatian. Kemudian aku menceritakan soal Briana masa laluku yang telah kembali, ia ingin aku kembali padanya. “Maksud kamu Briana teman kuliah kamu itu?!” tanya ibu terkejut. Aku mengangguk lemah. “Udah, nggak usah. Ibu nggak akan setuju, kalau udah nggak norm
Kupacu motor maticku dengan kecepatan tinggi, menuju salah satu perusahaan ternama di kotaku, jalanan macet membuatku kesulitan mengendarai motorku.Hari ini aku di panggil interview kerja di salah satu perusahaan kontruksi yang cukup bonafit. Aku tak ingin keterlambatanku membuatku gagal dalam interview nanti.Di jaman sekarang cukup sulit mendapatkan pekerjaan, entah berapa banyak lamaran yang sudah kukirimkan, tapi tak satupun lamaranku diterima.Setelah beberapa bulan menunggu akhirnya dapat panggilan interview juga. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam gedung bertingkat tersebut, disana bertuliskan nama perusahaan PT. Jaya kontruksi.Kuedarkan pandang ke seluruh ruangan, banyak karyawan dan karyawati yang kelihatan berjalan tergesa-gesa, mungkin mereka takut terlambat, pikirku.Aku langsung menuju meja resepsionis, untuk menanyakan ruangan mana yang menerima Interview untuk jabatan sekretaris.Sang resepsionis yang berpenampilan menarik dan make up yang cantik, memperhatikanku dari
"Assalamu'alaikum,” aku mengucap salam ketika sudah sampai di depan pintu rumah.“Wa'alaikumsalam,” terdengar suara ibu menjawab salam.Rumah tua ini adalah rumah sederhana peninggalan ayah yang terletak di pinggiran kota ini.Ibu membukakan pintu, kucium tangan ibu takzim.“Udah pulang toh, Nduk?”“Iya Bu, interviewnya sudah selesai, Nisa langsung pulang Bu.”“Bagaimana interviewmu, apa kamu bisa menjawab semua, Nduk?”“Alhamdulillah, bisa Bu berkat do'a dan restu Ibu, semoga bisa diterima kerja gajinya lumayan, bisa buat berobat Ibu dan untuk biaya hidup kita.” Kata ku berbinar.“Amin,” sambut Ibu cepat.“Maafin Ibu yo, Nduk, Ibu gak bisa bekerja lagi terpaksa kamu bekerja kesana kemari.”“Ibu kok ngomong gitu, Ibu sudah lelah berjuang selama 20 tahunan, kini saatnya aku yang berbakti kepada ibu,” ucapku sambil memeluk Ibu.“Yo wis ... ndang kamu makan dulu Nis, udah siang Ibu masak makanan kesukaanmu orek-orek tempe.” Ibu melepaskan pelukanku.“Asiiikk ... yuk Bu kita makan bareng,
Suara adzan shubuh berkumandang aku segera bangun untuk menunaikan panggilan Rabb-ku.Kulihat disamping ibu sudah bangun dari tadi. Ahhh ibu tak pernah kesiangan bangun pagi, ibu benar-benar wanita tangguh yang hebat, jika ia sehat selalu bangun cepat untuk menyediakan sarapan ala kadarnya.Jika dulu masih berjualan ibu akan bangun jam 03:00 WIB, jika orang lain masih tidur ibu sudah sibuk di dapur, membuat adonan kue untuk dijajakan dari rumah ke rumah.“Lho, Nduk Ibu pikir belum bangun, baru aja Ibu mau membangunkanmu.”“Sudah Bu, Nisa udah bangun pas dengar suara adzan tadi.”“Yo wes ibu shalat duluan yo.” Kujawab pertanyaan ibu dengan anggukan.Sebelum shalat shubuh, aku shalat sunat qabliyah shubuh dulu kemudian shalat shubuh dilanjutkan membaca alma’surat ( zikir pagi sore) yang setiap hariku amalkan.Setelah itu kuhadiahkan surah yasin untuk ayah, semoga bisa menjadi penolong, penerang dan penyejuk di alam barzah sana.Beberapa hari yang lalu aku masih bekerja di salah satu kam
Memang CEOnya seperti apa sih? Sepertinya mereka terlalu mempermasalahkan tentang siapa sekretarisnya. Ah sudahlah, yang penting tanda tangan kontrak dulu.Aku segera bergegas menuju lantai dua ruang HRD, dengan menggunakan lift.Hari ini penampilanku lumayan rapi, rok hitam, baju blouse panjang berwarna soft purple dan jilbab lebar bermotif berwarna senada, tak lupa sepatu kets putih kesayangan walaupun sudah lusuh tapi nyaman dipakai.Aku langsung bertemu dengan Manager HRD yang mewakili perusahaan untuk menandatangani kontrak kerja, usianya sekitar 35 tahunan.“Halo nama saya Lukman, saya yang mewakili perusahaan untuk penanda tanganan kontrak kerja Anda,” ucapnya sembari mengulurkan tangan untuk bersalaman.“Saya Annisa Pak.” Kutangkupkan tangan di dada, tanpa menyambut uluran tangan Pak Lukman. Ia tampak kikuk dan terpaku beberapa saat.“Boleh saya duduk Pak?” aku mencoba mencairkan suasana agar Pak Lukman merasa santai karena telah menolaknya bersalaman.“Oh ya ya Silahkan Mbak
Malam ini hujan turun dengan lebat, cuaca panas berganti sejuk setelah beberapa hari dilanda panas yang amat sangat.“Allahumma shayyiban nafi’an, ya Allah turunkanlah hujan yang bermanfaat.”Aku duduk di beranda sekedar menikmati hujan dan cuaca yang sejuk, sambil minum segelas teh manis yang dibuatkan ibu.“Gimana, Nduk hari pertama bekerja?”Ibu menghampiriku.“Aneh Bu.”“Lha kok bisa?”“Hari pertama cuma duduk manis di meja kerja, aku juga belum kenal yang mana bosku,”ucapku.Ibu tertawa kecil.“Mungkin aja dia lagi gak ada di tempat Nis jangan su'udzon gak baik.”“Astaghfirullah, bener Bu kok Nisa jadi su'udzon ya, baru juga satu hari.”Ibu mengangguk mengiyakan perkataanku.“Ya uwes ndak usah dipikirkan, ayo masuk ke dalam, takutnya ada petir.”Esoknya seperti biasa aku berangkat pagi sekali, langsung menuju ruangan sekretaris. Tiba-tiba dari belakang ada seorang yang memanggil, ternyata Andina yang setengah berlari sambil memanggil namaku.“Pagi Nis, cepat amat datangnya.”“Pagi
Alhamdulillah akhirnya aku sampai di rumah, setelah seharian bekerja lelah juga, ketika hendak turun dari motor Bu Romlah datang dan menghampiri.“Annisa sore amat pulangnya? Dari mana aja sih?”Sepertinya Bu Romlah sengaja menungguku pulang, ia penasaran sekali dengan hidupku, dulu ketika aku mulai kuliah saja dia mengejekku dan ibu.“Orang miskin gak usah banyak gaya lu, Nis, pake mau kuliah segala, udah cukup makan aja syukur.”Yah begitulah Bu Romlah, tapi aku tetap menghormatinya, karena dia lebih tua dariku anggap saja ucapanya sebagai motivasi supaya bisa hidup lebih baik lagi.“Pulang kerja Bu Romlah, O ya, ada apa Bu kok sampe nyamperin Nisa ke rumah?”“Kagak Nis, emang lu kerja dimana sih?" tanya Bu Romlah penasaran.“Saya kerja di kantor Bu Romlah.”“Em beneran lu kerja di kantor? Emang jabatan lu apa?”tanyanya lagi.“Iya Bu, masa Nisa boong.”“Jabatan nya apa? trus gajinya berapa?” Bu Romlah terus bertanya tentang jabatanku.“Cuma sekretaris biasa, Bu, udah ya Bu Romlah Ni