Derap langkah kuda yang saling bersahutan menggema di dalam hutan. Di antara banyaknya bandit di tanah ini, ia adalah yang nomor satu. Licik dan tak terkalahkan. Dia adalah Neere, oase bagi rakyat yang terpinggirkan dari mata penguasa.
“Hya!” Neere menambah kecepatan kudanya.
Empat pemburu yang mengejarnya tak mau kalah. Dari atas kuda, mereka mulai melesatkan anak panah secara bertubi-tubi. Berharap kalau mangsa yang mereka kejar bisa tertangkap malam itu juga.
Neere yang sadar serangan dari belakang itu pun meraih batang pohon yang akan menghalangi jalannya di depan sampai batas kelenturannya. “Mau menghindar pun tidak akan sempat,” ucapnya percaya diri. Merasa instingnya tepat, batang pohon itu kembali dilepaskan ketika empat pemburu itu mendekat ke arahnya.
Para pemburu tikus langsung terjatuh dari kudanya, terhempas oleh batang pohon sialan tak bertuan yang tumbuh sembarangan di hutan.
“Sempurna!” Neere tertawa puas melihat rencananya berhasil. “Kalian masih butuh 100 tahun untuk melampauiku!” Kembali ia berucap dengan lantang, seraya memandangi sekawan yang teronggok kesakitan di atas tanah.
Setelahnya, Neere menarik lagi tali kekang dan menghentakkan sanggurdi untuk bergegas melaju meninggalkan hutan.
Baru lega lepas dari bahaya, ada lagi yang menghalangi lajunya. Ia adalah seseorang bertudung yang berdiri mematung di tengah jalan. Malam yang gelap dengan purnama yang temaram tak mampu menyingkap siapa tokoh yang ada di hadapan Neere saat ini.
Kuda Neere melaju terlalu kencang. Ia tidak akan bisa menghentikannya tiba-tiba. Dengan isyarat tangannya, Neere pun berteriak lantang, “Hei, minggir!”
Bukannya menyingkir, orang itu justru tak gentar. Ia masih berdiri dengan kokoh di pijakannya. Karena tak punya pilihan, akhirnya Neere menarik tali kekang kudanya dengan kuat, hingga membuat kudanya meringkik dan menjatuhkan tubuhnya.
Kini, Neere yang gantian teronggok tak berdaya di atas tanah.
“Ugh!” Refleks―Neere meringis kesakitan. Ia ingin berkeluh kesah dengan rasa sakitnya, tapi ia menyadari masih ada hal yang lebih penting dari sekedar uringan.
Menyadari sosok yang membuatnya menderita masih berdiri dan melihat ke arahnya, perlahan Neere mencoba bangkit dengan susah payah seraya memegangi pinggang. Ditatapnya sosok yang juga tengah menatapnya.
“Apa kau ingin mati cepat, hah? Bisa-bisanya berdiri di depan kuda yang sedang melaju kencang!” ketus Neere.
“Sebaiknya menyerahlah dengan tenang, atau aku tidak akan segan untuk menyakitimu!” ancam pemuda itu. Suaranya terdengar berat. Sudah pasti kalau sosok itu adalah seorang pria.
Pria itu kemudian berjalan pelan mendekati Neere. Pedang yang sedari tadi terlelap apik di sarungnya kembali ditarik dan ditodongkan ke Neere.
Neere berusaha tetap tenang meski pinggangnya kesakitan. Dengan percaya diri, ia menyilangkan kedua tangannya ke depan dada. “Hei, kata-katamu terlalu klise jika ingin berbicara denganku. Apa tidak bisa menggunakan kata-kata lainnya? Sungguh membosankan!”
“Berurusan dengan orang sepertimu tidak memerlukan sesuatu yang istimewa. Kata-kataku terlalu mahal untuk bandit sepertimu,” balas lelaki itu tak mau kalah.
“Cih, sombong sekali!”
Tak ada guntur tak ada hujan, baru saja Neere berkedip, lelaki yang sama-sama sok misterius seperti Neere itu memanfaatkan kesempatan untuk menyerangnya tiba-tiba.
Dengan tangkas, Neere menangkis serangan itu menggunakan belati yang dibawanya. “Kau mau membunuhku?” protesnya. Kini Neere berada dalam posisi bertahan.
Keduanya saling adu pandang, dengan tatapan setajam pisau pencincang daging yang siap merobek susunan jaringan otot itu menjadi potongan yang sangat kecil.
Dalam keremangan, Neere sedikit menyadari kalau ternyata lelaki dihadapannya sekarang seperti masih muda. Iris mata dan rambutnya terlihat gelap dalam temaram. Cahaya minim tak mampu menyingkap lebih jauh sosok itu.
Ketika pandangan beradu dalam kedekatan, orang itu kembali berkata dengan auranya yang medominasi. “Sepertinya sulit mengajakmu bicara baik-baik. Makanya aku langsung berusaha menaklukanmu!”
Neere sadar kalau lelaki itu kekuatannya jauh lebih besar darinya. Kini ia semakin terpojokkan. Kuda-kuda yang dianggapnya paling kuat pun tak mampu menahan tekanan lelaki itu. Perlahan namun pasti, Neere terdorong mundur seiring langkah kaki lelaki di hadapannya.
“Bocah sialan ini berusaha menyudutkanku. Aku harus mencari cara untuk kabur darinya,” batin Neere yang mulai gelisah menghadapi tekanan.
Suasana masih tegang dengan keheningan yang menyeruak di antara senjata yang masih bertaut. Sekelebat ingatan tentang ‘sesuatu’ yang dimiliki Neere pun terlintas. Netranya mendelik, dan ia pun kembali berucap dalam hati. “Ah, iya. Aku masih punya barang itu di kantung.”
Tangan Neere yang menganggur pun berusaha mengambil sesuatu dari kantung sakunya. Namun, baru akan bergerak lelaki bertudung itu menarik paksa tangannya. Kini kedua tangan Neere berada di bawah kendali pemuda itu.
“Kau mau melakukan trik apa, hah?” bentak pemuda itu.
“Lepas!” Neere berusaha melepaskan tangannya. “Dasar sialan!” umpatnya. Ia menatap sengit pemuda itu. Tanpa pikir panjang, Neere pun langsung mengigit tangan pemuda itu sekuat mungkin.
“Argh!” pekik pemuda itu seraya melepaskan tangannya yang digigit oleh Neere.
Neere tak tinggal diam. Ia menolak pedang pemuda itu dengan belatinya, dan menendang perutnya hingga orang itu jatuh tersungkur. Tidak sampai di sana, Neere juga melempar bom asap yang dibawanya. Ia memanfaatan kesempatan ini untuk kabur dari cengkeraman ‘raja pemburu.’
Pemuda itu bangkit dan terbatuk karena asap yang dihasilkan oleh bom yang dilempar Neere.
“Sial!” umpatnya saat mendapati targetnya sudah menghilang dari pandangan. Wajahnya meringis menahan sakit. Tangan kirinya pun terlihat memegangi perutnya yang ditendang Neere. Cap bekas gigitan Neere juga terlukis jelas di tangannya.
Selang beberapa waktu kemudian, empat orang yang tadi dikalahkan Neere pun tergopoh mendekati pemuda itu. “Tuan, bagaimana ini? Orang itu lolos lagi dari genggaman kita,” ucapnya dengan lirih.
“Tenanglah,” kata pemuda yang masih memandangi arah kepergian Neere, hingga seulas senyum setan terbit di wajahnya. “Kita pasti akan bertemu dengannya lagi. Ayo, tinggalkan hutan ini,” ujarnya seraya memandu di depan.
••O••
Wilayah Kerajaan Blazias membentang dari semenanjung Lysias hingga perbatasan Orline. Salah satu wilayah kekuasaan yang paling luas dan paling kuat di antara lima kerajaan lainnya di Benua Galia. Pamor itu tidak lepas dari peran rajanya saat ini. Ia dikenal sebagai raja gunung es yang tak punya hati. Nyawa manusia seolah tak berharga lagi di matanya.
“Jadi, kau tidak ingin mengatakan siapa pimpinan aliansi para pemberontak itu?” tanya seorang pria berambut cokelat keemasan, beriris hazel yang tengah duduk di kursi kayu. Ia duduk dengan menyilangkan kaki, menimpa kaki kiri dengan kaki kanannya. Tangan kanannya menyangga rahang. Sorot matanya tegas dan tajam seperti mata elang yang tengah berburu mangsa.
Ya, orang itu adalah penguasa Blazias saat ini, Sirius Ommere Ptolemy. Saat ini, Sirius sedang mengintrogasi seseorang yang dianggap sebagai mata-mata musuh. Berulang kali ia menanyakan hal yang sama, tapi mata-mata itu masih saja bungkam.
“Cih! Aku tidak akan mengatakannya pada orang sepertimu. Aku yakin, kelak keangkuhan dan kekejamanmu akan runtuh! Kau tunggu saja sampai saat itu tiba!” Lelaki itu tertawa dengan kerasnya begitu selesai berbicara.
Kedua tangan dan kakinya terikat pada tiang. Tubuhnya sudah penuh luka akibat belaian cap besi panas yang diberikan penyidik di ruang investigasi.
“Baiklah, kalau itu keputusanmu.” Raja Sirius yang sedari tadi hanya duduk dan menatap dengan angkuh akhirnya bangkit. Ia mengambil sebilah pedang, berjalan maju, dan langsung mengayunkan pedangnya di dada tahanan itu.
“Ugh!” Darah segar mengalir dari dada sebelah kiri dan mulut tahanan itu. Matanya melotot menahan rasa sakit tak bertepi yang ia rasakan akibat tusukan tepat detak kehidupannya.
Sirius langsung menarik kembali pedang yang kini berlumuran darah dan memberikan pedang itu pada pengawal yang ada di sana. “Bersihkan dan simpan kembali! Aku tidak ingin ada sisa darah kotor pengkhianat ini yang menempel.”
Kembali dari ruang interogasi, Sirius membuka pakaian kebesarannya dan mambenamkan tubuh atletis bak pahatan patung dewa di kolam yang sudah diberi wewangian untuk menghilangkan bau darah dari tubuhnya. Pria itu sangat menjaga diri ketika akan menemui putri semata wayangnya.Bayang-bayang tentang putrinya yang ketakutan hingga hampir pingsan karena melihatnya penuh darah masih terngiang begitu jelas. Itulah alasan kenapa Sirius harus menjaga diri agar tidak ada darah sedikit pun yang menempel ditubuhnya.“Apa yang sedang dilakukannya sekarang?” monolog Sirius kemudian menyugar rambutnya dengan kedua tangan yang basah.Tak lama kemudian, Sirius beranjak dari kolam. Ia tak butuh pelayan untuk membantu mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaiannya. Membuatnya seperti
Masih jelas dalam ingatan Selena bagaimana ayah dan ibunya sempat bertengkar mengenai tahta. Meski pun ia tidak tahu pasti apa yang mendasarinya sampai hal itu harus terjadi.“Kau ingin mengudeta raja ?" ucap Ilse seolah tak percaya. "Apa salahnya sampai kau berniat demikian? Bukankah dia adalah kaisar yang baik?” Ilse dipenuhi dengan amarah saat ini. Napasnya memburu. Terasa begitu sesak, seolah ada yang meluap dari dalam dirinya. “Aku sudah cukup bahagia dengan kehidupan yang seperti ini, Sirius,” tambahnya lagi.Sirius masih dengan ekspresi datarnya. Seolah tidak merasa bersalah atas amarah Ilse. “Kau tidak mengerti, Ilse. Aku benar-benar tidak punya pilihan lain,” ucap Sirius dengan suara rendah. Ia masih berusaha mempertahankan pendiriannya, tidak peduli betapa pun kerasnya Ilse menolak.
Sebuah tamparan yang keras Selena daratkan di pipi Julia. Membuat semua orang yang ada di pesta teh tercengang. Bukan tanpa alasan, Selena geram karena diamnya justru dijadikan candaan. Julia, bangsawan menengah yang hadir di pesta itu menyiramkan seteko teh berisi air panas ke tubuh Selena.Selena sebenarnya sangat enggan menghadiri pesta para bangsawan seperti ini jika bukan karena desakan Lynne. Baginya, tidak ada pesta menyenangkan. Karena topik yang dibahas hanyalah dirinya seorang ,yang dikatakan anak tiran dan anak tidak jelas. Padahal keluarga mereka juga menjilat kekuasaan ayahnya. Benar-benar munafik!Wajah Julia pun menjadi merah padam. Bekas tamparan Selena begitu merah, bahkan melebihi merahnya pewarna pipi yang Julia gunakan. “K-kau...” Julia memandang Selena dengan tatapan penuh kebencian.&nb
Selena berulang kali mendengkus. Jujur, ia sangat risih ketika diikuti terus ke mana-mana oleh Lucas. Hingga detik berikutnya, gadis itu berbalik. “Apa kau bisa berhenti mengikutiku, Ksatria Lucas yang terhormat?” ucapnya dengan nada kesal dan dahi berkerut dalam.Lucas menggeleng dengan wajah datar. “Tidak bisa, Tuan Putri Selena yang cerewet. Tugasku adalah melindungimu, agar tidak terluka barang segores pun.”“Apa kau mau kupenggal?”“Dan membuat semua orang tahu kalau putri yang terlihat baik hati ini ternyata sama seperti ayahnya?”Selena mendelik begitu mendengar ucapan Lucas. “Kau―”Lu
Selena berulang kali mondar-mandir dan mendengkus di kamarnya. Sebentar lagi akan pagi dan sedikitpun ia belum bisa tidur karena memikirkan kejadian semalam. Seseorang sudah mengetahui identitasnya sekarang. Bagaimana kalau orang itu sampai membocorkannya pada ayahnya? Atau bangsawan lain?“Argh! Kenapa sih, harus orang itu? Ck!” Selena mendaratkan pantatnya di tepi kasur. Kedua tangannya dilipat ke depan dada, mulutnya manyun cemberut. Kemudian mengembuskan napasnya kasar. “Sebaiknya malam ini aku bergerak.”Selena mengambil sebuah kotak dari kolong nakasnya. Kemudian dibuka dengan kunci yang tersembunyi di dalam vas bunga. Diambilnya isi dalam kotak itu berupa kertas yang terlipat-lipat. Lalu dibentangkan. Selena tidak peduli jika posisinya sekarang duduk di lantai, toh itu tidak penting baginya.
“Kediaman Rhodes baru saja kecolongan. Neere berhasil membuka gerbang harta dan membawa sejumlah permata.” Sirius masih tenang mendengarkan penjelasan abdi yang selalu menyertainya itu. Entahlah, ia hanya merasa tertarik dengan topik yang dibawakan Tristan. Neere. Juga penasaran siapa orang di balik nama itu. Meski hatinya juga bertanya, kenapa Neere tidak berniat mencuri di kerajaan? “Oh, ya!” Suara antusias Tristan yang biasanya kaku menyadarkan lamunan Sirius. “Kata para pengawal yang menyergap Neere di kediaman Rhodes, Neere membawa seorang rekan.” “Rekan?” Sirius mengernyit. Bukankah Neere itu independen? Kenapa tiba-tiba membawa rekan? Tristan mengangguk. “Seorang pria. Begitu kata mereka. Hanya saja pria itu juga Sirius diam sesaat. “Ak―” Baru akan bicara ucapan Sirius terpotong kala seorang butler mengetuk pintu ruangannya. “Salam kepada Yang Mulia Agung Kerajaan Blazias.” Sirius mengangguk. “Apa yang ingin kau sampaikan?” “Hamba hanya ingin menyampaikan, kalau semua a
Selena duduk di lantai kamar, tak peduli kalau dirinya adalah putri raja. Lucas yang melihatnya pun geleng-geleng kepala.“Apa begini kelakuan putri kerajaan?” celetuk Lucas.Selena menatap tajam Lucas. “Kenapa? Kalau kau tidak suka, kau boleh keluar dari kamarku. Biar aku yang urus ini sendiri.” Gadis itu fokus kembali pada pecahan berlian yang berhasil ia pukul dengan martil. “Dasar manusia merepotkan.”“Apa katamu?” sulut Lucas tak terima. Ia lantas bangkit dari tempat duduk dan berjongkok di hadapan Selena. “Coba katakan sekali lagi.”Selena mendongak, kedua pasang mata itu berserobok. “Dasar kau
Selena mengerjap kala merasakan ada yang memanggil, berikut guncangan ringan di bahunya. Di dapatinya Lynne dengan muka panik.“Astaga, Putri. Ayo bangun. Ini sudah tengah hari dan kau masih saja tertidur?”Selena menguap, ia pun duduk dengan gaun tidurnya. “Oh ayolah, Lyn. Aku masih sangat mengantuk.” Selena mengucek kedua matanya dengan tangan seperti anak kecil baru bangun tidur. Rambut bergelombangnya pun tampak berantakan. Selena lalu memandangi Lynne dengan matanya yang masih setengah terpejam.Tidur dini hari setelah ke panti dan hanya mendapat beberapa jam untuk istirahat. Bahkan kantung matanya pasti sudah mewakili kondisinya saat ini.“Sebenarnya apa yang kau lakukan, Pu