Pagi harinya, suara kicauan burung terdengar sangat jelas, bersahutan dengan suara azan yang berkumandang di surau tua itu. Sebuah rumah kayu yang sederhana terlihat mewah dan begitu bersih, seorang pria baru saja kembali dari surau dan duduk di teras bersama sang istri. Dia adalah Arifin dan Tan Malaka yang selalu duduk di teras rumah setiap pagi menemani sang suami minum kopi dengan beberapa cemilan sebelum berangkat ke sawah.
"Bagaimana cara mengatakannya kepadaKirai Da?" Tanya Tan Malaka yang membuat Arifin diam sejenak dan menatap ke arah sang istri."Tanpa bertanya kita pasti tau apa jawabnya, Kirai adalah gadis yang modern, pola pikirnya sudah berkembang tidak seperti waktu kecil yang bisa kita atur, layaknya seorang bocah kecil yang mengikuti semua ucapan kita, sekarang dia sudah dewasa," sahut Arifin yang membuat Tan Malaka mengangguk."Lalu apa yang akan kita sampaikan kepada Mamak?" Tanya Tan Malaka yang di jawab helaan nafas berat."Da Hanan adalah kakakmu, kakak iparku aku tau bagaimana sifatnya, apa yang keluar dari mulutnya tidak dapat dibantah, mau tidak mau, Kirai harus mau," sahut Arifin yang membuat Tan Malaka terdiam. "Anakmu bukan milikmu, dia punya jalan hidup dan tujuan hidup," sambung Arifin yang membuat Tan Malaka menatap ke arah sang suami."Kirai akan pergi merantau Da, dia akan kembali ke Jakarta untuk mencari pekerjaan," ucap Tan Malaka.Tidak ada jawaban Arifin hanya diam dan menatap ke arah sang putri yang baru saja keluar untuk menjemur pakaian."Usianya masih muda, apa pantas dan apa dia akan siap menghadapi ujian rumah tangga, putriku masih sangat kecil untuk menikah," sambung Tan Malaka menatap Kirai yang berjalan mendekatinya."Apa yang sedang Ayah dan ibu bicarakan," kekehan Kirai yang duduk di depan kedua orang tuanya di kursi kayu yang sudah terlihat kusang."Adik, beli sarapan atau ibu yang membuat sarapan?" Tan Malaka menatap ke arah sang putri."Tunggu Tek Lina buka saja Bu," jawab Kirai menatap Tan Malaka dan beralih menatap Arifin. "Ayah…""Ayah ingin bicara denganmu," potong Arifin yang membuat Kirai langsung menatap Ke arah sang Ibu.Suasana menjadi sedikit sunyi, hanya Tan Malaka yang sedikit mengangguk membuat Kirai membalas dengan sedikit anggukan juga."Semalam Ayah dan Ibu pergi ke rumah Mamak, kau tau itu kan Adik," sambung Arifin yang diangguki oleh Kirai. "Mamak dan Etek Hasna menjodohkan mu dengan putra Pak Samsul yang tinggal di samping surau itu, sahabat Ayah," ujar Arifin yang membuat Kirai terdiam dan menatap ke arah sang Ibu."I-ibu…""Tidak apa-apa, jawab saja, katakan apa yang kau ingin katakan," potong Tan Malaka yang mengerti dengan tingkah sang putri.Suasana tiba-tiba kembali menjadi hening hanya suara sepeda motor dan beberapa anak-anak yang bersepeda ke sekolah. Arifin dan Tan Malaka masih diam dan menatap ke arah sang putri yang menunduk seperti sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan sang Ayah.Helaan nafas terdengar dari bibir ranum gadis itu, ia mulai mengangkat kepalanya dan menatap ke arah sang ayah dan ibu tatapan sendu dan sangat penuh ketenangan."Adik belum siap untuk menikah, aku ingin mengejar karir, Aku ingin membanggakan Ayah Ibu, adik ingin membayar semua keringat Ayah ibu untuk menyekolahkan adik, walau adik tau itu tidak akan cukup tapi izinkan adik untuk melakukan keinginan adik," ujar Kirai menatap ke arah sang Ayah."Ayah dan ibu sudah bangga denganmu, Ayah setuju jika kau menikah dengan putra Pak Samsul," sahut Arifin dengan suara yang sedikit keras membuat Kirai menunduk."Tapi aku belum siap untuk menikah, Aku tidak ingin menikah di usia muda, ini bukan zaman Siti Nurbaya Ayah, yang bisa menjodohkan putrinya dengan laki-laki yang orang tua mereka mau, izinkan adik untuk bekerja dan adik belum siap untuk menikah, adik bersumpah akan menikah tapi tidak untuk sekarang," sambung Kirai menatap ke arah Arifin."Bagi seorang Ayah, mereka ingin anaknya lebih sukses darinya, putra Pak Samsul adalah pria yang tepat untukmu Rai," sahut Arifin yang mulai menyebut nama sang putri membuat Tan Malaka dan Kirai menatap ke arahnya.Sebuah pertanda bagi Kirai dan Tan Malaka jika Arifin telah memanggil menggunakan nama berarti ia benar-benar serius dengan ucapannya."Aku tidak ingin menikah di usia muda, aku ingin bekerja Ayah Ibu," ucap Kirai yang masih tetap ingin menolaknya."Apa ini yang kau dapat setelah lulus di universitas ternama?" Tanya Arifin menatap sang putri."Ayah, aku benar-benar tidak ingin menikah di usia muda, aku ingin bekerja dan ingin membanggakan kalian," ujar Kirai yang sedikit meninggikan suaranya membuat kedua orang tuanya terkejut karena ini adalah pertama kali Kirai meninggikan suara saat bicara pada mereka."Dengar, setelah aku menjual beberapa petak sawah untuk sekolahmu apa ini yang kau dapat? Apa ini yang kau dapat Kirai," bentak sang Ayah yang langsung menatap ke arah sang putrinya karena kecewa dengan tingkah Kirai. "Apa universitas yang ternama mengajarkan untuk bicara dengan nada tinggi kepada orang tuanya, Kau tinggal di daerah Minangkabau, tau dengan kato mandaki, Mandata, Manurun Jo malereang," sahut Arifin menatap tajam ke Arah sang putri.Sontak membuat Kirai menunduk tidak berani menatap ke arah sang ayah."Da…" panggil pelan Tan Malaka yang mencoba untuk menenangkan sang suami."Apa kami begitu kolot untuk kau seorang sarjana Rai?" Tanya Arifin yang berhasil membuat Kirai semakin bersalah. "Aku tidak bisa menolak permintaan Mamakmu," ujar Arifin sambil berdiri. "Kau adalah anak perempuan, anak satu-satunya, jika kami tiada siapa yang akan menjagamu,“ sahut Arifin yang membuat Kirai terdiam dan menunduk menatap ke arah sang ayah.“Adik masuklah ke kamarmu,” perintah Tan malaka yang mengerti dengan situasi tegang itu lebih baik untuk dihentikan.Kirai hanya diam dan menunduk berjalan masuk ke dalam kamarnya, tak terasa air mata mulai menggenangi manik hitam indah gadis berdarah minang itu.“Apa yang kau lakukan Da?” Tanya Tan malaka yang mencoba untuk menenangkan sang suaminya. “kirai adalah duplikatmu, kenapa ku memaksa kehendakmu padanya, aku tau itu adalah kekhawatiran mu, aku juga merasakan hal yang sama tapi Da, apa kau lupa dia adalah putrimu sifatnya dan prinsip hidupnya adalah kau,” jelas Tan Malaka yang membuat Arifin terdiam. “Bukankah kau bilang anakmu bukan milikmu, dia juga punya pilihan hidup dan tujuan hidup tapi sekarang kenapa kau bertindak seperti ini Da?” Tanya Tan Malaka yang lagi lagi membuat Arifin terdiam.“Setiap orang tua ingin putrinya bahagia, sama seperti ku ingin melihat putriku di pinang oleh pria yang ia cintai dan pria yang baik, bobot bibitnya aku harus tau,” jelas Arifin yang membuat Tan malaka terdiam. “Bagaimana jika kita sudah tiada? Bagaimana hidupnya siapa yang menjaganya?” Tanya ariffin yang menghela nafas panjang dan berdiri berjalan meninggalkan Tan Malaka yang diam seribu bahasa.“Mau kemana Da?” Tanya Tan Malaka menatap sang suami.“Ke sawah, setelah isya kita akan pergi ke rumah mamak,” jawab Arifin sembari berjalan menuruni anak tangga.“…” tidak ada jawaban Tan Malaka hanya mengangguk dan menatap kepergian sang suami.Helaan nafas yang begitu berat membuat Tan Malaka melangkahkan kakinya berjalan masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju kamar sang putri.“adik akan pergi ke rumah Rara bu, malam ini adalah malam bainai, aku akan pergi ke sana,” sahut Kirai yang tak berani menatap ke arah sang ibu.“Hati-hati, makan siang?” tanya Tan Malaka yang mengerti dengan perasaan putrinya.“Adik akan makan disana saja, adik pergi Bu, assalamualaikum,’’ jawab Kirai sembari mencium tangan sang Ibu dan berjalan keluar dengan sedikit menunduk memakai selendang sutra berwarna putih ke kepalanya.“Waalaikumsalam,” jawab Tan Malaka menatap kepergian sang putri dari kejauhan. “Kenapa hati ini merasa, aku akan meninggalkanmu begitu jauh nak,” gumam Tan malaka sembari menatap kepergian Kirai yang perlahan menghilang dari pandangannya.Sementara Kirai berjalan sembari tersenyum menyapa beberapa orang lewat karena siapa yang tidak tau dengan Kirai, gadis cantik sopan santun dan sangat pintar. Langkah kakinya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya dengan plat yang berbeda.“Permisi Uni,” ujar seorang pria paruh baya sambil menurunkan kaca mobilnya.Note:Malam bainai adalah acara menghiasi sebelum pernikahan.Langkah kakinya terhenti ketika sebuah mobil sedan hitam berhenti di depannya dengan plat yang berbeda. “Permisi Uni,” ujar seorang pria paruh baya sambil menurunkan kaca mobilnyaSontak suara itu membuat Kirai langsung tersenyum dan menatap pria paruh baya itu."Iya," jawab Kirai sembari menganggukan kepalanya dan menatap pria itu."Surau tertua di sini dimana ya Uni?" Tanya pria paruh baya itu yang membuat Kirai kembali tersenyum."Bapak Lurus saja, sebentar lagi akan sampai jaraknya tidak jauh hanya sekita lima rumah dari sini, surau itu di sebelah kanan pak," sahut Kirai sembari menunjuk jalan tanpa ia sadari sepasang mata sedari tadi melihatnya dengan penuh kekaguman."Ah begitu terimakasih Uni," ujar pria paruh baya itu yang langsung dijawab anggukan oleh Kirai.Perlahan mobil hitam itu berjalan bersamaan dengan Kirai yang kembali berjalan."Apa itu orang-orang proyek?" Gumam Kiria yang masih terus berjalan.*** Rumah kayu yang berada di tepi sawah terlihat bersih dan sangat
Sontak ucapan Hanan membuat semua orang yang berada di sana terkejut dengan kalimat yang keluar dari mulut pria itu termasuk istrinya juga tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut sang suami. Hanam tidak pernah merendahkan orang lain apalagi Arifin sebagai adik ipar yang paling ia sayangi, bahkan setiap ada masalah Arifin akan selalu dibela mati matian olehnya. Tapi kembali kepada kodrat manusia yang bisa berubah setiap yang dia mau, mulutmu adalah harimaumu bahkan harta bisa memecah bela tali silaturahmi yang kuat.“Da,” panggil pelan hasna menyenggol siku sang suami.“Yang aku katakan benar apa adanya, aku hanya ingin yang terbaik untuk keponakanku, aku tidk ingin dia merasakan kemiskinan yang kita rasakan, perjodohan dengan Samsul bisa dibatalkan lagi pula dia belum datang meminang hanya bertanya saja, tapi kita sudah berbuat janji dengan almarhum Marawi, cucunya adalah orang yang hebat rumah besar dan punya gedung tinggi, dia juga yang akan menjadi pemilik pabrik yang ber
“Adik…” panggil seorang wanita yang tengah duduk dengan sebuah nampan terbuat dari daun pandan, mereka sering menyebutnya nyiru beras."Iya bu, kenapa?” sahut seorang gadis yang berjalan mendekati wanita paruh baya yang memanggilnya.“Masak ini, ibu sudah membersihkannya, sebentar lagi ba’da dzuhur ayah akan pulang dari sawah, ibu akan memasak makan siang,’’ ujar wanita paruh baya itu yang berjalan tergopoh- gopoh memasak makanan untuk sang suami.“Bu, hari ini mamak menyuruh ibu untuk ke rumahnya, tadi adik bertemu mamak di warung Etek Lina,’’ sahut gadis itu yang sedikit berteriak karena ia berada di sumur mencuci beras yang akan ia masak.“Nanti Ibu dan Ayah akan ke rumah mamak,’’ ujar wanita itu yang masih terus memasak.Gadis itu adalah Kirai Chania Arifin, gadis cantik berumur 23 tahun, anggun dan berbudi pekerti, tutur bahasa yang selalu sopan dan lembut membuat nama orang tuanya di sanjung dan dihormati walaupun terlahir dari keluarga yang sederhana. Kirai, gadis berdarah mina
Sesampainya di rumah, Tan Malaka dan Kirai menatap ke arah Arifin yang sedang berdiri menggunakan pakaian yang bersih. Arifin selalu menggunakan celana dasar dan kemeja tak lupa dengan topi putih dan kacamata yang hanya digunakan ketika mengendarai motor saja."Ayo kita pergi, takutnya Mamak sudah menunggu," ujar Arifin yang diangguki oleh Tan Malaka.Dengan cepat Kirai langsung masuk dan mengambil selendang sutra milik sang ibu. "Ayah dan ibu akan pulang lambat, kunci pintu dan tidur lah lebih awal," sahut Arifin yang diangguki oleh Kirai.Perlahan motor yang dikendarai Arifin dengan Tan Malaka yang duduk di belakang memegang mesra pinggang sang suami. Sedangkan Kirai berdiri di atas teras rumah kayunya menatap kepergian kedua orang tuanya yang diterangi oleh cahaya lampu jalan berwarna kuning."Kirai…" panggil seorang wanita muda yang tengah berjalan ke arahnya.Suara itu membuat Kirai tersenyum dan berjalan menuruni anak tangga karena rumah kirain adalah rumah panggung sehingga ha