Share

3. Car Free Day

Suara dentingan sendok dengan piring terdengar di ruang makan keluarga Firmansyah. Dan kebisingan itu dihasilkan dari seorang anak kecil berusia lima tahun yang sedang menyantap nasi goreng buatan bundanya.

"Lagi sayang?" tanya wanita itu pada sang anak.

Rama, nama anak itu.

Rama mengangguk lalu menyodorkan piring kosongnya ke arah bundanya. Jika soalan makan, Rama paling rajanya di rumah dan anak usia lima tahun itu bisa menghabiskan tiga piring nasi goreng untuk sarapan. Namun anehnya, walaupun makan banyak, Rama tak pernah alami kegemukan. Entah jadi apa makanan yang ia makan itu.

"Udah piring yang keberapa itu?" tanya seseorang yang turun dari lantai dua.

"Baru dua yah." jawab Rama sambil tersenyum.

Pria paruh baya itu hanya menggeleng melihat kelakuan anak bungsunya ini.

"Oya Bun, Angkasa mana? Dari tadi nggak kelihatan."

"Angkasa ada Yah, di kamarnya. Katanya sih mau siap-siap pergi sama Aiden dan Heru."

Firman mengangguk paham. Ia berjalan menuju anak bungsunya, mengusap rambut Rama yang tengah lahap makan lalu mencari posisi duduk juga untuk makan.

"Sehat-sehat ya dek. Nanti kalau makin banyak makan bisa gemuk lho."

"Siyap ayah. Ayah tenang saja. Rama akan jaga badan."

Mendengar bijaknya sang anak, baik Firman maupun Lira tersenyum gemas.

"Pagi Bun, Ayah." Angkasa keluar dari kamarnya yang ada di lantai satu. Ia menciumi keduanya lalu mencium Rama dengan gemas.

"Iiihh. Abang apaan sih cium-cium."

"Dih! Sok jaim pula. Bilang aja kamu suka."

"Nggak! Rama sudah besar. Malu dicium gitu."

Angkasa melirik adiknya. Ide gila terlintas begitu saja. Ia mendekati sang adik lalu kembali menciumi rama berkali-kali sampai Rama menangis.

"Ya Allah Angkasa. Adik kamu lagi makan nak." tegur Lira. Angkasa hanya membalas dengan senyuman.

"Maaf maaf. Nanti abang beliin mainan deh."

Mendengar kata mainan, Rama langsung diam.

"Iron Man."

"Oke!"

"Yang---"

"Satu aja cukup!" potong Angkasa cepat. Ia tahu adiknya itu akan meminta banyak.

Rama langsung mencibir cemberut.
"Ya udah deh satu. Tapi robot yang besarnya ya bang. Yang bisa ngomong. Pakai remot itu."

Angkasa mengarahkan jempolnya pada Rama.

Rama bersorak senang. Ia kembali melanjutkan makannya yang tadi tertunda karena ulah abangnya itu.

"Hari ini mau ke mana nak?" tanya Firman saat ia melihat Angkasa sudah rapi.

"Mau ke Alun alun yah. Ada acara di Car Free Day. Aiden sama Heru ajakin Angkasa ngisi salah satu acara di sana. Kebetulan panitianya bang Radit, abangnya Aiden. Jadi kami bisa minta satu sesi untuk mengisi acara di sana.

"Acara musik?" tanya Firman dengan nada sedikit tak mengenakkan.

Angkasa mengangguk.

"Bang, kan sudah ayah bilang kalau abang--"

"Yah." potong Lira cepat.

"Bun, ayah nggak mau Angkasa terjerumus ke pergaulan yang tidak-tidak. Angkasa sudah sangat berprestasi sekarang. Ayah nggak mau Angkasa nanti jadi salah arah."

"Tapi ayah kan belum tahu acaranya gimana."

"Pasti acara musik bun. Acara anak band. Ayah tahu anak band itu lingkupnya tak baik."

Angkasa hanya diam. Ia sebisa mungkin diam tak menjawab. Ia menutuskan untuk menikmati nasi gorengnya saja. Padahal saat ini hatinya sangat marah.

Sejak dulu, ayahnya tak pernah memberinya izin untuk bermusik. Alasan ayah hanya satu, karena anak band tak pernah jauh dari narkoba. Pasti akan berurusan dengan narkoba. Untuk memperkuat pendapatnya, ayah selalu mengungkit kisah sahabat dekatnya yang seorang anak band yang meninggal karena overdosis obat-obatan terlarang.

"Kamu boleh ke Alun-Alun. Tapi tak ada cerita untuk ngeband." tegas Firman pada sang anak.

"Angkasa bukan anak badung ya."

"Ayah tahu. Tapi ayah takut kamu akan terjerumus."

"Ayah percaya sama Angkasa?"

"Ayah percaya nak. Tapi--"

"Jika masih ada kata tapi, itu artinya ayah nggak percaya sama Angkasa."

"Abang."

"Angkasa bukan sahabat ayah yang meninggal karena overdosis. Angkasa juga punya akal sehat untuk mau menyentuh barang haram itu yah. Angkasa masih takut dosa."

"Dan kamu tahu nak? Sahabat ayah dulu juga mengatakan hal yang sama seperti yang kamu katakan ini. Tapi yang namanya setan, tak akan pernah berhenti menggoda anak cucu Adam."

Angkasa akhirnya memutuskan untuk diam saat ia melihat ke arah bundanya. Wanita itu memerintahkannya untuk diam dan tak menjawab lagi.

Dan pagi itu, suasana sarapan berubah menjadi tak nyaman.

*****

Minggu yang sejuk. Udara yang tak terlalu panas, asap kendaraan yang juga minim membuat suasanya yang nyaman menjadi semakin menyenangkan untuk dinikmati.

Pagi ini Calista berencana lari pagi sambil menikmati pagi tanpa kendaraan bermotor di CFD. Mumpung kendaraan berasap tak diizinkan beroperasi, gadis itu akan memanfaatkan waktu sebaik mungkin.

Dengan pakaian santainya, baju kaos longgar berwarna putih dengan celana trening selutut dan sepasang sneakers, oh jangan lupakan headset tanpa tali yang terpasang ditelinganya.

"Pagi ma..." sapa Lista dengan ceria lalu mengecup kedua pipi bidadari tak bersayapnya itu.

"Pagi sayang. Tumben pagi-pagi sudah cantik? Mau ke mana?"

"Ih mama. Pakaian olahraga juga. Mana ada cantik-cantiknya."

"Hehehe. Buat mama, kamu anak tercantik yang mama punya."

Lista tersenyum manis, bahkan sangat manis.

Mama Nimas. Mama Nimas sebenarnya bukanlah mama kandung Lista. Mama kandungnya sudah meninggal sejak ia berumur satu tahun dan dari pernikahan mama dan papanya, ia mempunyai seorang abang bernama Gabriel. Dan dua tahun setelahnya, papanya menikah lagi. Beruntung papanya mendapatkan istri yang baik dan sangat lembut.

Dan setelah menikahi papa, mama Nimas tak bisa mempunyai anak. Jadilah abangnya dan dirinya yang mendapatkan peran sebagai anak.

Dan walaupun mama adalah mama tirinya, namun kasih sayang yang ia dapatkan, sangatlah lembut dan penuh perhatian. Walaupun ia tak tahu bagaimana rasanya kasih sayang ibu kandung, namun ia yakin jika rasanya sama seperti kasih sayang yang mama Nimas berikan padanya.

Nimas memeluk mamanya tersebut, "Lista sayaaang sama mama."

"Mama jauh lebih sayang sama kamu nak. Walaupun mama bukan mama kandung kamu ,kamu tak lahir dari rahim mama, tapi mama sayang sama kamu. Mama nggak mau kehilangan kamu."

Lista semakin memeluk Nimas erat.

"Waaahh. Ada yang lagi peluk-pelukan nih. Papa boleh ikut?" goda Bram turun dari tangga dan berjalan mendekati anak dan istrinya.

"Ih, papa ikut-ikutan aja. Ini mamanya Lista. Papa nggak boleh ambil." ucap Lista sambil terus memeluk Nimas erat.

Bram tersenyum haru melihat pemandangan yang menyejukkan itu. Ia sungguh beruntung bertemu dengan Nimas dan menikahinya.

"Iya deh iya. Papa ngalah. Buat anak tersayang."

"Papa mau ke mana? Kok rapi?"

"Papa mau ke rumah nenek. Barusan papa dapat telpon dari Om kamu kalau nenek sakit."

"Ibuk sakit mas?"

Bram mengangguk.

"Mas juga baru dapat kabar."

"Ya Allah. mas, Aku ikut mas. Boleh?"

Bram mengangguk. "Lista mau ikut juga?"

Dengan cepat Lista menggeleng, "nanti nenek marahin Lista lagi. Nenek cerewet."

"Huss. Jangan gitu. Kan nenek kamu juga sayang." tegur Nimas.

"Tapi nenek cerewet ma. Lagian Lista juga udah janji sama teman."

"Teman?"

"Iya. Ternyata Lista satu sekolah sama Rin." ucap Lista bersemangat.

"Rin? Ririn?"

"Iya ma, Ririn."

"Waaah. Bagus itu."

"Karena itu, hari ini Lista mau jalan sama Rin."

"Ya udah. Kamu bawa kunci rumah ya. Nanti kalau mama sama papa pulangnya terlambat, kamu bisa ajak Ririn ke sini. Nanti kita antarin lagi Ririn kalau papa sudah pulang. Lagian abang kamu ada acara kemah dari kampusnya."

Lista mengangguk. "Siap bos."

"Ya udah. Lista pergi dulu ya pa, ma. Takut kesiangan."

Setelah pamit dan menyalami keduanya, Lista pun keluar dari rumahnya.

*****

"Angkas amana nih. Jam segini belum datang." Aiden mulai gelisah. Ia selalu melirik jam di tangannya. Sudah hampir jam delapan namun Angkasa belum juga datang. Padahal acara yang mereka isi sudah mulai sejak setengah jam yang lalu. Dan mereka akan mengisi acara lima belas menit lagi.

"Apa jangan-jangan dilarang bokapnya lagi?"

Ucapan Heru membuat Aiden terdiam. Ia lupa jika Angkasa tak pernah diizinkan ngeband sama bokap sahabatnya itu.

Aiden memukul kepalanya geram. Kenapa ia bisa melupakan hal tersebut. Harusnya ia ingat tentang itu.

Aiden meraih ponselnya. Ia kembali mencoba menghubungi Angkasa namun sayangnya yang menjawab adalah Firman.

"Angkasa tak boleh ngeband." hanya itu yang Firman katakan. Setelah itu panggilan tertutup.

"Gimana?" tanya Heru.

"Bokapnya yang angkat. Dan Angkasa nggak boleh ngeband."

"Bener kan tebakan gue. Lagian itu bokapnya kenapa jadi parnoan gitu. Yang meninggal kan sahabatnya, kenapa jadi Angkasa yang dilarang-larang?"

"Bapaknya trauma mungkin. Nggak ingin Angkasa jadi seperti sahabatnya itu."

Heru berdecak kesal. Ia mengusap wajahnya kasar. Sepertinya hari ini akan batal.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status